Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 11)


Setiap generasi memiliki kelebihan dan keunikan masing-masing. Jadi kita dituntut untuk tidak membandingkan generasi baby boomers, generasi X, Y, dan Z secara frontal.

Meskipun generasi X dapat dikatakan sebagai generasi unik dan hebat dalam pandangan penulis, namun saya tidak memiliki hak untuk merundung generasi lainnya. Apa yang terjadi dan berlangsung di setiap milieu sebaiknya diresapi dan diserap unsur-unsur kebaikannya.

Sebagai bagian dari generasi X, saya tentu saja berhak mengisahkan berbagai peristiwa unik yang terjadi sepanjang dekade 80 dan 90-an. Generasi baby boomers yang telah mengalami penyusutan populasi (generasi kakek, nenek, ayah, dan ibu) menjadi generasi yang membersamai generasi X, ditambah oleh generasi Y yang baru menginjak usia anak dan remaja. Dua generasi ini tentu memiliki pengalaman menarik, hidup pada era kecemerlangan generasi X.

Seturut dengan Mac Iver, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat memberi penanda terhadap titik keseimbangan atau equlibrium hubungan sosial masyarakat. Maka, hubungan yang berlaku antara tiga generasi pada tahun 80-90an tidak lebih sebagai perekat sosial.

Kita juga tidak dapat mengelak seperti dituturkan oleh Parson, perubahan yang terjadi di dalam kehidupan tidak diwariskan secara genetika, melainkan melalui proses rekayasa sosial. Apa yang dialami oleh generasi X yang lebih mandiri sebetulnya merupakan hasil yang telah ditanamkan oleh generasi sebelumnya dan berkonvergensi dengan apa yang telah ditemukan oleh generasi X selama membangun hubungan sosial dengan sebayanya.

Generasi X hidup di era menjelang perang dingin berakhir. Informasi yang mereka terima baik skala lokal hingga global didapatkan melalui dua piranti; televisi dan radio. Dua piranti ini jika disandingkan serupa dengan ponsel cerdas saat ini.

Informasi tersalurkan melalui layanan yang mengandalkan gelombang elektromagnetik ini memang tidak semeriah saat dunia memasuki era internet. Namun, dengan informasi sederhana ini, justru mereka dapat menyerap informasi valid, terhindar dari glorifikasi dan ingar-bingar informasi bohong.

Tidak hanya informasi, generasi X begitu menikmati hiburan-hiburan dalam format audio visual mulai dari film serial, dongeng sunda, dan drama radio. Mereka diharuskan membangun imajinasi saat mendengarkan drama radio dan dongeng sunda sambil duduk penuh konsentrasi mengikuti alur cerita.

Misalnya, saat drama radio Misteri Gunung Merapi menyuguhkan kikik tawa seorang Mak Lampir, anak-anak sontak saja membayangkan sosok hantu jahat, berwajah menyeramkan, dan menakutkan. Imajinasi ini dapat membangun berkas di dalam otak, kemudian otak memberikan perintah kepada anak-anak untuk segera bersembunyi di bawah ranjang atau menutupi telinga mereka saat mendengar kikik tawa Mak Lampir.

Begitu juga saat mereka mendengar suara seorang Sembara. Otak memberikan perintah bahwa suara merdu Sembara harus diimajinasikan sebagai sosok gagah dan pemberani. Dalam alam pikir anak-anak, sosok pendekar protagonis adalah seorang lelaki bertubuh kekar, kepala dihiasi oleh ikat kepala, dan tentu saja berwajah tampan.

Ekses penting yang ditularkan oleh drama radio dan dongeng sunda yaitu tentang kebaikan yang akan terus lebih unggul dari kejahatan. Kejahatan memang tampil dominan, namun sejauh apa pun kejahatan berada di depan, kebaikan tetap akan mendahului dan mencerai-beraikannya menjadi serpihan tanpa arti.

Lingkungan perdesaan yang masih ditumbuhi oleh berbagai vegetasi telah membentuk akustik dan suara-suara alam. Anak-anak selalu mengimajinasikan apa yang mereka dengar dari drama radio dan dongeng sunda. Ketika angin berhembus sedikit kencang dan menampar dedaunan, menghasilkan gemeresik gesekan, anak-anak menginterpretasikannya sebagai tanda kedatangan sosok hantu.

