Jalan Raya: Atraksi Perkotaan yang Terus Hidup



Jalan A. Yani dijuluki Jalan Raya karena ukuran panjang dan lebarnya lebih besar dibandingkan jalan lain di Kota Sukabumi. Penyebutan ini juga sebanding dengan tingkat keramaian lalu-lalang pengguna jalan di siang hari.

Kendati perbandingan ukuran Jalan A. Yani dengan beberapa jalan di Kota Sukabumi tidak jauh berbeda, walakin keramaian pengguna jalan menjadi salah satu alasan Jalan A.Yani disebut Jalan Raya oleh masyarakat.

Terlebih, jika dibandingkan dengan ukuran jalan-jalan di perkampungan yang memiliki lebar rata-rata 1,5 meter, maka Jalan A. Yani memang pantas disebut sebagai Jalan Raya, Rajanya Jalan. Bahkan, lebar jalan di perkampungan sampai sekarang tidak mengalami banyak perubahan.

Kecuali beberapa jalan yang pernah diproyeksikan oleh pemerintah sebagai jalan alternatif seperti Jl Proklamasi, Jl. Merdeka, dan Jalan Cemerlang. Namun, jalan lingkungan di perkampungan tidak banyak mengalami perubahan signifikan.

Sepanjang Jalan Raya merupakan citra kemajuan zaman menurut ukuran tahun 80-90an. Berbagai barang dan produk kekinian dapat ditemui dan dibeli di sana. Dari kaset, radio, televisi, sepeda, dan barang-barang lain yang tidak dipasarkan di perkampungan ada di sana. Sontak saja, Jalan Raya selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat perdesaan.

Sebagian dari mereka hanya melihat-lihat barang-barang yang jarang mereka lihat di kampung. Bagi mereka, situasi seperti ini biasa disebut dengan cuci mata, bahkan menjadi bahan perbincangan kepada teman-teman di kampung bahwa di kota sudah ada barang-barang paling mutakhir.

Orang yang lebih tua memandang barang-barang mutakhir terdiri dari radio, televisi, amplifier, dan speaker. Berbeda dengan orang yang lebih muda saat itu, mereka memandang barang mutakhir adalah sesuatu yang lebih portable dan mudah dibawa, misalnya Walkman.

Produk reka cipta SONY tahun 1979 ini mewabah ke berbagai penjuru dunia. Barang ini menjadi produk tersier, setara dengan mewah karena hanya mampu dimiliki oleh masyarakat menengah ke atas. Masyarakat perdesaan pemilik walkman dapat dihitung, tidak lebih dari lima orang. Meskipun para remaja ingin memilikinya, namun tetap tak tersentuh.

Ekspansi produk Jepang pada tahun 80-90an mampu mengalahkan produk-produk negara mana pun. Walkman tidak hanya memasuki kepala-kepala para remaja saat itu, namun telah merasuki para sastrawan.

Para penulis cerpen tanpa sadar memasukkan kata walkman ke dalam karya mereka. Entah sekadar menyebutkan walkman digunakan oleh tokohnya atau menjadikan walkman sebagai objek sentral dalam sastra.

Saya pernah membaca sebuah cerpen pilihan Kompas tentang derasnya teknologi mengalir hingga ke desa-desa. Seorang nenek – yang semula aktif mendengarkan lagu-lagu qasidah melalui radio-tape – mulai meninggalkan barang mutakhir ini setelah diberi pinjam sebuah walkman oleh cucunya yang baru pulang dari Jakarta. Epilognya sangat kentara, Si nenek teradiksi oleh produk SONY ini. Ia berjoget-joget kegirangan saat mendengar musik yang disetel pada walkman.

Padahal awalnya, SONY memproduksi barang-barang portable sebagai barang substitusi saja, barang pengganti dari pada radio-tape agar mudah dibawa saat bepergian. Walakin, pembeli adalah raja, mereka dapat memperlakukan apa pun terhadap produk yang telah dibeli. Dalam bahasa sederhana dapat disebutkan, mau saya apakan ini barang, terserah saya.

Tak mengherankan, pada medio 90-an, rasa khawatir Toffler tentang produk berkategori: beli, pakai, buang semakin terbukti. Berbeda dengan generasi Baby Boomers, mereka membeli barang bukan sekadar untuk dipakai kemudian dibuang begitu saja, melainkan bagaimana barang yang dibeli benar-benar lebih hemat. Dalam memperlakukan batu baterai saja, saat daya listriknya mulai berkurang, para orang tua memilih untuk menjemurnya.

