Pemilihan Umum tahun 1987 di masa Orde Baru menjadi pesta demokrasi pertama yang saya ingat. Pemilu sebelumnya tidak pernah mengundang rasa penasaran. sSlain masih balita, di tahun 1982, saya lebih sibuk bermain di halaman rumah, menaburkan debu vulkanik letusan Galunggung.
Hampir setiap hari, sejak Galunggung meletus, terjadi hujan abu vulkanik di Sukabumi. Saat keluar rumah, penduduk biasanya menutupi kepala mereka dengan kantong plastik atau melilitkan kain untuk menutupi hidung dan mulut. Produksi dan pemanfaatan masker belum seperti saat ini. Bahkan, masker dan alat pelindung wajah masih merupakan barang langka.
Lima tahun berlalu sejak Galunggung meletus dan Pemilu 1982, rakyat Indonesia pada tahun 1987 kembali memasuki penyelenggaraan pesta demokrasi. Golongan Karya sebagai mayoritas tunggal tetap menjadi partai politik dominan dan domain sejak dari masa kampanye hingga penetapan hasil perolehan suara Pemilu.
Orde Baru tidak memberikan sebutan partai politik kepada Golkar kendari pada praktiknya tetap saja mengedepankan strategi politik. Keengganan disebut sebagai partai politik ini sebenarnya sekadar untuk melegitimasi pemerintah saat itu dalam memanfaatkan sumber daya pemerintah dari mulai anggaran pembangunan hingga aparatur pemerintah dalam mendukung partai penguasa.
Dapat dikatakan, sumber daya anggaran dan manusia hanya dapat digunakan oleh Golongan Karya, dan tidak untuk kedua partai lainnya, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. Dari sini, mulai muncul istilah-istilah yang berkembang di masyarakat seperti; aparat setempat, petugas berwenang, yang berwenang, petugas keamanan, dan pegawai desa.
Pemerintah Orde Baru setiap penyelenggaraan Pemilu memang selalu tampil efektif dan efisien dalam mengelola sumber daya anggaran. Lebih dari itu, pemanfaatan anggaran pusat hingga daerah selalu dihubungkan dengan partisipasi rakyat yang telah memberikan dukungan kepada Golongan Karya. Hampir setiap bidang kehidupan selalu terkoneksi dengan jargon: rakyat manunggal dengan pemerintah.
Susunan personalia Golongan Karya dari pusat hingga desa dan kelurahan diisi oleh orang-orang yang menduduki jabatan strategis. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk memudahkan komando dan koordinasi. Dari sini dapat disimpulkan, Orde Baru memang unggul dari tata-kelola sistem dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya apalagi dengan kondisi saat ini.
Para pengamat memandang, kelebihan ini juga beririsan dengan kerugian bagi proses demokrasi. Alih-alih memberikan kemerdekaan dan kebebasan memberikan pilihan dan aspirasi, mayoritas rakyat justru selalu digiring untuk memberikan pilihan bagi partai pemerintah.
Minoritas atau rakyat yang menjatuhkan pilihan kepada partai lain, di masa kampanye biasanya mendapatkan perlakuan baik secara komunal atau personal. Secara komunal, mereka terbiasa mendengar ancaman; jalan lingkungan tidak diaspal. Dan secara personal, mereka ditakuti-takuti tidak dapat membuat kartu tanda penduduk (KTP) atau dokumen kependudukan lainnya.
Walakin, dalam praktiknya, pemerintah desa, kelurahan, dan kecamatan tetap menerbitkan dokumen kependudukan tanpa perlu mengajukan pertanyaan: saat Pemilu, bapak atau ibu mencoblos gambar apa? Orde Baru hanya perlu memastikan mayoritas rakyat memberikan suaranya kepada Golongan Karya.
Nada ancaman sudah menjadi hal lumrah terdengar di masa kampanye. Bukan ancaman sesungguhnya, karena Orde Baru tetap berpegang teguh pada semangat stabilitas dan keamanan negara. Rakyat yang tidak memilih Golongan Karya tetap diperlakukan sama tidak sebenarnya dimarjinalkan atau dipinggirkan. Orde Baru tidak memberikan toleransi pada tiga hal; ekstrim kanan, ekstrim kiri, dan begundal sampah masyarakat yang sering menebar ancaman verbal dan fisik.
Orde Baru menerapkan pendekatan baru di masa kampanye Pemilu 1987 dengan memberikan peluang kepada para kyai dan ajengan untuk tampil sebagai juru kampanye (jurkam) Golongan Karya di masa kampanye terbuka. Kampanye Golongan Karya tentu saja berbeda dengan kampanye terbuka dua partai lainnya.
