Hari Selasa, 19 November 2024, saya mengikuti Orientasi Calon Dewan Hakim MTQ dan Hadits Tahun 2024. Sejak tahun 2018, saya telah ditunjuk sebagai dewan hakim MTQ cabang M2IQ (Musabaqah Menulis Ilmiah Al-Quran). Cabang ini dapat dikatakan sebagai gagasan segar yang dapat diikuti oleh mahasiswa dan masyarakat umum yang memiliki kapabilitas di bidang menulis karya ilmiah.
Lebih dari itu, kehadiran cabang M2IQ menjadi hal penting dalam memantik masyarakat untuk menghadirkan gagasan dan wawasan baru tentang korelasi dan relevansi ayat dengan fenomena sosial yang terus mengalami dinamika.
Dalam kegiatan orientasi tersebut, Calon Dewan Hakim M2IQ melakukan simulasi penilaian terhadap salah satu karya ilmiah yang diikutsertakan dalam M2IQ tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 2023. Makalah dengan judul "Meredakan Fatherless Perspektif Al-Qur'an: Tinjauan Relasi Ayah-Anak Antara Ibrahim dan Ismail" karya Dewi Nur Lailatul Rizqi dibahas bersama.
Dari hasil telaah, saya telah mengumpulkan benang sari makalah yang mengeksplorasi fenomena fatherless—ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak—dalam perspektif Al-Qur'an dengan fokus pada kisah Nabi Ibrahim dan Ismail.
Penulis menyoroti dampak fatherless terhadap kesehatan mental, ekonomi keluarga, dan pendidikan anak, serta membahas peran budaya patriarki dalam memperburuk fenomena ini. Inspirasi dari relasi ayah-anak Nabi Ibrahim-Ismail menjadi solusi yang ditawarkan untuk meredakan masalah ini.
Makalah ini memiliki kekuatan antara lain: Pertama, penulis berhasil menghubungkan isu kontemporer dengan nilai-nilai Al-Qur'an, memberikan relevansi spiritual dan sosial terhadap solusi yang ditawarkan. Hal ini dapat menambah khazanah baru dalam menghadirkan masa lalu (kisah Nabi Ibrahim) sebagai salah satu solusi mengeliminasi fatherless.
Kedua, kajian dalam makalah menggabungkan perspektif agama, psikologi, dan sosiologi untuk memahami fenomena fatherless secara mendalam. Artinya, meskipun menggunakan pendekatan kepustakaan, paling tidak kajian ini telah menghadirkan keholistikan pada beberapa bidang.
Ketiga, kendati para calon dewan hakim M2IQ memandang referensi tafsir yang digunakan sangat terbatas, penulis sebetulnya telah menggunakan banyak sumber primer seperti jurnal ilmiah, data statistik, dan referensi lainnya untuk mendukung argumen.
Keempat, penulis menggali aspek komunikatif dan emosional hubungan ayah-anak, menawarkan pola asuh yang relevan untuk konteks modern. Hal ini ditunjukkan dengan komunikasi ayah-anak, peran aktif ayah dalam pengasuhan, dan penghapusan budaya patriarki.
Kendati memiliki kelebihan, ada beberapa catatan terhadap makalah ini. Pertama, secara kuantitatif, data statistik yang digunakan kurang mendalam dalam menganalisis keterkaitan fenomena fatherless dengan indikator sosial-ekonomi di Indonesia. Hal ini sangat mungkin, mengingat dalam M2IQ ini makalah ditulis langsung di tempat.
Kedua, kritik terhadap budaya patriarki kurang mendetail, terutama dalam menjelaskan bagaimana praktik ini secara spesifik memengaruhi pola asuh ayah di Indonesia. Sebab nyatanya budaya patriarki sampai saat ini masih tinggi di negara ini. Dengan demikian, kesimpulan yang diambil oleh penulis juga terkesan normatif, tidak implementatif di tengah kompleksitas budaya modern.
Secara umum, makalah karya Dewi Nur Lailatul Rizqi memberikan kontribusi berharga dalam memahami fenomena fatherless yang semakin meningkat di era modern. Dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai landasan, penulis berhasil membawa dimensi religius ke dalam diskusi tentang pola asuh ayah. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail tidak hanya menggambarkan komunikasi yang penuh kasih, tetapi juga memperlihatkan nilai-nilai universal seperti kepatuhan, empati, dan tanggung jawab.
Namun, dalam implementasinya, kisah Ibrahim-Ismail perlu diterjemahkan ke dalam konteks modern. Ayah hari ini menghadapi tantangan yang berbeda, seperti tekanan ekonomi, tuntutan kerja, dan perubahan dinamika keluarga. Oleh karena itu, menanamkan kembali nilai-nilai Al-Qur'an harus disertai dengan reformasi sosial, termasuk menghapus stigma terhadap ayah yang aktif dalam pengasuhan.
Penghapusan budaya patriarki menjadi langkah penting. Alih-alih hanya menyalahkan struktur patriarki, makalah ini seharusnya mengeksplorasi cara-cara kolaboratif untuk melibatkan ayah dalam pengasuhan. Langkah ini tidak hanya akan memperbaiki hubungan ayah-anak tetapi juga memperkuat struktur keluarga secara keseluruhan.
Simpulannya, makalah ini memberi kita pandangan mendalam bahwa relasi ayah-anak yang harmonis adalah fondasi masyarakat yang sehat. Melalui inspirasi kisah Nabi Ibrahim-Ismail, makalah ini mendorong redefinisi peran ayah di era modern yang lebih komunikatif, responsif, dan penuh kasih sayang. Namun, untuk mencapai visi ini, diperlukan kolaborasi lintas sektor—dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintah.
