Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 3)



Dulu belum ada pengibaratan “Kota Sukabumi, Kota Kecil, Sejuta Cerita”. Pengibaratan ini baru muncul belakangan, pascareformasi. Yang akrab di telinga tentang Kota Sukabumi pada dekade 80 sampai 90an adalah Kulkas Gede, itu juga dicetuskan oleh kalangan terbatas.

Dari sudut pandang hiperbolik, dua sebutan untuk Kota Sukabumi: Sejuta Cerita dan Kulkas Gede memang tidak terlalu berlebihan, toh hampir semua kota di dunia ini dilahirkan dari kisah dan cerita. Sebutan Kulkas Gede mungkin perlu dipertimbangkan lagi jika disebutkan untuk merasakan situasi dan kondisi Kota Sukabumi saat ini. Karena yang benar adalah: saat ini, Kota Sukabumi justru membutuhkan Kulkas Gede di saat musim kemarau agak panjang.

Setiap orang Kota Sukabumi memiliki kisah dan cerita masing-masing tentang kotanya berdasarkan perspektif dan sudut pandangnya. Kisah dan cerita tersebut dibangun atas pengalaman dan kisah yang dikisahkan lagi oleh orang lain, entah melalui penuturan atau tulisan.

Keberadaan kisah tentang Kota Sukabumi dari waktu ke waktu mungkin akan terus mengalami perubahan jika tidak dituliskan. Rata-rata kisah mengenai kehidupan terus saling tumpang-tindih, lambat lauh akan menghilang dengan sendirinya. Saya sebagai penulis juga sering merasa kehilangan, misalnya, kisah atau cerita Kota Sukabumi di masa lalu.

Sejak kapan dan deregulasikan oleh siapa jalan-jalan di Kota Sukabumi diberi nama seperti sekarang? Kisah ini terputus karena dua alasan: Pertama, belum ditemukan bukti-bukti autentik meskipun hanya tertuang pada secarik kertas regulasi atau keputusan wali kota masa lalu tentang pemberian nama jalan. Kedua, para penutur masa lalu juga sudah memasuki usia udur, jadi akurasi informasi tentang penamaan jalan pun tidak terhindar dari sifat bias.

Kisah lainnya, seperti pengesahan Kota Sukabumi sebagai Kota Nalo (judi) beberapa dekade lalu juga tidak mungkin dipublikasikan berdasarkan cerita yang dihiasi oleh kemungkinan berbau dugaan. Apa alasan pemerintah kota madya saat itu menerbitkan keputusan pengesahan judi nalo sebagai permainan resmi di Kota Sukabumi? Hal ini akan menjadi kisah menarik jika didukung oleh -bukan hanya surat keputusannya- namun lengkap dengan latar belakang penerbitan keputusan tersebut.

Saat saya mengajak teman-teman seangkatan kembali ke masa lalu dengan membaca kisah-kisah yang saya rangkai dalam kolom ini, mungkin sebagian dari teman-teman atau siapa pun yang pernah mengalami hidup di tahun 80 dan 90an merasa tersentak kembali ke masa kejayaan, masa keemasan di usia kanak-kanak dan remaja. Itulah pentingnya kisah dan cerita disajikan dalam bentuk tulisan selain melalui penuturan.

Apa yang akan kita rasakan saat kembali ke tahun 80-an, berjalan-jalan di sepanjang trotoar Jalan Ahmad Yani, tiba-tiba tubuh kita ditarik ke dimensi masa lalu. Kita akan menyaksikan fenomena sosial perkotaan sederhana, deretan toko, pedagang mainan, kuda penarik delman, kekar dan kuatnya kaki abang becak, dan reklame tayangan film di depan bioskop-bioskop.

Jalan raya juga sesekali mengalami senggang dan jarang dilalui oleh kendaraan bermotor. Polusi udara dan suara tidak seperti sekarang. Jalanan lenggang, apalagi terjadi di jalan utama, serupa dengan pembuluh darah yang mengalirkan darah dari jantung ke seluruh tubuh atau sebaliknya dengan normal dan lancar. Kenormalan jalanan ini, tidak kita sadari berdampak pada perilaku para pengguna jalan dan trotoar. Para pengunjung kota, rata-rata berasal dari perkampungan tetap memperlihatkan kebiasaannya, berjalan memanjang membentuk antrean karena kebiasaan mereka berjalan di jalan setapak dan pematang sawah.