Golkar melakukan kampanye terbuka hampir di setiap lapangan desa dan kelurahan ketika partai lainnya hanya kampanye secara terbuka secara masif dan terkonsentrasi di satu tempat saja. Hal ini memang berbanding lurus dengan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh kontestan Pemilihan Umum.
Bahkan, alat peraga dan media kampanye juga disiapkan oleh pemerintah dengan komposisi berbeda. Rata-rata penempatan dan penempelan alat peraga kampanye antara Golkar, PPP, dan PDI memiliki perbandingan 5:1:1. Berbeda dengan Golongan Karya, di mana para pengurus dan kader dapat menempelkan APK di setiap rumah, PPP dan PDI diharuskan meminta izin terlebih dahulu saat akan menempelkan APK jenis kertas bergambar Bintang dan Kepala Banteng.
Bagi anak-anak saat itu, masa kampanye tidak ditafsirkan sebagai bagian dari kegiatan politik. Pikiran mereka belum sampai pada ranah tersebut. Mereka lebih memandang, masa kampanye -apalagi saat kampanye diselenggarakan di lapangan terdekat- merupakan arena untuk menonton hiburan. Masa kampanye selain diisi oleh pidato berapi-api para jurkam, sering diselingi hiburan dangdutan. Namun, karena saat itu kampanye terbuka Golongan Karya diselenggarakan di depan sebuah masjid Jami, hiburan selingan kampanye berupa penampilan musik qasidah atau gambus.
Orde Baru memanfaatkan sumber daya pemerintah untuk meraih perolehan suara maksimal dengan melakukan berbagai pendekatan, terutama mencetak kaos sebanyak-banyaknya dengan melibatkan donatur, para pengusaha. Berbeda dengan dua partai lainnya, selain mendapatkan anggaran partai dari pemerintah tidak sebesar Golkar, PPP dan PDI harus membuat dan mencetak kaos partai secara urunan antar kader atau pengurusnya. Bila perlu, para kader kedua partai ini mengenakan kembali kaos partai lima tahun lalu.
Masa tenang telah diberlakukan oleh pemerintah pusat, tiga hari sebelum hari pencoblosan. Bagi kedua partai, masa tenang benar-benar dipatuhi sebagai masa yang tidak boleh diisi dengan aktivitas kampanye. Hal serupa tidak berlaku bagi Golongan Karya, masa tenang dipandang sebagai masa penguatan atau konsolidasi pemenangan.
Fungsionaris partai dan Pemerintah Daerah Tingkat II mengundang para pengurus partai, camat, kepala desa, dan lurah. Mereka diberi pertanyaan seragam mengenai kemungkinan persentase perolehan Golongan Karya saat pencoblosan. Jawaban yang diberikan juga seragam, Golongan Karya akan memperoleh suara antara 78-80%. Dan estimasi ini memang selalu berbanding lurus dengan perolehan Golongan Karya dari daerah hingga pusat.
Komponen strategis kemasyarakatan seperti komunitas pemuda, remaja pengajian, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan menjadi bagian integral dari pemenangan suara Golongan Karya. Setelah mendapatkan pembekalan di kantor balai desa, mereka secara otomatis telah menjadi agen pemenangan. Tugas mereka hanya satu, meyakinan pemilih sebaya untuk memberikan hak pilihnya pada Golongan Karya.
Kisah di atas mungkin tidak pernah dialami lagi setelah Orde Baru berakhir dan beralih ke Era Reformasi. Ungkapan kata politik dan partai politik menjadi lebih khusus. Politik -di era reformasi- seolah ditempatkan pada habitat yang benar bahwa wilayah ini hanya dapat disentuh oleh rakyat yang telah berusia 17 tahun dan telah menikah.
Anak-anak tidak dibenarkan memasuki wilayah ini, partai politik dilarang melibatkan mereka saat kampanye. Aparatur sipil negara, TNI, dan Polri menjadi wilayah haram bagi aktivitas politik praktis. Atau sebaliknya, politik praktis menjadi wilayah yang haram disentuh oleh abdi negara.
Menjelang tahun 1997, Orde Baru semakin mengokohkan pijakan kekuasaannya. Tak ada seorang pun dari kita memiliki pandangan bahwa Orde Baru sedang mempraktikkan sistem yang pernah dijalankan oleh Kerajaan Majapahit. Walakin, para aktivis dan lawan politik Orde Baru lebih menyebut Orde Baru menjalankan sistem tirani kelompok. Hal ini disebabkan, penyebutan sistem tirani kelompok lebih mudah dijadikan alasan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru. Padahal antara sistem kerajaan dengan tirani kelompok berada di wilayah abstrak.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 10)"