Lebih dari itu, kehadiran cabang M2IQ menjadi hal penting dalam memantik masyarakat untuk menghadirkan gagasan dan wawasan baru tentang korelasi dan relevansi ayat dengan fenomena sosial yang terus mengalami dinamika.
Dalam kegiatan orientasi tersebut, Calon Dewan Hakim M2IQ melakukan simulasi penilaian terhadap salah satu karya ilmiah yang diikutsertakan dalam M2IQ tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 2023. Makalah dengan judul "Meredakan Fatherless Perspektif Al-Qur'an: Tinjauan Relasi Ayah-Anak Antara Ibrahim dan Ismail" karya Dewi Nur Lailatul Rizqi dibahas bersama.
Dari hasil telaah, saya telah mengumpulkan benang sari makalah yang mengeksplorasi fenomena fatherless—ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak—dalam perspektif Al-Qur'an dengan fokus pada kisah Nabi Ibrahim dan Ismail.
Penulis menyoroti dampak fatherless terhadap kesehatan mental, ekonomi keluarga, dan pendidikan anak, serta membahas peran budaya patriarki dalam memperburuk fenomena ini. Inspirasi dari relasi ayah-anak Nabi Ibrahim-Ismail menjadi solusi yang ditawarkan untuk meredakan masalah ini.
Makalah ini memiliki kekuatan antara lain: Pertama, penulis berhasil menghubungkan isu kontemporer dengan nilai-nilai Al-Qur'an, memberikan relevansi spiritual dan sosial terhadap solusi yang ditawarkan. Hal ini dapat menambah khazanah baru dalam menghadirkan masa lalu (kisah Nabi Ibrahim) sebagai salah satu solusi mengeliminasi fatherless.
Kedua, kajian dalam makalah menggabungkan perspektif agama, psikologi, dan sosiologi untuk memahami fenomena fatherless secara mendalam. Artinya, meskipun menggunakan pendekatan kepustakaan, paling tidak kajian ini telah menghadirkan keholistikan pada beberapa bidang.
Ketiga, kendati para calon dewan hakim M2IQ memandang referensi tafsir yang digunakan sangat terbatas, penulis sebetulnya telah menggunakan banyak sumber primer seperti jurnal ilmiah, data statistik, dan referensi lainnya untuk mendukung argumen.
Keempat, penulis menggali aspek komunikatif dan emosional hubungan ayah-anak, menawarkan pola asuh yang relevan untuk konteks modern. Hal ini ditunjukkan dengan komunikasi ayah-anak, peran aktif ayah dalam pengasuhan, dan penghapusan budaya patriarki.
Kendati memiliki kelebihan, ada beberapa catatan terhadap makalah ini. Pertama, secara kuantitatif, data statistik yang digunakan kurang mendalam dalam menganalisis keterkaitan fenomena fatherless dengan indikator sosial-ekonomi di Indonesia. Hal ini sangat mungkin, mengingat dalam M2IQ ini makalah ditulis langsung di tempat.
Kedua, kritik terhadap budaya patriarki kurang mendetail, terutama dalam menjelaskan bagaimana praktik ini secara spesifik memengaruhi pola asuh ayah di Indonesia. Sebab nyatanya budaya patriarki sampai saat ini masih tinggi di negara ini. Dengan demikian, kesimpulan yang diambil oleh penulis juga terkesan normatif, tidak implementatif di tengah kompleksitas budaya modern.
Secara umum, makalah karya Dewi Nur Lailatul Rizqi memberikan kontribusi berharga dalam memahami fenomena fatherless yang semakin meningkat di era modern. Dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai landasan, penulis berhasil membawa dimensi religius ke dalam diskusi tentang pola asuh ayah. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail tidak hanya menggambarkan komunikasi yang penuh kasih, tetapi juga memperlihatkan nilai-nilai universal seperti kepatuhan, empati, dan tanggung jawab.
Namun, dalam implementasinya, kisah Ibrahim-Ismail perlu diterjemahkan ke dalam konteks modern. Ayah hari ini menghadapi tantangan yang berbeda, seperti tekanan ekonomi, tuntutan kerja, dan perubahan dinamika keluarga. Oleh karena itu, menanamkan kembali nilai-nilai Al-Qur'an harus disertai dengan reformasi sosial, termasuk menghapus stigma terhadap ayah yang aktif dalam pengasuhan.
Penghapusan budaya patriarki menjadi langkah penting. Alih-alih hanya menyalahkan struktur patriarki, makalah ini seharusnya mengeksplorasi cara-cara kolaboratif untuk melibatkan ayah dalam pengasuhan. Langkah ini tidak hanya akan memperbaiki hubungan ayah-anak tetapi juga memperkuat struktur keluarga secara keseluruhan.
Simpulannya, makalah ini memberi kita pandangan mendalam bahwa relasi ayah-anak yang harmonis adalah fondasi masyarakat yang sehat. Melalui inspirasi kisah Nabi Ibrahim-Ismail, makalah ini mendorong redefinisi peran ayah di era modern yang lebih komunikatif, responsif, dan penuh kasih sayang. Namun, untuk mencapai visi ini, diperlukan kolaborasi lintas sektor—dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintah.
Posting Komentar untuk "Membangun Ketahanan Keluarga: Inspirasi dari Relasi Nabi Ibrahim dan Ismail untuk Mengatasi Fatherless"