Fitur kehidupan antara wilayah perdesaan dengan perkotaan memiliki perbedaan yang jelas dan signifikan sampai akhir tahun 1990-an. Perbedaan ini terlihat secara alamiah dan sosial kultural. Wilayah perdesaan dijejali oleh berbagai vegetasi dari mulai rerumputan hingga pepohonan tingkat tinggi.
Sementara, wilayah perkotaan -saat itu- sudah mulai dipenuhi oleh lapisan-lapisan terluar kulit bumi dengan tembok dan beton. Jika saat itu sudah ada Google Map, perbedaan itu akan tampak dari warna lapisan terluar bumi.
Perbedaan alamiah ini sangat kuat memengaruhi karakter dan sikap para penghuni satu kawasan. Masyarakat perdesaan sering menyelaraskan pola interaksi dan kehidupan mereka dengan karakteristik lingkungan agraris dan ditumbuhi oleh berbagai vegetasi alami.
Mereka cenderung mempraktikkan norma-norma lama yang berbau tradisi. Kebiasaan baik mereka salah satunya menanami areal pemukiman dengan beragam tumbuhan, hingga halaman rumah pun mereka tanami dengan aneka ragam tumbuhan.
Permainan anak-anak perdesaan memperlihatkan kepelbagaian, mengikuti perubahan musim. Mereka biasa melakukan permainan anak-anak seperti galasin, ucing sumput, bebentengan, dan oray-orayan menjelang musim panen.
Sebab, beberapa permainan memang memerlukan lingkungan pendukung, apalagi beberapa jenis permainan ini dilakukan oleh anak-anak pinggir desa yang masih ditumbuhi oleh berbagai pepohonan berukuran tinggi besar. Tidak hanya menjelang musim panen, permainan tradisional ini juga dilakukan oleh anak-anak di musim kemarau dan di waktu sore setelah salat ashar.
Saat memasuki musim penghujan sebagai waktu yang tepat untuk bercocok tanam, permainan anak-anak lebih banyak diisi oleh aktivitas seperti ngurek, bermain di atas pematang sawah, membuat kolam-kolaman kecil di sawah yang sebentar lagi akan diolah oleh para petani, dan menangkap ikan di sungai, sesekali mandi bersama-sama di sana.
Semua jenis permainan ini dipraktikkan oleh anak-anak perdesaan karena kondisi wilayahnya memang mendukung jenis-jenis permainan tersebut. Permainan tradisional oray-orayan, dalam syairnya, sangat kentara mendeskripsikan secara singkat kondisi alam perdesaan.
Penyebutan oray (ular), sawah, leuwi (bagian terdalam sungai), dan aktivitas masyarakat perdesaan yang biasa mandi di sungai adalah wujud ragawi alam perdesaan. Dalam waktu yang cukup lama, sungai masih menjadi andalan masyarakat perdesaan untuk kegiatan mandi, mencuci pakaian, dan mencuci piring gelas.
Aktivitas seperti di atas akan terlihat jorok ketika dipandang oleh manusia modern yang telah memahami dan menerapkan konsep sanitasi. Namun, kita harus memahami ada perbedaan signifikan antara air sungai di masa lalu dengan di masa kini. Hampir setiap masjid di wilayah perdesaan sampai penghujung tahun 90-an masih memiliki kolam di bagian depannya.
Kehadiran kolam ini dapat digunakan oleh masyarakat muslim untuk bersuci sebelum memasuki masjid. Air kolam rata-rata mengandalkan pasokan air sungai yang mengalir tak jauh dari masjid. Kondisi sungai saat itu belum sekotor dan dijejali oleh aneka sampah seperti sekarang.
Keberadaan kolam di depan masjid ini menjadi salah satu fitur masyarakat perdesaan yang jarang ditemui di lingkungan perkotaan. Bagi anak-anak desa, kolam masjid dapat dimanfaatkan untuk kegiatan berenang. Secara tidak langsung, kehadiran kolam ini menjadi semacam tempat berlatih berenang bagi anak-anak perdesaan. Mereka tidak perlu mengikuti les renang seperti saat ini.
Kolam masjid juga dapat menjadi ruang konektivitas masyarakat menjelang bulan puasa. Kegiatan membersihkan diri dan lingkungan menjadi tradisi dan amalan sunat bagi masyarakat termasuk menguras dan membersihkan kolam masjid. Setelah air kolam surut, masyarakat -biasanya dipimpin oleh kyai setempat- membersihkan endapan tanah kolam, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan ngaliwet (masak bersama). Ikan yang mereka tangkap di kolam dijadikan lauk-pauknya.
