Menakar Kasus Perundungan Siswa di Kota Sukabumi



Literasi yang mengupas perundungan siswa oleh siswa lain di sekolah masih lebih sedikit dibandingkan dengan fenomena sosial lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifatnya yang kasuistik dan sering kali dianggap sebagai dinamika yang "wajar" dalam interaksi sosial anak-anak.

Saya sendiri terakhir kali menulis tentang kasus perundungan di Radar Sukabumi pada tahun 2013 dan 2014, saat seorang siswi di Payakumbuh mengalami perundungan yang cukup serius. Kasus itu sempat viral dan ditayangkan ulang oleh berbagai media massa elektronik, menunjukkan betapa perundungan masih menjadi isu yang mengundang perhatian luas.

Namun, satu dekade berlalu, kasus perundungan tetap terjadi, baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, maupun sebaliknya. Fenomena ini dapat dianalogikan sebagai gunung es: hanya sedikit yang terlihat di permukaan, sementara kasus lainnya tetap tersembunyi. Perundungan yang mencuat ke publik sering kali disebabkan oleh adanya dokumentasi dalam bentuk video yang kemudian menyebar luas.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentu telah berupaya menekan angka perundungan di sekolah. Namun, mengingat sekolah merupakan institusi yang bertujuan memanusiakan manusia, penanganan perundungan tidak dapat hanya mengandalkan regulasi administratif semata.

Para pakar pendidikan telah merancang berbagai strategi preventif dan persuasif untuk mencegah perundungan, meskipun upaya ini masih menghadapi berbagai tantangan. Pada dasarnya, perundungan tidak terjadi dalam ruang hampa; ia muncul akibat kombinasi berbagai faktor psikologis dan sosial yang mendorong individu untuk kehilangan empati dan lebih mengedepankan dominasi atau agresi dalam interaksi sosialnya.

Kasus terbaru terjadi di Kota Sukabumi, menimpa anak dari teman saya (DS). Perundungan yang dialaminya bukan hanya berdampak pada mental, tetapi juga fisik, hingga menyebabkan patah tulang. Proses penanganannya pun telah mencapai tahap hearing di Komisi III DPRD Kota Sukabumi, dihadiri oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Sukabumi.

Hearing ini bertujuan untuk mendapatkan pandangan objektif, agar masyarakat memahami apakah kasus ini benar-benar murni perundungan atau ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Sebab, tidak semua orang memiliki pemahaman yang utuh tentang tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai perundungan.

Meskipun proses hukum dan mediasi berjalan, bagi saya secara pribadi, kejadian ini adalah alarm bahwa ada yang salah dalam ekosistem sosial kita. Seorang anak yang mengalami perundungan parah hingga mengalami cedera fisik tentu akan membawa dampak psikologis jangka panjang. Ini bukan sekadar kenakalan, tetapi sebuah tindakan yang bisa membentuk trauma dan menghambat perkembangan sosial serta emosionalnya.

Saya tidak berpihak pada siapa pun dalam kasus ini. Namun, satu hal yang pasti: perundungan harus dihentikan, dan kita semua harus berpihak pada keadilan serta upaya pencegahan yang efektif. Para pakar pendidikan telah mengidentifikasi akar masalahnya, tetapi mengapa kasus-kasus serupa masih terus bermunculan? Apakah regulasi pemerintah belum cukup efektif? Ataukah ada faktor lain yang membuat perundungan tetap bertahan sebagai masalah sosial yang sulit diberantas?

Salah satu kemungkinan yang patut dipertimbangkan adalah perubahan pola asuh dalam keluarga modern. Sejak era reformasi, kebebasan individu sering kali dipahami secara keliru sebagai pelepasan tanggung jawab orangtua terhadap anak. Banyak orangtua yang menyerahkan pendidikan moral dan pembentukan karakter sepenuhnya kepada sekolah dan institusi lain, tanpa keterlibatan aktif dalam membimbing anak di rumah.

Selain keluarga, pranata sosial lain seperti lembaga keagamaan juga seharusnya berperan dalam menanamkan nilai moral dan etika kepada anak-anak. Namun, efektivitas lembaga-lembaga ini dalam mencegah perilaku menyimpang masih dipertanyakan. Jika nilai-nilai agama dan moral benar-benar diinternalisasi, seharusnya kasus perundungan tidak sebanyak ini.

