Anak-anak kampung akan menunjukkan wajah sumringah saat orang tua mereka mengajak jalan-jalan ke pusat Kota Sukabumi. Bagaimana tidak? Mereka akan menaiki kendaraan, menyaksikan kemajuan sepanjang perjalanan, dan merasakan pesona kota dengan segala daya tariknya.
Saya pun pernah merasakan hal yang sama. Namun, pengalaman ini mungkin berbeda bagi anak-anak yang tinggal di pusat kota, seperti di Cikole atau Citamiang. Meski begitu, dari hasil percakapan saya dengan beberapa teman, ada kemiripan. Anak-anak dari Baros, Lembursitu, Bojong, hingga Kebonjati sekalipun, tetap menyebut perjalanan ke pusat kota dengan istilah sederhana: main ke kota.
Salah satu pengalaman unik generasi X dan Y adalah saat mereka berada di dalam angkutan umum perkotaan. Kekaguman mereka bukan pada kendaraan itu sendiri, melainkan pada ilusi yang ditimbulkan—tiang listrik dan telepon, serta pepohonan seolah-olah berlari menjauh. Fenomena yang dikenal dalam fisika sebagai gerak semu ini memberikan sensasi yang begitu berharga bagi anak-anak di era 1980-an dan 1990-an.
Pengalaman serupa juga saya rasakan ketika bulan purnama tiba di kampung. Anak-anak generasi itu memiliki hubungan yang erat dengan langit malam. Saat cuaca cerah, langit menjadi hiburan yang luar biasa. Bintang-bintang bertaburan, tak terhalang oleh skyglow yang kini kerap muncul akibat cahaya lampu perkotaan. Saya ingat bagaimana bulan purnama tampak mengikuti langkah saya saat digendong ayah menuju masjid untuk salat isya.
Langit malam kala itu benar-benar menjadi ampitheater alami. Anak-anak bisa dengan mudah mengenali rasi bintang, seperti rasi bintang kalajengking yang terlihat jelas menjelang subuh di langit tenggara sebelah atas, atau rasi layang-layang di langit selatan. Fenomena ini adalah pelajaran langsung yang dijelaskan oleh buku IPA di sekolah dasar.
Sayangnya, anak-anak generasi sekarang jarang mengalami momen serupa. Langit malam sering tertutup cahaya lampu yang berasal dari bumi, mengaburkan gemintang. Taburan bintang di malam cerah kini menjadi pemandangan langka.
Ketika diajak ke kota, anak-anak generasi X dan Y juga terkagum-kagum melihat bangunan dua hingga tiga lantai yang jarang ditemui di kampung. Bahkan lampu neon toko pun mampu memantik rasa takjub.
Bagi generasi itu, ruang dan waktu terasa begitu luas dan lambat. Waktu berjalan relatif pelan, dan jarak antar tempat terasa jauh. Pengalaman-pengalaman ini adalah kenangan berharga yang menggambarkan bagaimana kehidupan sederhana di masa itu mampu memberikan kebahagiaan dan keajaiban tersendiri.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 12)"