Perilaku yang dicetak oleh jalanan normal yaitu sikap tenang saat berjalan, tanpa keluh kesah, terlihat dari cara pandang orang-orang saat melihat barang dagangan yang dijajakan di etalase toko, tatapan ingin memiliki yang kuat, dan sikap positif lainnya bagaimana mereka harus menerika diri mereka sedang memasuki dunia yang jarang mereka sentuh.

Kemudian, kita kembali menjadi manusia nyata, manusia yang hidup di zaman sekarang. Jalan-jalan protokol tidak lagi serupa dengan pembuluh yang mengalirkan darah segar. Ia telah dialiri oleh gumpalan lemak dan zat yang dapat menyumbat aliran darah.

Jalan yang tidak sehat karena jumlah kendaraan bermotor tidak sesuai dengan kapasitas dan daya tampung jalan di waktu normal, disempurnakan oleh lahan parkir sepeda motor, ditambah juga dengan jumlah pengunjung yang membludak, maka situasi tidak sehat pun tercipta.

Seperti tubuh yang mengalami penyumbatan saluran darah, pengunjung dari kampung tidak lagi datang ke kota untuk menikmati suasana yang berbeda dengan tempat asalnya. Mereka tidak mengunjungi ruang-ruang publik seperti alun-alun, tempat hiburan, dan lapang merdeka untuk melihat “wah-“nya sebuah kota.

Para pengemudi juga seolah-olah dipaksa untuk mengegas -bukan hanya kendaraan saja- juga emosi mereka. Tak jarang hanya karena suara klakson dibunyikan, satu pengemudi dengan pengemudi lainnya beradu mulut hingga adu jotos.

Coba kita saksikan, fenomena sosial harus serba cepat sangat kentara di dekat lampu rambu lalu-lintas. Di saat lampu merah masih menyala kemudian berubah menjadi oranye, rata-rata pengemudi menyalakan klakson mereka karena merasa terhalangi oleh pengemudi yang ada di bagian depan. Saat lampu oranye menyala, para pengemudi enggan menunggu lampu hijau menyala, terobos saja.

Dilihat dari sudut pandang kesehatan mental dan sosial, situasi ini memang disebabkan oleh gesekan antar molekul yang semakin kuat. Kemacetan di jam sibuk menjadi hal lumrah, sumpah serapah dan mengomel, sambil menyetir mobil -hatta di dalam mobil ada anak-anak pun- bukan menjadi hal tabu. Cara dan perilaku saling mendahului dan kasar menjadi lumrah, maka dalam kehidupan pun kita lebih memilih bersikap permisif saat ada beberapa anak melafalkan kata-kata kasar, alasannya: sudah lumrah dan wajar.

Manusia modern memang terlalu memikirkan bahwa kesehatan seolah-olah hanya terbatas dengan tidak mengonsumsi makanan berkolesterol dan mengandung lemak tinggi. Atau, bagi kaum laki-laki, tidak sehat itu selalu diukur dengan “merokok”. Sementara itu, yang nyata dan menjadi fakta yaitu emisi kendaraan bermotor yang sangat tinggi dan telah menghasilkan kualitas udara yang buruk, luput dari bahasan.

Dulu, untuk mengukur kualitas udara Kota Sukabumi dapat dilakukan dengan tanpa menggunakan teknologi purwarupa buatan manusia. Hanya dengan kehadiran kunang-kunang saja, kita sudah dapat menyimpulkan kualitas udara di Kota Sukabumi masih bersih. Sekarang, apa yang dapat mengukur kualitas udara? Tentu saja kehadiran alat pengukurnya, pemerintah saat ini harus menyediakan alat semacam ini sebagai peringatan bagi pengunjung pusat perkotaan.

Indikator kebersihan dan kekotoran udara sangat kentara, begitu berbeda. Indikator udara bersih hanya dengan mengandalkan makhluk bernama kunang-kunang. Saya pikir dinas atau badan mana pun tidak akan ada yang berani memasukkan kunang-kunang ke dalam program pengadaan barang dan jasa.

Berbeda dengan alat untuk mengukur kualitas udara kotor; bukan saja alatnya yang harus dibeli, penganggaran, lelang, dan pengadaannya juga melalui proses panjang. Namun, kenapa manusia lebih memilih menghadirkan kualitas udara kotor yang mahal penanganannya daripada menciptakan kualitas udara bersih yang tidak perlu menggunakan anggaran dalam pembuktiannya?

Dimuat Radar Sukabumi 15 Nov 2023

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 3)"