Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 6)



Film Doraemon sudah menjadi tontonan menarik bagi anak-anak di tahun 1988. Selain ditayangkan di salah satu televisi swasta yang lebih variatif dalam menyajikan acara mingguan, konten film ini sendiri memang mengundang nyali dan penasaran anak-anak untuk ditonton.

Keberadaan televisi swasta meskipun tetap harus “mengabdi” kepada seperangkat aturan sensor pemerintah, acara hiburannya menjadi lebih menarik perhatian anak-anak saat itu. Salah satu bentuk sensor yang diterapkan oleh pemerintah, acara anak-anak di hari Minggu harus ditayangkan oleh RCTI setelah tayangan hiburan anak-anak selesai ditayangkan TVRI, salah satunya film Si Unyil.

Kepemilikan televisi belum sepenuhnya merata, hanya dimiliki oleh masyarakat kelompok tertentu. Dalam satu kampung, laju pertumbuhan kepemilikan televisi hanya 5-10 persen saja per tahun, sepanjang dekade 80 dan 90-an. Ini disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, harga televisi warna dengan perangkatnya; antena dan booster masih terbilang mahal. Kedua, peralihan kepemilikan televisi hitam putih ke televisi warna memerlukan belum waktu dan tidak terlalu masif. Bahkan warga pemilik televisi hitam putih di perdesaan pun masih terbilang sedikit. Ditambah, aliran listrik belum sepenuhnya merata masuk ke perdesaan. Untuk menyalakan televisi hitam putih saja, masyarakat masih mengandalkan accumulator atau aki.

Ketiga, iklim masyarakat paguyuban perdesaan telah melahirkan cara pandang sebagai seleksi alamiah bahwa menonton televisi memang dapat dilakukan secara bersama-sama atau nonton bareng. Di wilayah perdesaan, kegiatan nonton bareng biasa diselenggarakan di kantor desa. Rumah-rumah yang telah dilengkapi oleh televisi sebagai kebutuhan tersier juga pemiliknya biasa mempersilahkan tetangga yang belum mempunyai televisi untuk ikut menonton.

Film Doraemon memiliki konten ringan bagi anak-anak. Meskipun di kemudian hari ada semacam peringatan dari pemerhati pendidikan anak tentang sikap selalu ingin serba mudah dan cengeng yang diperankan oleh Nobita sebagai tokoh sentral. Kebiasaan merengek-rengeknya kepada Doraemon dipandang oleh para pemerhati dapat memberi pengaruh kurang baik terhadap mental anak-anak.

Namun tentu saja, anak-anak tidak mau pernah mengerti tentang itu, yang jelas mereka sangat asyik menikmati setiap Doraemo si Robot Jepang itu mengeluarkan berbagai alat dari kantong ajaibnya. Lebih dari itu, alat-alat canggih yang keluar dari kantong ajaib Doraemon justru banyak mengilhami anak-anak saat itu. Mereka dapat membuat membuat replika alat dalam film Doraemon di dunia nyata.

Saya pikir, para pemerhati pendidikan tersebut hanya merasa khawatir dan takut anak-anak terinternalisasi oleh watak dan karakter Nobita. Sayang sekali, cara pikir seperti ini kurang tepat, orang dewasa tidak perlu memaksakan cara pikir mereka kepada cara pandang anak-anak. Menjelang reformasi, setiap film-film yang mereka pandang “memerlukan bimbingan dari orang tua” biasanya dilabeli akronim BO (Bimbingan Orangtua).

Kisah nonton bareng televisi yang dilakukan oleh masyarakat perdesaan dengan iklim gemeinschaft mengalami transformasi dalam kisah nonton bareng masyarakat urban perkotaan yang gesselschaft. Nobar masyarakat perdesaan tahun 80-90an dilakukan di rumah-rumah pemilik televisi dan di kantor balai desa.

Kisah nobar manusia yang hidup dalam ekosistem infotek memiliki cerita sendiri. Nonton bareng -biasanya pertandingan sepak bola- diselenggarakan di pusat-pusat kuliner, warung kopi, di lapangan terbuka, di gedung, dan di jalanan. Kendati hampir setiap rumah telah memiliki televisi dan setiap individu memiliki gawai, namun kisah nonton bareng tetap menjadi cara tersendiri dan lebih menarik minat, dilakukan oleh masyarakat modern.

Film Doraemon juga mengalami transformasi. Selama ini, telah terproduksi 45 film lepas dengan durasi satu jam lebih. Muatan dan tema konten juga mengalami hal serupa, misalnya dalam Doraemon the Movie: Nobita’s Sky Utopia (2023) diawali dengan dialog singkat para siswa mengenai novel Utopia karya Thomas More yang ditulis pada tahun 1516 M. Prolog film ini mendeskripsikan sebuah wilayah bernama Utopia, daratan berbentuk bulan sabit, warga negaranya hidup rukun, tanpa peperangan dan kelaparan.

Bagi seorang Nobita dan sebagian besar anak-anak tentu saja, kondisi yang terlukis dari sebuah negara bernama Utopia menjadi dambaan mereka. Di mana mereka dapat hidup damai, tenang, dan tenteram. Bagi Nobita yang manja mungkin hidup di negara seperti ini hanya cukup diisi dengan duduk berleha-leha, serta tidak perlu susah-susah belajar. Karena dunia anak memang seperti ini, tidak perlu dipusingkan oleh hal Ikhwal yang dihadapi oleh manusia dewasa.