Dan tentu saja, barang tersier seperti walkman ini hanya dapat dilihat dan dibeli oleh masyarakat Sukabumi di toko-toko yang ada di Jalan Raya, Jalan Ahmad Yani. Anak-anak kampung yang belum menginjak jalan ini sering disebut kampungan oleh sebayanya. Mereka memperlihatkan wajah sumringah saat orangtua mengajak mereka main ke kota, jalan-jalan di Jalan Raya. Pulang dari kota, mereka biasa mengisahkan kembali cerita tentang ramai dan serba menariknya sebuah kota.

Berbeda dengan era global village seperti sekarang. Tahun 80-90an, sebuah era ketika antara wilayah perkotaan dengan perdesaan dipisahkan oleh kemajuan teknologi sangat kentara sekali perbedaannya. Masyarakat pelosok yang menempati wilayah perdesaan dan jauh dari pusat kota dicap udik secara lugas dan harfiah. Sekarang ini, kata udik dan kampungan tidak lagi disematkan kepada masyarakat kampung, melainkan pada sikap dan tindakan manusia yang tidak mau mengakui serta mengikuti perkembangan zaman.

Diferensiasi sosial masyarakat perkotaan dengan perdesaan terlihat dari kemampuan mereka dalam mengakses hasil teknologi. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapan Basa Sunda: orang kampung bau lisung, orang kota bau peda. Tentu saja, diferensiasi sosial yang horizontal ini tidak begitu berpengaruh terhadap kehidupan, toh kehidupan antara masyarakat kota dan desa tetap saja berjalan.

Di tahun 80-90an, anak dan remaja perkotaan akan memperlihatkan sikap biasa-biasa saja saat mereka menginjakkan kaki di lingkungan perdesaan yang asri. Sebaliknya, anak-anak dan remaja perdesaan akan memperlihatkan raut wajah takjub saat mereka menginjakkan kaki di pusat kota dan Jalan Raya.

Inilah alasan, pada dekade 80-90an, para pemerhati sosial sering menggunakan istilah urbanisasi melalui tulisan dan penelitian mereka. Kota dipandang sebagai magnet yang dapat menarik masyarakat perdesaan. Sedangkan, pemakaian kata ruralisasi baru dibahas akhir-akhir ini.

Global village yang baru memancarkan auranya pada awal milenium kedua telah mengikis diferensiasi sosial masyarakat. Saat ini sudah tidak ada lagi perbedaan signifikan antara masyarakat perkotaan dengan perdesaan. Konter-konter ponsel, toko televisi, toko barang elektronik, dan apa saja yang semula hanya terdapat di kota, saat ini sudah membanjiri berbagai pelosok.

Ungkapan urang kampung bau lisung sudah tidak berlaku lagi. Mayoritas masyarakat desa saat ini tidak harus menumbuk padi di lesung untuk menghasilkan beras. Mereka telah setara dengan masyarakat perkotaan, membeli beras untuk dimasak dan melakukan tindakan-tindakan praktis lainnya.

Dulu, hanya orang kota dan masyarakat menengah ke atas yang dapat memasak nasi di magic jar. Sekarang ini magic jar bukan barang mewah. Magic jar dapat kita jumpai, hatta itu di sebuah gubuk kecil di tengah persawahan. Magic jar yang semua benar-benar sebagai keajaiban, saat ini tinggal sebuah nama saja.

Masyarakat milenial sebagai penghuni kampung global, mulai memakai istilah-istilah baru yang dapat diterima oleh masyarakat dari berbagai latar belakang. Sebutan Jalan Raya mulai jarang digunakan, pemerintah dan masyarakat mulai menggunakan istilah baru: “pedestrian”. Jalan setapak di perkampungan telah disulap dan diganti istilahnya menjadi gang. Tampilan fisiknya juga berubah dari tanah menjadi rabat beton.

Anak-anak dan remaja kampung saat menginjakkan kaki di atas Jalan Raya tidak akan terlalu memperlihatkan wajah sumringah karena kaki mereka telah terbiasa bersentuhan menginjak jalan beraspal di perkampungan. Apa yang mereka lihat di sepanjang Jalan Raya sama sekali tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka lihat di sepanjang Jalan Pelabuan II.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Jalan Raya: Atraksi Perkotaan yang Terus Hidup"