Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 7)



Pertengahan tahun 1987, saat itu baru duduk di kelas dua sekolah dasar, saya membaca sebuah majalah. Judul pada sampul majalah tersebut “PLO: Palestina Tertindas” bergambar Yasser Arafat, pemimpin organisasi pembebasan Palestina. Dan terus terang, saya sangat menikmati membaca halaman demi halaman isi majalah dari awal sampai akhir.

Pikiran anak-anak seusia saya saat itu tentu tidak menangkap secara utuh informasi mengenai penindasan Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Saya hanya membayangkan dari informasi tersebut, bahwa orang-orang Palestina, terutama anak-anak seusia saya harus hidup dalam ancaman moncong senjata.

Mungkin bagi mereka, langit yang kita rasakan saat itu adalah keindahan yang diwarnai oleh arak-arakan gemawan, merupakan awan kelam dipenuhi oleh moncong senapan mesin yang siap menghujani mereka dengan peluru panas kapan saja.

Apalagi setiap lembar majalah dibubuhi gambar penderitaan dan wajah pilu orang-orang Palestina, dicekam ancaman kelaparan dan ketakutan di saat negara Indonesia sedang berada pada situasi swasembada pangan, berkelimpahan dengan sumber makanan pokok.

Di saat dunia sedang ada pada fase antiklimaks perang dingin, dan sebagian besar negara di dunia ini telah memproklamasikan kemerdekaannya sejak Perang Dunia II usai, Israel malah menempatkan diri sebagai neo-impersialis yang bertengger dan bersandar di balik alasan wahyu kitab suci, berkedok dalil keilahian, berdalih untuk merebut kembali tanah perjanjian.

Terma Yahudi pada tahun 80-an, di perkampungan, seingat saya saat itu, sudah sedemikian mengalami peyorasi, degradasi makna. Saat anak-anak melakukan perbuatan kurang baik, para orangtua akan menisbatkan perbuatan tersebut mewakili perilaku bangsa Yahudi. 

Sampai ungkapan: “seperti Yahudi saja perilakumu itu” menjadi hal biasa saat itu. Tentu saja, pandangan seperti ini merupakan stereotip atau menggeneralisasi perbuatan sebagian kecil orang-orang Yahudi, baik yang termaktub dalam kisah atau terinformasikan oleh media massa seperti majalah yang saya baca pada tahun 1987 tersebut.

Saya telah terbiasa mengajukan pertanyaan kepada kakek dan nenek, sebagai bentuk konfirmasi, apa benar orang-orang Yahudi itu pada berengsek? Nenek selalu memberikan jawaban dengan kisah quranic. Salah satu perangai jelek mereka, bangsa Yahudi, sepengetahuan nenek adalah bangsa yang banyak melakukan pengingkaran terhadap ajaran Tuhan, nabi-nabi yang berasal dari kaumnya sendiri saja mereka bunuh. 

Dan mereka juga telah biasa melakukan praktik okultisme saat merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Narasi tentang kejelekan Yahudi ini biasanya terhenti sampai kisah ketika Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah.

Pandangan rata-rata orang kampung di tahun 1980-an kemungkinan besar tidak sampai pada wilayah geopolitik dan informasi sikap agresif “haus tanah dan darah” bangsa Yahudi. Nenek saya juga hanya menyampaikan satu simpulan besar bahwa bangsa Yahudi -merujuk pada sejarah dan kisah- memang sering tampil sebagai bangsa yang “kurang ajar”, bahkan pernah dikutuk menjadi kera karena mengabaikan hari Sabath.

Dari majalah tahun 87-an, saya mendapati fakta menarik tentang sikap arogan Yahudi terhadap bangsa Palestina. Sementara dari nenek, saya menyerap kisah bangsa pilihan Tuhan yang sering mengabaikan pesan-pesan penting kitab Taurat. Kedua informasi ini, antara informasi faktual majalah dengan kisah dari nenek memang berbanding lurus dan mendukung kesimpulan bahwa bangsa Yahudi memang berengsek.

Memiliki pandangan stereotip bahwa Yahudi sebagai bangsa berengsek tidak berarti bahwa orang-orang Islam merupakan kumpulan manusia-manusia paling benar. Sebab, di dalam masyarakat Yahudi pun, saya meyakini satu hal, ada di antara mereka manusia-manusia yang lurus, dan ini memang satu keniscayaan dalam kehidupan.

Masalah agresivitas dan arogansi mereka saat mencuri tanah orang-orang Palestina memang ada di wilayah genetika leluhur mereka. Sebagai bangsa nomad, tidak pernah memiliki tanah dan kampung halaman secara mandiri-berdaulat, sejarah mereka diwarnai oleh penindasan dan perbudakan oleh bangsa lain, menjadi alasan perangai mereka akan diliputi oleh dendam kesumat, rasa ingin memiliki tanah dan kedaulatan, disokong oleh perjalanan panjang mereka kendati minoritas dalam jumlah namun selalu menjadi tajuk perbincangan di setiap fase sejarah.

