Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 4)



Sebelum diberi nama Jalan RH. Didi Sukardi, jalanan yang memanjang dari perempatan Si Godeg sampai Terminal Jubleg biasa disebut oleh masyarakat sebagai Jalan Otista dan Baros. Pinggir jalan ditumbuhi oleh pepohonan tingkat tinggi seperti Albasia dan Mahoni. Bagi sebagian besar orang saat itu, kehadiran pepohonan mungkin tidak terlalu dirasakan manfaatnya, selain tingkat polusi masih rendah, masyarakat juga masih merasakan kehadiran ribuan pohon dengan berbagai kerajaannya tumbuh dengan subur di sekeliling mereka.

Walakin, bagi manusia yang hidup di zaman sekarang, kehadiran kembali berbagai jenis pepohonan tingkat tinggi di sepanjang jalan akan sangat dirasakan manfaat dan fungsinya. Selain menyerap polutan dan sebagai pengedap suara kendaraan bermotor, kehadiran pepohonan dibutuhkan untuk membuat kondisi sepanjang jalan menjadi lebih sejuk.

Sampai saat ini, saat jalan ini telah diberi nama Jl RH Didi Sukardi, dari SDN CBM Pakujajar sampai MA Negeri 1 Kota Sukabumi kita masih menyaksikan pohon-pohon tingkat tinggi masih berjajar sepanjang jalan. Dampaknya, sepanjang jalan ini memang lebih adem dan sejuk jika dibandingkan dengan jalan lainnya seperti jalan Ottista.

Tingkat kepadatan lalu-lintas Jalan RH Didi Sukardi dan Jalan Baros sampai ke Terminal Jubleg memang tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan kepadatan lalu-lintas jalan lain. Tingkat kepadatan lalu-lintas jalan ini -mungkin hanya setengahnya- dari jalan Pelabuan II.

Selain dipengaruhi oleh keberadaan Jalur Lingkar Selatan, jalan ini memang hanya sebagai penghubung mobilitas warga dari daerah Nyalindung dan Sagaranten yang akan berkunjung ke pusat Kota Sukabumi. Jumlah kendaraan pengangkut barang pun relatif lebih sedikit dari angkutan barang yang melintasi Jalan Pelabuan II.

Kondisi Jalan Baros pada tahun 80an dan 90an lebih asri lagi. Jumlah kendaraan yang melalui jalan ini, apalagi ketika sudah sampai di sekitar Sudajayahilir, Jayaraksa, sangat jarang. Dapat diasumsikan dalam satu jam hanya dilalui oleh 20-30 kendaraan, itu juga rata-rata kendaraan dengan kategori angkutan perkotaan jurusan Baros.

Pada saat jam sibuk, saat masuk dan pulang sekolah, kemacetan memang biasa ditemui di beberapa titik seperti di depan SMA Negeri 1 Kota Sukabumi, SDN Baros (sebelum diberi nama CBM Pakujajar), MA dan MTS Negeri, dan perempatan Si Godeg. Titik-titik ini merupakan tempat yang rawan kemacetan di saat jam sibuk.

Para siswa memang masih membiasakan diri berjalan kaki saat berangkat ke sekolah. Saat itu, bukan pemandangan aneh, kita menyaksikan para pelajar berjalan kaki sepanjang jalan Baros atau Jl. RH Didi Sukardi saat ini. Hal ini saya alami, selama tiga tahun bersekolah di SMA Negeri 1 Kota Sukabumi, saya membiasakan berjalan kaki melalui pemakaman Kerkhof dan Jalan RH. Didi Sukardi untuk sampai ke tempat tujuan.

Pemerintah Kota Madya dan Kabupaten Sukabumi belum mengenal istilah pedestrian sebagai ruang publik tempat warga kota berjalan kaki saat itu. Kemungkinan besar, konsep pedestrian hanya dikenal di kota-kota Eropa saja. Faktanya, pada tahun 80-90an kota-kota besar di Eropa seperti yang saya lihat melalui sumber-sumber bacaan dan literasi memang telah mengembangkan ruang publik yang nyaman dan ramah untuk pejalan kaki, tanpa dilalui oleh kendaraan bermotor.

Kendati demikian, dalam praktiknya, masyarakat Sukabumi tahun 80-90an memang telah melakukan hal yang biasa dikerjakan oleh masyarakat kota besar Eropa. Mereka memilih banyak berjalan kaki di trotoar, terutama dilakukan oleh para pelajar yang akan bersekolah.

Kita dapat membandingkannya dengan sekarang, kendati pedestrian bukan lagi sebagai sebuah konsep melainkan telah diimplementasikan ke dalam pembangunan tata ruang perkotaan, pada praktiknya antara konsep pedestrian sebagai ruang publik tempat berjalan kaki sama sekali tidak selaras dengan praktik keseharian warga kota. Bayangkan, di sebuah tempat dengan nama pedestrian, banyak warga kota yang masih memesan angkutan umum daring atau menggunakan kendaraan bermotor untuk sampai ke lokasi di mana pedestrian tersebut berada.

