Pengkajian kitab Tahafut Al-Falasifah (Inkoherensi Pikiran Para Filsuf) yang saya lakukan secara live (tayangan langsung) di media sosial Facebook telah sampai pada episode 20. Dalam tulisan ini akan saya sederhanakan pembahasan dari mulai Prawacana hingga penjelasan tentang “Fii Ibthaali Qidamil Alam” atau penolakan tentang alam yang eternal (Qadim).
Di era modern, perdebatan antara sains dan agama bagaikan percikan api yang tak kunjung padam. Kelompok liberal kerap melontarkan argumen bahwa sains dan agama tak ubahnya bagai minyak dan air, tak dapat bersatu. Sains, menurut mereka, berlandaskan fakta dan data (hisabiyyah), sedangkan agama menjangkau ranah supranatural yang metafisika (ilahiyyah).
Namun, benarkah demikian? Al-Ghazali, dalam magnum opusnya "Tahafut Al-Falasifah", mengajak kita menyelami kompleksitas isu ini dengan pisau bedah intelektualitas.
Persamaan dan Perbedaan Sains dan Agama: Mencari Titik Temu
Al-Ghazali memulai dengan menggarisbawahi realitas yang kita tempati: dunia yang logis dan dapat dipahami akal sehat (mantiqiyyah). Baik sains maupun agama, keduanya berlandaskan realitas ini.
Sebagai contoh, para penganut keyakinan meyakini nikmat dan siksa kubur sebagai kabar atau informasi yang akan terjadi di masa depan. Sama halnya sains, yang memiliki informasi yang belum terbukti dan bersifat aksiomatik, namun menjadi bahan diskusi hangat. Contohnya, hipotesis bahwa semua benda angkasa pada akhirnya akan menuju ruang hampa.
Namun, Al-Ghazali mengingatkan kita untuk berhati-hati. Agama membahas nikmat dan siksa kubur, bukan untuk disandingkan dengan rumus matematika 2+2=4. Begitu pula, tidak adil bila ada tokoh agama yang menyatakan bahwa rumus gaya dan medan listrik tidak relevan di akhirat.
Kejujuran Intelektual: Kunci Menuju Pemahaman
Al-Ghazali mencontohkan perdebatan para filsuf tentang eksistensi alam. Menurutnya, kejujuran intelektual adalah kunci. Tidak dibenarkan bila pembahasan tentang "huduts" (baru) atau "qadim" (eternal) alam dialihkan ke topik lain, seperti "murojjih" (penentu) yang tidak memiliki tujuan saat alam belum ada.
Pengajuan Postulat yang Berbeda: Akar Permasalahan
Al-Ghazali menemukan akar pertentangan antara sains dan agama di abad pertengahan terletak pada pengajuan postulat (asumsi dasar) yang berbeda. Kelompok saintis dan filsuf menggunakan postulat yang tidak sepadan, sehingga memicu kesalahpahaman.
Pentingnya Argumentasi Kuat bagi Umat Islam
Al-Ghazali memberi nasihat penting bagi umat Islam: pentingnya memiliki argumentasi kokoh dalam menjelaskan keyakinan. Argumentasi yang lemah hanya akan menjadi bahan tertawaan bagi kelompok atheis (mulhidun).
Contohnya, pandangan mengenai bentuk Bumi bulat yang telah dikemukakan para sarjana muslim 1000 tahun lalu, masih saja diperdebatkan oleh segelintir orang yang bersikukuh pada pandangan bahwa Bumi datar. Ketidaktahuan ini, menurut Al-Ghazali, hanya akan mengundang cemooh dari kelompok atheis.
Keberadaan Tuhan: Sebuah Perspektif yang Lebih Luas
Permintaan seorang atheis untuk membuktikan eksistensi Tuhan harus dibalas dengan cerdas. Akan sangat tidak adil bagi Tuhan untuk dilihat semua manusia, karena tidak semua orang mampu melihat (misal: tunanetra). Bahkan, saat Tuhan meninggalkan jejak-Nya sekalipun (alam semesta), masih banyak manusia yang tidak dapat mengenalinya.
Eksistensi Tuhan tidak dapat dipertentangkan dengan ketiadaanNya. Sebab, dengan mengatakan kata "tidak ada", sebenarnya kita sedang mengakui yang “ada”. Bukankah kata "Tidak ada" muncul karena “ada”?. Hingga Rumus-rumus fisika pun ada karena hukum-hukum alam telah ada sejak alam ini tercipta.
Stereotipe dan Prasangka: Menjebak Pikiran
Al-Ghazali mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam stereotipe (generalisasi). Tidak semua penganut liberalisme hingga atheisme pandai dalam matematika, fisika, kimia, dan ilmu eksak lainnya. Sebaliknya, tidak semua orang beragama dan soleh ahli dalam ilmu-ilmu agama.
Sains dan Agama: Dua Sisi Mata Uang yang Sama
Al-Ghazali menegaskan bahwa tidak pernah ada pertentangan antara sains dan agama. Keduanya bagaikan siang dan malam, kutub positif dan negatif. Pertentangan justru sering terjadi jika dua hal memiliki kesamaan. Contohnya, dua magnet yang berkutub sama akan saling tolak menolak.
"Ngaos Tahafut Al-Falasifah 1-20" adalah upaya saya dalam mendalami karya Al-Ghazali, agar kita dapat merenungkan kembali hubungan sains dan agama. Dengan pisau bedah intelektualitas, hal ini akan menuntun kita dalam menunjukkan bahwa kedua ranah ini bukan entitas yang bermusuhan, melainkan dua sisi mata uang yang sama.