Maka, kita harus berpikir lebih dalam: bagaimana cara yang paling tepat untuk membimbing anak dan remaja agar mereka tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual? Sanksi dan hukuman kepada anak di bawah umur juga perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, karena tanpa pendekatan yang benar, hukuman justru dapat memperkuat siklus kekerasan.

Dalam kasus perundungan, kita harus memahami bahwa korban membutuhkan perlindungan, sementara pelaku membutuhkan pembinaan. Sekolah memiliki peran penting dalam membangun sistem yang transparan dan jujur agar kasus-kasus seperti ini bisa diselesaikan dengan adil dan edukatif.

Ketika kasus perundungan terungkap ke publik, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh korban dan pelaku, tetapi juga oleh keluarga mereka. Tekanan sosial dari masyarakat dan media bisa menjadi beban psikologis yang berat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, pendekatan yang bijaksana dan berbasis solusi harus diutamakan agar kasus seperti ini tidak menjadi ajang saling menyalahkan, tetapi menjadi momentum untuk perbaikan sistem pendidikan kita.

Saya ingin menyederhanakan peran tiga pranata sosial utama dalam menangani perundungan: keluarga, sekolah, dan lembaga keagamaan. Keluarga, yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam membentuk karakter anak, mengalami degradasi akibat pergeseran dari pola hidup paguyuban ke patembayan. Anak-anak kini lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah tanpa pengawasan dan bimbingan moral yang cukup.

Menyerahkan pengasuhan anak sepenuhnya kepada sekolah dan lembaga keagamaan juga bukan solusi. Ketika terjadi kasus perundungan, sering kali orang tua justru menyalahkan sekolah, padahal ada tanggung jawab bersama dalam mendidik anak. Sekolah memang dilarang memberikan hukuman fisik, tetapi harus ada komunikasi yang lebih baik antara sekolah dan orang tua agar aturan dan tata tertib sekolah bisa dipahami dan diterapkan dengan efektif.

Dalam dunia sosial yang lebih luas, konsep struggle of life dan survival of the fittest sering kali disalahartikan. Banyak yang menganggap bahwa untuk bertahan hidup, seseorang harus menjadi yang terkuat atau paling unggul. Padahal, dalam kenyataannya, mereka yang mampu beradaptasi dengan baiklah yang bisa bertahan.

Kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah sangat menentukan bagaimana mereka berinteraksi. Di dalam kelas, ada berbagai karakter siswa, mulai dari Si Pintar, Si Pendiam, Si Cerewet, hingga Si Jahil. Di masa lalu, perbedaan karakter ini sering kali menjadi bahan candaan atau interaksi sosial yang dianggap biasa. Namun, jika tidak dikontrol, dinamika ini bisa berkembang menjadi perundungan yang lebih serius.

Sekolah adalah tempat di mana anak-anak belajar memahami perbedaan dan mengembangkan karakter mereka. Dalam lingkungan yang sehat, setiap siswa bisa menyalurkan potensinya dengan cara yang positif. Namun, ketika interaksi di sekolah dipenuhi dengan persaingan tidak sehat dan kurangnya nilai empati, maka perundungan pun menjadi sesuatu yang "dibiarkan" terjadi.

Di era reformasi, sistem pendidikan kita banyak mengadopsi model luar negeri tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan kondisi sosial dan budaya kita. Guru yang dulu berperan sebagai pendidik kini lebih banyak disibukkan dengan tugas administratif, sehingga interaksi emosional dengan siswa menjadi berkurang. Perubahan yang terlalu cepat ini membuat sistem pendidikan kehilangan keseimbangannya, di mana aspek karakter dan moral belum mendapatkan perhatian yang cukup.

Pada akhirnya, kekerasan, sikap merasa paling pintar, dan keinginan untuk mendominasi bukanlah bentuk adaptasi yang sehat. Jika kita ingin mengakhiri perundungan, maka kita harus membangun sistem yang lebih manusiawi. Adaptasi sejati adalah tentang bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang sehat dan mendukung perkembangan individu tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.

Kasus perundungan yang dialami anak teman saya harus menjadi peringatan bagi kita. Ini bukan hanya tanggung jawab korban dan pelaku, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai masyarakat. Jika sekolah adalah tempat pendidikan karakter, maka sudah seharusnya yang tumbuh di dalamnya adalah nilai-nilai kebaikan, bukan kekerasan dan ketakutan.

Dimuat Radar Sukabumi 9 Nov 2023
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Menakar Kasus Perundungan Siswa di Kota Sukabumi"