Dengan demikian, out come oriented pembangunan seperti yang sering digaungkan oleh pemerintah pusat masih tetap belum mengimbangi jenis pembangunan berbasis input oriented dan anggaran. Paradoks yang nyata dan kentara adalah kehadiran ruang-ruang publik yang dibangun oleh pemerintah seperti pelebaran trotoar dan pembangunan pedestrian namun tidak digunakan oleh warga sesuai dengan fungsi dan kebermanfaatannya.

Sesekali kita memang harus melihat konsep pembangunan ruang publik di banyak kota negara-negara maju. Ada keselarasan antara apa yang mereka bangun dengan tujuan dari kehadiran ruang-ruang publik tersebut. Dan ini memang menjadi praktik keseharian para pengguna fasilitas publik yang tersedia. Akan terdengar aneh saat kita membangun pedestrian, ruang publik tempat untuk berjalan kaki, namun nyatanya masih berseliweran berbagai jenis kendaraan bermotor yang lewat dan mangkal di sana. Ini fenomena yang biasa kita temui di kota-kota negara dunia ketiga, selalu muncul kesenjangan antara harapan dengan kenyataan.

Di sisi lain, kita memang sering mengedepankan sikap permisif dengan alasan, jika tidak menggunakan kendaraan bermotor dan memasuki areal pedestrian, anak-anak pasti kesiangan tiba di sekolah. Hal ini terjadi, karena cara kita dalam membangun segala sesuatu memang masih parsial, selalu terpisah dengan pembangunan dan kehadiran fasilitas lainnya. Kita hanya sering membahas hal ideal di ruang konsep namun masih terbata-bata dalam praktiknya.

Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini berdampak pada mentalitas warga kota sebagai bagian dari manusia modern. Pedestrian yang semestinya berfungsi sebagai tempat berjalan kaki namun digunakan sebagai tempat mangkal dan parkir kendaraan bermotor. Kondisi ini telah memberi pengaruh signifikan dalam mencetak mentalitas manja dalam diri generasi milenial. Mereka lebih memiliki membeli krim tabir surya karena takut kulit mereka menjadi hitam daripada harus berjalan kaki di bawah rindang pepohonan.

Rasanya masuk akal, ketika terik matahari memanggang, saat di sekeliling kita ditumbuhi oleh berbagai macam pepohonan, cahayanya tidak akan sampai pada tubuh manusia. Namun, karena kelangkaan pepohonan, maka generasi sekarang tentu lebih memilih membeli krim tabir surya agar kulit mereka merasa terlindungi dari sengat cahaya matahari.

Memang tidak adil jika kita membandingkan situasi empat sampai tiga dekade lalu dengan masa kini. Dulu, anak-anak dan remaja tidak dididik dengan cara manja baik oleh keluarga, lingkungan, dan masyarakat. Kemudian, pada perkembangan berikutnya, kemanjaan diinternalisasikan melalui saluran televisi dalam berbagai bingkai iklan krim tabir surya dan krim pemutih kulit.

Iklan seperti ini ternyata memiliki andil besar terhadap cara pandang remaja putri kita untuk memiliki kulit bersih dan putih, kendati tidak akan ada kulit yang benar-benar berwarna putih. Sementara, lingkungan keluarga dan masyarakat dengan sejumlah norma dan aturan tertulis dan tidak tertulisnya sama sekali tidak pernah mau tahu kondisi mentalitas generasi yang telah benar-benar manja dalam memperlakukan dirinya sendiri.

Orde Baru, di satu sisi telah berhasil membuat gerakan dan program apa saja dengan konsep sederhana. Misalnya, praktik menanam pepohonan sepanjang jalan di masa Orde Baru sebetulnya hanya menjalankan konsep sederhana yang disebutkan di dalam buku-buku IPA dan IPS tingkat dasar mengenai reboisasi dan pencegahan polusi udara.

Tanpa perlu disosialisasikan dengan cara mengumpulkan tokoh masyarakat di ruang rapat dan aula balai desa, Orde Baru telah berhasil menginternalisasi kesadaran masyarakat terhadap peran penting keberadaan tumbuhan dan pepohonan tingkat tinggi di sekitar mereka.

Selanjutnya, untuk meminimalisasi sikap manja anak-anak dan remaja saat itu, pemerintah hanya membuat regulasi dan aturan tidak tertulis dalam bentuk norma yang sering dibicarakan oleh para tetua kampung. Anak-anak dan remaja di masa itu mungkin terbiasa berpanas-panasan di sawah sambil bermain bersama kerbau pembajak sawah, dari pada memikirkan kulit kusam dan kulit hitam.

Norma tidak tertulis lainnya yaitu tentang ketidakpantasan perilaku. Anak-anak dan remaja saat itu akan merasa belum pantas memakai make-up, bedak, krim kulit, dan sejenisnya sebelum mereka tumbuh menjadi orang dewasa. Sebab, dalam pikiran mereka, barang-barang semacam ini hanya tepat digunakan oleh mereka saat telah dewasa.

Sikap tepa selira ini memang telah tercerabut dari kehidupan modern yang serba cepat, tanpa batasan norma apakah sebuah perilaku pantas dilakukan oleh anak-anak atau tidak. Fenomena yang muncul justru, sulit dibedakan mana perilaku dan kebiasaan anak-anak dari kebiasaan orang dewasa.

Dimuat Radar Sukabumi, 17 Nov 2023

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 4)"