Bukan hanya oleh anak-anak, negara idaman seperti yang disebutkan dalam Utopia karya Thomas More tentu saja menjadi harapan manusia dewasa. Dan bagi manusia dewasa, saat menonton film Nobita’s Sky Utopia ini, seharusnya mengundang nyali untuk mencari-cari novel Utopia tersebut.

Secara filosofis, novel Utopia ini sebenarnya telah ditafsirkan secara sederhana oleh John Lennon dalam lagu Imagine. Melalui kalimat sederhana: imagine no possessions (bayangkan, kehidupan tanpa kepemilikan).

Artinya untuk mencapai kondisi utopis mengharuskan pelepasan hak milik dari setiap warganya. Konsep utopis akan menjadi lebih berat jika diterapkan di masyarakat kapitalis. Bahkan, ketika kita menuturkan konsep pencabutan hak milik pun akan terjebak pada konsep sosialis dan komunis.

Meskipun tidak ada keterkaitan antara konsep utopia, sosialis, dan komunis. Sebab satu konsep dengan yang lainnya sangat jauh berbeda. Saling-silang dan perbedaan pendapat serta mengarah kepada percekcokan dan bias penafsiran terhadap pandangan atau konsep utopis memang wajar, mengingat sejak fajar peradaban manusia terbit, panggung sejarah kehidupan manusia lebih banyak diwarnai oleh situasi distopia, negasi dari utopia, kehidupan yang mengerikan.

Novel Utopia Thomas More meskipun bergenre sastra namun telah memengaruhi para pemikir Eropa dari abad ke 16 sampai sekarang. Pertanyaan seperti bagaimana cara untuk mewujudkan Negara Utopia seperti yang dideskripsikan oleh More, sebuah wilayah tanpa perang dan kelaparan? Telah mengelompokkan para pemikir Eropa saat itu ke dalam aliran dan madzhab, terutama dalam bidang ekonomi.

Mugkin jawaban yang disodorkan oleh para pemikir dari mulai era kuno, era ekonomi keislaman seperti Abu Yusuf, era klasik seperti Adam Smith, Ricardo, Engel, Marx, Weber, John Stuart Mill, hingga era modern akan menimbulkan dialektika berkepanjangan. Berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh Doraemon, dia hanya dengan menghubungi seorang penjual balon gas udara yang ada di masa depan, lantas dibawanya ke masa kini, kemudian tokoh-tokoh dalam film ini siap melakukan petualangan ke negeri-negeri yang serupa dengan Utopia.

Tak mengherankan teori yang dikemukakan oleh John Stuart Mill dan para saintis yang satu pemikiran dengannya dipandang sebagai konsep utopis oleh pemikir aliran lainnya. Penyebutan konsep utopis ini disandarkan pada Utopia karya Thomas More tersebut. Manusia modern pun memiliki pikiran serupa, mewujudkan negara Utopia hanya imajinasi saja seperti kisah fantasi yang dihadirkan dalam film Doraemon.

Sekarang menjadi lebih jelas, untuk mewujudkan kebaikan bersama, manusia dewasa memang harus menjiwai kembali dunia anak-anak yang ceria, bersih, tidak mudah putus asa, cek-cok sebentar kembali pahade, dan berjiwa suci. Sayang sekali, manusia dewasa seperti kita sering memandang dunia anak hanya berupa masa lalu dan bukan ciri manusia dewasa.

Makanya, formula yang dibuat oleh manusia-manusia dewasa terlihat banyak mengatur dunia anak-anak. Tidak sedikit seperangkat aturan yang dibuat dan diterbitkan bukannya menempatkan anak-anak pada ekosistem dan dunianya, namun menarik mereka untuk terjun bebas agar lebih cepat tumbuh menjadi dewasa.

Saya dan teman-teman yang tumbuh berkembang sebagai anak-anak di tahun 80-an dan 90-an tentu patut bersyukur. Dari masa kanak-kanak ke arah remaja berjalan cukup lambat. Kami pernah mengalami seperti apa yang diperankan oleh tokoh-tokoh dalam film Doraemon. Untuk menjadi manusia bahagia, saat itu kami hanya perlu terjun dan berenang di kolam mesjid, bermain di sawah, hujan-hujanan, dan melakukan permainan anak-anak.

Akhir-akhir ini, kita mungkin sering menyaksikan manusia dewasa begitu berbahagia saat ulang tahunnya dirayakan, meniup lilin, tepuk tangan, nyanyi dan joget, serta potong kue. Hakikatnya, mereka kembali ke masa kanak-kanak, sedang menghadirkan dunia utopis ke dalam kehidupan dewasanya. Manusia dewasa yang sedang berulang tahun, tidak akan marah meskipun kepalanya ditaburi tepung, dipukul dengan telur, diguyur air, hingga dilemparkan ke dalam kolam. Seperti itulah kehidupan di negara Utopia, tanpa perang dan kelaparan.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 6)"