Kita memang tidak sedang hidup di era kebebasan di tahun 1980-1990. Walakin, tatanan di akar rumput nyata sekali menunjukkan ketertiban yang pada beberapa tahun sebelum kelahiran gerakan reformasi situasi ini disebut pemaksaan dari sistem sentralisasi Orde Baru.
Hanya saja, masyarakat akar rumput tidak pernah mau tahu semua itu. Bagi mereka, keluarga inti dapat mengonsumsi telur rebus dibagi dua pun sudah merupakan satu kemewahan. Orde Baru benar-benar menekankan pola hidup sederhana dari mulai kepemilikan properti hingga jumlah anggota keluarga.
Apalagi bagi dunia anak-anak, mereka tidak pernah mau tahu seperti apa sistem pemerintahan yang diterapkan. Hal paling penting bagi anak-anak saat itu adalah mereka tidak kehilangan dunianya, dunia anak-anak yang penuh dengan keceriaan.
Mereka dapat mengenyam pendidikan dengan murah dan terjangkau, uang SPP tingkat dasar saat itu ditetapkan oleh BP3 sebesar Rp. 400,-. Jika dikonversi, nilai sebesar itu sebanding dengan harga satu bungkus rokok saat itu. Alasannya sederhana, kenapa saat itu setiap orangtua diberi beban membayar iuran sekolah, Orde Baru menginginkan muncul swadaya masyarakat di bidang pendidikan.
Materi pelajaran yang diberikan kepada para siswa tingkat dasar juga tidak terlalu beragam seperti sekarang, namun mereka -para siswa- dituntut untuk menghafal nama-nama menteri Kabinet Pembangunan, memahami teori sederhana dalam berhitung, mengenal nama-nama planet, mengerti aksara Jawa yang dianggap serupa dengan aksara Sunda, mengenal dan menghafal nama-nama ibu kota provinsi dan negara-negara di dunia, serta mengenal secara detail ke-35 butir Pancasila.
Secara tidak langsung, teori-teori sederhana ini mampu memengaruhi alam bawah sadar para pelajar dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Sistem pendidikan dan pembelajaran seperti ini sebetulnya pernah diterapkan dalam sistem padepokan di masa kejayaan Nusantara. Saat ini sistem seperti ini -demi alasan kemajuan teknologi dan informasi- sudah jarang diterapkan di lembaga pendidikan.
Kita cenderung ingin mengejar ketertinggalan namun dengan tenaga yang tidak terlalu kuat. Penerapan sistem pendidikan tradisional dan yang kita pandang kuno justru telah mampu mengundang pelajar-pelajar dari luar negeri belajar ke perguruan tinggi di negara ini. Contoh seperti ini kiranya memang harus digaungkan kembali. Bukan sekadar melalui kegiatan pertukaran pelajar.
Sistem pendidikan yang dibangun di atas landasan Pendoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) adalah nilai penting dalam pendidikan sebagai lembaga suci yaitu kejujuran. Saya berikan beberapa contoh, bagaimana kejujuran benar-benar diterapkan dalam sistem pendidikan kita pada tahun 80-90an.
Para guru benar-benar memberikan nilai akademik kepada para peserta didik sesuai dengan capaian prestasi mereka. Seorang anak yang mendapatkan nilai 5 saat mengikuti Tes Hasil Belajar (THB), akan mendapati nilai 5 berwarna merah pada rapornya. Jika tidak ada perbaikan di semester berikutnya, siswa tersebut akan dinyatakan tidak naik kelas, dan harus mengulang kembali belajar di kelas yang sama sampai dapat memperbaiki nilainya.
Kejujuran inilah yang dipegang di dalam dunia pendidikan saat itu. Sangat mustahil seorang guru dapat mengubah nilai siswa karena jika hal itu dilakukan, ia sama saja dengan mengkhianati posisi dirinya sebagai seorang guru dan sama dengan tidak mampu mengajar peserta didik dengan baik. Kejujuran dalam dunia pendidikan sama dengan mengakui apa adanya dan secara objektif terhadap apa saja yang terjadi di satuan pendidikannya.
Sekolah yang tidak meluluskan peserta didik ke jenjang kelas berikutnya sama sekali tidak menanggung rasa malu karena telah melakukan hal yang benar. Rasa malu justru akan diterima oleh sekolah ketika mereka meluluskan peserta didik yang belum mampu memenuhi syarat naik kelas.
Lahirnya kejujuran bukan hanya menjadi peran lembaga pendidikan saja. Keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama memiliki peran penting dalam membangun sikap positif anak-anak saat itu. Keluarga inti memberikan pendidikan melalui nasehat-nasehat betapa penting anak dan cucu bersikap jujur dan terbuka.
Seorang anak akan mengaku telah mencuri jambu tetangganya kepada orangtua tanpa perlu dipaksa. Pengakuan seperti ini merupakan kejujuran yang sudah jarang terjadi di zaman sekarang. Antara kenakalan seorang anak dengan sikap jujur memang dua hal berbeda. Paling tidak, melalui pengakuan seperti inilah keluarga memiliki alasan dalam membenahi perilaku anak-anak harus diawali dari mana dulu.