Di era modern, perdebatan antara sains dan agama bagaikan percikan api yang tak kunjung padam. Kelompok liberal kerap melontarkan argumen bahwa sains dan agama tak ubahnya bagai minyak dan air, tak dapat bersatu. Sains, menurut mereka, berlandaskan fakta dan data (hisabiyyah), sedangkan agama menjangkau ranah supranatural yang metafisika (ilahiyyah).
Namun, benarkah demikian? Al-Ghazali, dalam magnum opusnya "Tahafut Al-Falasifah", mengajak kita menyelami kompleksitas isu ini dengan pisau bedah intelektualitas.
Persamaan dan Perbedaan Sains dan Agama: Mencari Titik Temu
Al-Ghazali memulai dengan menggarisbawahi realitas yang kita tempati: dunia yang logis dan dapat dipahami akal sehat (mantiqiyyah). Baik sains maupun agama, keduanya berlandaskan realitas ini.
Sebagai contoh, para penganut keyakinan meyakini nikmat dan siksa kubur sebagai kabar atau informasi yang akan terjadi di masa depan. Sama halnya sains, yang memiliki informasi yang belum terbukti dan bersifat aksiomatik, namun menjadi bahan diskusi hangat. Contohnya, hipotesis bahwa semua benda angkasa pada akhirnya akan menuju ruang hampa.
Namun, Al-Ghazali mengingatkan kita untuk berhati-hati. Agama membahas nikmat dan siksa kubur, bukan untuk disandingkan dengan rumus matematika 2+2=4. Begitu pula, tidak adil bila ada tokoh agama yang menyatakan bahwa rumus gaya dan medan listrik tidak relevan di akhirat.
Kejujuran Intelektual: Kunci Menuju Pemahaman
Al-Ghazali mencontohkan perdebatan para filsuf tentang eksistensi alam. Menurutnya, kejujuran intelektual adalah kunci. Tidak dibenarkan bila pembahasan tentang "huduts" (baru) atau "qadim" (eternal) alam dialihkan ke topik lain, seperti "murojjih" (penentu) yang tidak memiliki tujuan saat alam belum ada.
Pengajuan Postulat yang Berbeda: Akar Permasalahan
Al-Ghazali menemukan akar pertentangan antara sains dan agama di abad pertengahan terletak pada pengajuan postulat (asumsi dasar) yang berbeda. Kelompok saintis dan filsuf menggunakan postulat yang tidak sepadan, sehingga memicu kesalahpahaman.
Pentingnya Argumentasi Kuat bagi Umat Islam
Al-Ghazali memberi nasihat penting bagi umat Islam: pentingnya memiliki argumentasi kokoh dalam menjelaskan keyakinan. Argumentasi yang lemah hanya akan menjadi bahan tertawaan bagi kelompok atheis (mulhidun).
Contohnya, pandangan mengenai bentuk Bumi bulat yang telah dikemukakan para sarjana muslim 1000 tahun lalu, masih saja diperdebatkan oleh segelintir orang yang bersikukuh pada pandangan bahwa Bumi datar. Ketidaktahuan ini, menurut Al-Ghazali, hanya akan mengundang cemooh dari kelompok atheis.
Keberadaan Tuhan: Sebuah Perspektif yang Lebih Luas
Permintaan seorang atheis untuk membuktikan eksistensi Tuhan harus dibalas dengan cerdas. Akan sangat tidak adil bagi Tuhan untuk dilihat semua manusia, karena tidak semua orang mampu melihat (misal: tunanetra). Bahkan, saat Tuhan meninggalkan jejak-Nya sekalipun (alam semesta), masih banyak manusia yang tidak dapat mengenalinya.
Eksistensi Tuhan tidak dapat dipertentangkan dengan ketiadaanNya. Sebab, dengan mengatakan kata "tidak ada", sebenarnya kita sedang mengakui yang “ada”. Bukankah kata "Tidak ada" muncul karena “ada”?. Hingga Rumus-rumus fisika pun ada karena hukum-hukum alam telah ada sejak alam ini tercipta.
Stereotipe dan Prasangka: Menjebak Pikiran
Al-Ghazali mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam stereotipe (generalisasi). Tidak semua penganut liberalisme hingga atheisme pandai dalam matematika, fisika, kimia, dan ilmu eksak lainnya. Sebaliknya, tidak semua orang beragama dan soleh ahli dalam ilmu-ilmu agama.
Sains dan Agama: Dua Sisi Mata Uang yang Sama
Al-Ghazali menegaskan bahwa tidak pernah ada pertentangan antara sains dan agama. Keduanya bagaikan siang dan malam, kutub positif dan negatif. Pertentangan justru sering terjadi jika dua hal memiliki kesamaan. Contohnya, dua magnet yang berkutub sama akan saling tolak menolak.
"Ngaos Tahafut Al-Falasifah 1-20" adalah upaya saya dalam mendalami karya Al-Ghazali, agar kita dapat merenungkan kembali hubungan sains dan agama. Dengan pisau bedah intelektualitas, hal ini akan menuntun kita dalam menunjukkan bahwa kedua ranah ini bukan entitas yang bermusuhan, melainkan dua sisi mata uang yang sama.
Posting Komentar untuk "Mengurai Benang Sari Ngaos Tahafut Al-Falasifah 1-20: Pergumulan Sains dan Agama"