Ketersediaan fitur permukiman perdesaan seperti rumah-rumah dilengkapi dengan halaman luas dan ditumbuhi oleh berbagai tanaman seperti belimbing, jambu air, jambu biji, cengkih, dan sawo telah membangun kebiasaan positif masyarakat perdesaan. Setiap hari atau tiga kali dalam seminggu, pemilik rumah biasa menyapu halaman, membersihkannya dari daun-daun kering, memangkas rumput, dan membenahi halaman rumah.
Sangat kentara sekali perbedaan antara pemilik rumah yang malas bersih-bersih dengan orang yang rajin membersihkan rumahnya. Walakin, secara umum, ketersediaan halaman rumah yang dimiliki oleh masyarakat telah melahirkan kebiasaan hidup bersih tanpa perlu disosialisasikan seperti saat ini melalui program pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Masyarakat telah benar-benar memahami, saat halaman rumah mereka dipenuhi oleh dedaunan kering, ya memang saatnya untuk dibersihkan.
Jalan setapak yang terletak di pinggir perkampungan, menggurat memanjang melintasi areal yang ditumbuhi oleh pepohonan tingkat tinggi merupakan sarana penghubung masyarakat perdesaan dengan areal persawahan. Mereka lebih memilih melalui jalan setapak karena lebih sejuk di siang hari daripada jalan besar perdesaan saat itu masih dilapisi oleh bebatuan. Saat pulang sekolah pun, anak-anak lebih memilih melalui jalan setapak di pinggir jalan.
Kondisi jalan berbatu dan keberadaan jalan setapak telah membangun kebiasaan positif masyarakat, mereka menjadi lebih banyak berjalan kaki. Aktivitas jalan kaki, di era sekarang, sangat dianjurkan. Produsen ponsel dan jam tangan cerdas menyematkan aplikasi penghitung seberapa jauh dan berapa langkah yang telah ditempuh oleh pemilik ponsel dan jam tangan ini melakukan aktivitas jalan kaki. Sementara, bagi masyarakat perdesaan kegiatan jalan kaki bukan menjadi hal aneh.
Keberlimpahan sumber daya alam memengaruhi kebiasaan masyarakat perdesaan yang selalu merasa cukup dengan berkah alam. Mereka juga tidak perlu boros biaya. Untuk membuat jembatan di atas selokan, mereka hanya tinggal memadukan 3-5 batang bambu. Masyarakat hanya memerlukan pohon kelapa untuk membuat bendungan. Da ketersediaan sumber daya alam ini telah membantu pemerintah saat itu dalam menghemat pengeluaran anggaran yang tidak perlu.
Bahkan, untuk memandikan jenazah saja, masyarakat hanya menggunakan dua gedebog pisang. Dan ini hanya digunakan sekali saja, langsung dibuang ke pinggir kampung. Dalam beberapa bulan ke depan, gedebog pisang ini telah dipenuhi oleh cacing cau yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk umpan saat akan memancing ikan di sungai atau di kolam.
Tindakan di atas, memanfaatkan pohon pisang untuk tempat memandikan jenazah, saat ini akan dipandang tidak praktis dan membuang-buang waktu saja. Daripada harus menebang pohon pisang setiap ada orang meninggal, masyarakat modern lebih memilih membuat tempat memandikan jenazah dari kayu atau besi. Lebih awet dan praktis.
Dari situasi tersebut kita sebetulnya sudah dapat mengukur, sikap boros dan tidak praktis ini dipengaruhi oleh kelangkaan barang. Saat sumber daya alam semakin berkurang, maka pemanfaatan yang kurang penting akan dipandang sebagai sikap boros.
Walakin, jika kita membandingkan secara fair. Manusia modern lah yang lebih banyak melakukan pemborosan. Sekadar membuat bendungan dan jembatan saja, manusia modern harus melalui berbagai proses dari mulai musyawarah pembangunan, penentuan ketersediaan anggaran, penyelarasan kegiatan, apakah pembangunan jembatan ini sudah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional? Dan berapa ketersediaan anggaran yang dibutuhkan.
Proses pembangunan jembatan dan bendungan dari mulai musyawarah pembangunan tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota, Provinsi, Nasional hingga ditetapkan dan disahkan oleh pemerintah bisa memerlukan waktu hingga tiga sampai enam bulan di saat masyarakat perdesaan beberapa dekade lalu hanya memerlukan waktu hitungan jam saja saat membuat sebuah jembatan.
Orang desa di masa lalu dapat saja terkekeh-kekeh demi melihat perilaku manusia modern yang selalu ribet dan bertele-tele namun acapkali merasa paling praktis dan serba cepat.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 8)"