Sebetulnya, tanpa diperintah oleh orangtua juga, anak-anak saat itu tidak akan terlalu berani keluar rumah di malam hari. Apalagi, jumlah dan kualitas lampu penerangan tidak secanggih saat ini. Suasana malam yang remang-remang dan buram, menjadi latar belakang penyempurna kisah yang harus dihindari oleh anak-anak.

Mereka tidak keluar rumah di malam hari bukan takut oleh orang-orang jahat misalnya kelompok begal, namun oleh imajinasi yang mereka ciptakan dalam diri sendiri. Manusia modern saat ini akan sedikit heran, apalagi jika mereka ditarik ke masa itu, suasana perkampungan sudah benar-benar sunyi sejak magrib.

Kisah yang diimajinasikan dari drama radio dan dongeng sunda setali tiga uang dengan cerita yang dibangun oleh para orangtua generasi X. Anak-anak jangan keluar rumah menjelang magrib, karena waktu itu merupakan saat Sandekala keluar dari persembunyiannya. Sosok mitologi lain yang sering terdengar adalah Kalong Wewe.

Para orangtua sebenarnya ingin mengatakan: jangan keluar rumah menjelang magrib karena saat itu merupakan waktu yang baik untuk tinggal di rumah, belajar, mengaji, dan memanfaatkan waktu berkualitas dengan keluarga ini (family time).

Dan tanpa perlu ditakut-takuti pun, sebetulnya, anak-anak saat itu tetap akan masuk ke dalam rumah. Walakin, orangtua memang mesti menerapkan strategi efektif agar dipatuhi oleh anak-anak, yaitu dengan membangun kisah Sandekala dan Kalong Wewe.

Lantas, apakah dengan membangun kisah misteri baik dituturkan oleh para orangtua atau melalui drama radio dan dongeng sunda telah mencetak generasi X sebagai para penakut? Justru sebaliknya, kisah tersebut telah membangun sikap fair dari anak-anak, mereka menjadi lebih menghormati waktu.

Kepatuhan terhadap wanci ini berbanding lurus antara kisah yang dibangun oleh alam tentang gelombang yang dipancarkan menjelang pergantian waktu siang ke malam. Piranti lunak yang dimiliki oleh alam, saat menjelang magrib, gelombang gamma memancar melingkupi permukaan bumi. Energi ini jika diserap oleh tubuh manusia dapat merusak sel, mutasi genetika, hingga mengganggu jam biologis pada manusia. Itulah alasan, kenapa para orangtua melarang anak-anaknya berada di luar rumah menjelang magrib.

Listrik telah masuk ke perkampungan di pertengahan dekade 80-an. Memang masih banyak perkampungan yang belum tersentuh aliran listrik. Infrastruktur listrik seperti tiang dan kabel belum sepenuhnya dibangun oleh pemerintah Orde Baru.

Dan bagi masyarakat yang sudah dapat menikmati listrik, suasana di malam hari tidak seseram dengan beberapa tahun sebelumnya saat penerangan hanya mengandalkan lampu obor kerosin. Walakin, kebiasaan sebelumnya tetap mendominasi kehidupan, anak-anak masih tetap tidak berani keluar menjelang magrib. Mereka lebih kerasan tinggal di dalam rumah, di tempat ngaji, dan masjid.

Suasana hening setelah magrib terbuyarkan oleh suara anak-anak mengaji, melafalkan bacaan salat, dan melantunkan nadzam. Komunitas perkampungan sangat taat pada norma yang berlaku saat itu. Suara-suara yang keluar dari radio dan televisi benar-benar dihentikan, dimatikan. Tidak sopan saat anak-anak sedang mengaji, malah menghidupkan radio atau televisi.

Setelah selesai mengaji, anak-anak pulang ke rumah, mendengarkan radio atau menonton televisi. Waktunya dibatasi, cukup sampai pukul 20.00. Sisanya diisi dengan kegiatan belajar dan mengerjakan tugas rumah sampai pukul 21.00 atau wanci sareureuh budak, waktu anak-anak beristirahat. Kepatuhan terhadap wanci ini menjadi alasan, orang-orang saat itu relatif tidak mudah terserang penyakit.

Generasi X telah membangun kisah menarik, kehidupan mereka benar-benar terpateri oleh kondisi alam. Alam senantiasa membersamai mereka, meskipun kadang-kadang mereka harus diingatkan oleh kisah menakutkan seperti cerita Sandekala, Kelong Wewe, dan sosok Mak Lampir. Ini dilakukan agar mereka kembali pada pemahaman: ikuti kehendak alam, maka kehidupan akan berjalan normal.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 11)"