Saya pernah membaca sebuah buku dengan judul Confessions (pengakuan) yang ditulis oleh St. Augustinus. Dalam buku yang tidak terlalu tebal ini, Augustinus menulis pengakuan, kejahatan dan kebaikan yang pernah dilakukannya sebelum dirinya menjadi seorang biarawan Katolik.
Buku ini benar-benar dipublikasikan di abad pertengahan dan dikonsumsi oleh khalayak. Melalui pengakuan dari lubuk hati paling dalam inilah, Confessions justru telah dijadikan rujukan sampai sekarang sebagai buku spiritual yang syarat dengan pengalaman menuju Yang Ilahi.
Sikap yang dilakukan oleh Augustinus, mungkin saja akan dicap sebagai ketololan di era sekarang yang sudah lumrah dibalut oleh kamuflase dan kepalsuan. Bahkan, pengakuan seperti yang dilakukan Augustinus akan direkam dan dijadikan sebagai jejak digital. Sebab, rata-rata manusia modern memang kerap memadukan antara perbuatan masa lalu dengan masa kini seolah-olah sama saja. Padahal di dalam setiap agama terdapat konsep penting, pengakuan dan pertobatan.
Kejujuran dengan segala bentuk turunannya seperti yang pernah dipraktikkan oleh generasi 80-90an sebetulnya implementasi sederhana dari dalil: “Ya, Tuhan, kami telah dzalim atas diriku sendiri. Dan jika Engkau tidak mengampuni kami, maka kami benar-benar akan menjadi bagian dari orang-orang yang merugi”, bentuk kejujuran dan pengakuan dari Adam dan Hawa atas perbuatan mereka. Ini berarti, kejujuran benar-benar hanya dilakukan oleh manusia pemberani.
Kita, saat ini, dapat saja dengan mudah menuding pihak lain sebagai kelompok munafik, di saat kejujuran benar-benar telah tercerabut dari diri kita. Bukankah ketidakjujuran telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sebuah Hadits populer sebagai ciri kelompok munafik? Ketika ketidakjujuran telah menjadi warna dalam kehidupan, maka akan berdampak pada perbuatan sebagai ciri kemunafikan lainnya yaitu tidak dapat memegang amanah atau sering berkhianat.
Sekarang, kita memang dituntut untuk mundur jauh ratusan tahun ke belakang di saat kita merasa optimis untuk mengejar segala ketertinggalan. Kondisi serupa pernah dialami oleh negara-negara yang kita anggap maju saat ini, Eropa. Sejak era kemunculan aristokrasi, Eropa benar-benar diselimuti oleh kebohongan yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan.
Anton Chekhov -seorang sastrawan Rusia itu- pernah mengungkapkan kejujuran yang telah tercerabut dalam diri masyarakat Rusia dalam cerpen Pengakuan. Di belahan bumi yang penuh dengan kepalsuan, Chekhov memandang masyarakat akan berani memberikan umpatan dan cacian kepada para petinggi kerajaan di saat dunia sedang gelap dan diri si pengumpat tidak terlihat jelas oleh siapa pun.
Namun, di saat kondisi berubah menjadi terang, si pengumpat yang sebelumnya berbicara begitu berapi-api, dia akan terlihat murung, tertunduk lesu, tanpa menuturkan kata-kata. Itulah ketidakjujuran, perbuatan yang berbeda dalam setiap situasi berbeda dalam menghadapi hal yang sama.
Saya pernah berkelakar, kenapa di era reformasi, ketika negara ini seharusnya kembali kepada formasi awal, sebuah negara gemah ripah loh jinawi, kerta tata raharja, justru sedang mengalami fase yang pernah dialami oleh Eropa sejak abad pertengahan hingga Aufklarung? Mungkin, dalam kelakar saya, kita terlalu berlebihan menuding Orde Baru melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Toh, praktiknya justru lebih dominan terjadi di era reformasi.
Hal sama juga berlalu bagi Orde Baru ketika melengserkan Orde Lama dengan tudingan memihak kepada kelompok kiri, toh dalam praktik dan programnya, Orde Baru banyak mengadopsi sosialisme. Mau tidak mau, kita, manusia yang hidup di masa kini memang harus berani membuat pengakuan secara jujur dan terbuka terhadap setiap tindakan di masa lalu. Jika tidak demikian, maka cita-cita kita kembali kepada formasi awal (mengaku sebagai bangsa yang bertuhan, berperikemanusiaan, menjunjung persatuan, gemar bermusyawarah, dan berkeadilan sosial) akan sulit diimplementasikan.
Kuncinya, semua harus mencontoh anak-anak, menjadi manusia bersih, tidak takut mengaku pernah salah, dan hidup di dunia yang dibalut sikap jujur. Generasi 80-90an sebetulnya telah dipersiapkan untuk membawa kita pada kondisi ideal. Sayang sekali, bangsa ini terlalu cepat dalam mengambil keputusan, melakukan apa pun demi alasan kemajuan zaman tanpa pernah mau tahu bahwa ada nilai-nilai mendasar yang akan selalu sama di setiap zaman
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 9)"