Masyarakat Eropa sampai tahun 1945 saja masih memiliki prasangka negatif kepada bangsa Yahudi. Apalagi jika kita merujuk pada sejarah kelam Eropa selama abad pertengahan. Yahudi selalu dijadikan alasan penyebab kemunculan bencana, wabah, dan kekacauan di sana. Wabah Maut Hitam disebabkan oleh imigran-imigran Yahudi yang jorok dan kotor, tinggal di Ghetto-Ghetto kumuh.

Diaspora atau penyebaran mereka ke negara-negara dan wilayah di luar Yerusalem atau tanah perjanjian juga sebetulnya menjadi salah satu fakta bahwa sejak terbit fajar sejarah, mereka memang tidak pernah memiliki tanah dan kedaulatan sendiri. Munculnya keinginan untuk mendirikan negara Israel saja baru dimulai pada dekade pertama abad ke-20 oleh Zionis di bawah kepemimpinan Theodor Herzl.

Alasan lainnya, sebagian besar orang Yahudi menyebar ke berbagai negara karena alam bawah sadar mereka sebetulnya menyangsikan dan meragukan, kondisi tanah perjanjian yang kering dan minim sumber daya alam sangat paradoks dengan imaji surgawi yang dimuat dalam kitab suci mereka tentang tanah yang subur, ditumbuhi oleh pepohonan, dan air jernih mengalir.

Pada saat eksodus besar-besaran dan penerapan inkuisisi Spanyol terhadap umat Islam dan Yahudi, mereka menafsirkan ulang bahwa tanah perjanjian adalah sebuah benua di sebelah barat, yang kemudian dikenal dengan Amerika. Sampai abad ke-19, mereka mulai membangun komunitas di Amerika Serikat.

Holocaust oleh NAZI secara tidak langsung menjadi jendela masuk bagi bangsa Yahudi untuk pindah ke Palestina. Sangat rasional, sebagian besar bangsa Eropa sangat tidak mengharapkan kehadiran bangsa Yahudi, apalagi menduduki wilayah dan jabatan strategis. Sikap Hitler menjelang akhir Perang Dunia II dengan mengusir dan menggiring bangsa Yahudi ke kamp konsentrasi, sebetulnya disambut baik oleh para pemimpin Eropa.

Inggris seolah mendukung eksodus bangsa Yahudi ke Palestina agar mereka benar-benar mengosongkan negaranya. Inggris mendukung sepenuhnya pendirian negara Israel karena dengan demikian orang-orang Yahudi akan keluar dari Inggris, termasuk keluar dari negara-negara Eropa.

Apa yang dilakukan oleh Hitler dengan mengusir dan membunuh orang-orang Yahudi sebetulnya sama dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa yang memusuhi Hitler, yaitu mengeluarkan orang-orang Yahudi dari benua mereka. Perbedaannya terletak dari caranya saja, kasar atau halus.

Saya mungkin termasuk anak yang beruntung pada tahun 1987 karena sudah dapat mengakses informasi tentang sepak terjang bangsa Yahudi sejak pendirian Israel tahun 1948 dan pasca-kemenangan kecil mereka atas Mesir dan Suriah dalam perang Yom Kippur pada 1973. Dan itu hanya melalui sebuah majalah.

Informasi penting lainnya, saya telah mengetahui rencana mereka yang tertuang di dalam The Protocols of The Elders of Zion di majalah yang sama. Masyarakat kita -mungkin- baru mulai mengenal protokol para tetua Zion ini beberapa tahun setelah reformasi, saat penerjemahan dan pencetakan buku-buku dari Timur Tengah marak di negara ini. Dan yang mengetahui dan ingin tahu juga hanya sebagian kecil saja dari kita.

Orang-orang Yahudi yang baik mungkin akan menyangkal informasi mengenai “keberengsekan” bangsa Yahudi, sama halnya dengan umat Islam akan menyangkal ketika digeneralisasi sebagai kaum radikal. Karena keburukan memang tidak dapat disangkutpautkan dengan etnis, negara, agama, dan bangsa.

Siapa saja dapat menjadi baik atau jahat, dan ketika kejahatan itu dilakukan oleh orang-orang dari mana latar belakangnya, maka akan berlaku pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga. Hanya karena sebagian kecil bangsa Yahudi yang berkhianat dan membunuh para nabi, citra Yahudi pun pada akhirnya menjadi tercoreng.

Ketika segerombolan psikopat yang beragama Islam melakukan pengeboman di Bali beberapa tahun lalu, maka umat Islam pun akan dituding sebagai pelaku makar dan dicurigai. Apalagi di era kemajuan infotek, framing akan sangat mudah diciptakan. Walakin, yakinlah bahwa kebenaran akan selalu tetap bersinar, meskipun ditutupi oleh tembok tebal kemunafikan.

Dimuat Radar Sukabumi, 04 Desember 2023
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 7)"