Tulisan ini bukan untuk membandingkan kejayaan satu generasi dengan generasi lainnya. Setiap generasi memiliki masa kejayaannya sesuai dengan konteks zamannya masing-masing.
Generasi milenial, misalnya, telah berjaya di bidang teknologi dan informasi. Mereka hidup di masa ketika kecanggihan teknologi memungkinkan banyak hal dilakukan dengan mudah. Bahkan menulis artikel kini bisa dilakukan hanya dengan memberikan perintah kepada AI, selesai sudah satu tulisan utuh.
Sebagai seseorang yang lahir di masa transisi antara generasi X dan Y, saya merasa perlu mengisahkan masa-masa kejayaan di zaman itu. Masa ketika lahan pertanian dan sawah-sawah menjadi arena bermain anak-anak, bukan sekadar sumber pangan. Masa di mana setiap jengkal tanah dipenuhi rerumputan dan tanaman, bukan deretan tembok beton seperti sekarang.
Dalam sejarah Nusantara, kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16 menandai babak baru. Ini bertepatan dengan keruntuhan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.
Hidup ini memang memiliki pola, alur, dan dinamika yang sudah ditentukan. Kejayaan Nusantara perlahan meredup, terkikis oleh imperialisme dan kolonialisme. Orang-orang Eropa mendirikan koloni-koloni baru, yang kemudian membentuk generasi kolonial di Nusantara.
Generasi kolonial, yang terbentang dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20, adalah generasi kakek, nenek, dan buyut generasi baby boomers. Mereka hidup di tengah-tengah era kolonialisme, menghadapi realitas sebagai penyokong atau penentang kekuasaan asing.
Tidak semua leluhur kita pada masa itu menjadi pahlawan, jika dilihat dari sudut pandang kebangsaan. Namun, menilai mereka sebagai musuh bangsa juga tidaklah adil. Kita harus memahami sejarah sesuai konteks zamannya, bukan dengan perspektif masa kini ketika kita telah merdeka.
Pada akhir generasi kolonial, sekitar tahun 1960-an, negara ini baru berusia dua dekade. Bangsa ini masih mencari pijakan sambil melalui berbagai konflik, termasuk pertumpahan darah antar anak bangsa. Dalam sudut pandang apa pun, peristiwa tersebut adalah tragedi kemanusiaan.
Namun, seperti pola sejarah yang selalu ada, hal itu membawa kita pada situasi saat ini. Jika kudeta tahun 1965 tidak terjadi, mungkin Partai Komunis Indonesia (PKI) masih eksis hingga kini, atau bahkan berfusi dengan partai-partai lain. Kudeta tersebut mengakhiri perjalanan PKI, menjadikannya partai terlarang, bersama organisasi sayap dan pendukungnya.
Generasi X dan Y tumbuh dan matang di era Orde Baru, setelah bangsa ini melewati fase revolusi. Mereka menikmati masa keemasan kemerdekaan. Pada tahun 70-an hingga 90-an, sering terdengar ungkapan bahwa kemerdekaan adalah "jembatan emas" menuju kejayaan bangsa.
Meskipun hidup sederhana, generasi ini benar-benar menikmati kehidupan yang tenteram. Kejahatan diminimalkan, konflik politik dan egosentris ditekan, dan segala bentuk pemberontakan dianggap subversif.
Anak-anak generasi X dan Y hidup dalam norma dan tradisi yang mulai longgar, namun tetap terikat. Mereka bermain permainan tradisional di siang hari dan menikmati produk teknologi sederhana di malam hari. Generasi ini jarang mendengar percekcokan vulgar dari para pemimpin atau tokoh masyarakat.
Kehidupan sehari-hari mereka dipenuhi keceriaan di sawah, kebun, atau rawa-rawa. Bahasa kasar dianggap tabu dan jarang diucapkan, kecuali di tempat seperti terminal. Etika timur yang santun masih dijunjung tinggi.
Di masyarakat Muslim, anak-anak generasi X dan Y rutin mengaji dan bersekolah diniyah. Rata-rata mereka sudah bisa membaca Al-Qur’an dan hadis sejak usia kelas 3 SD. Anak yang belum fasih membaca Al-Qur’an dianggap sebagai hal yang aneh.
Mengaji dua kali sehari, setelah Magrib dan Subuh, menjadi rutinitas. Harmoni antara kehidupan sosial dan alam menciptakan generasi yang unggul, tidak hanya di bidang akademis tetapi juga dalam moral dan spiritual.
Keselarasan kehidupan sosial, tradisi, dan lingkungan pada masa itu menjadi landasan bagi generasi ini untuk tumbuh sebagai generasi emas. Mereka adalah generasi yang menikmati masa keemasan Nusantara dalam bentuknya yang paling sederhana tetapi bermakna.
Mereka adalah generasi yang hidup dengan penuh syukur, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan mewariskan keteladanan bagi generasi selanjutnya.
Generasi milenial, misalnya, telah berjaya di bidang teknologi dan informasi. Mereka hidup di masa ketika kecanggihan teknologi memungkinkan banyak hal dilakukan dengan mudah. Bahkan menulis artikel kini bisa dilakukan hanya dengan memberikan perintah kepada AI, selesai sudah satu tulisan utuh.
Sebagai seseorang yang lahir di masa transisi antara generasi X dan Y, saya merasa perlu mengisahkan masa-masa kejayaan di zaman itu. Masa ketika lahan pertanian dan sawah-sawah menjadi arena bermain anak-anak, bukan sekadar sumber pangan. Masa di mana setiap jengkal tanah dipenuhi rerumputan dan tanaman, bukan deretan tembok beton seperti sekarang.
Dalam sejarah Nusantara, kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16 menandai babak baru. Ini bertepatan dengan keruntuhan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.
Hidup ini memang memiliki pola, alur, dan dinamika yang sudah ditentukan. Kejayaan Nusantara perlahan meredup, terkikis oleh imperialisme dan kolonialisme. Orang-orang Eropa mendirikan koloni-koloni baru, yang kemudian membentuk generasi kolonial di Nusantara.
Generasi kolonial, yang terbentang dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20, adalah generasi kakek, nenek, dan buyut generasi baby boomers. Mereka hidup di tengah-tengah era kolonialisme, menghadapi realitas sebagai penyokong atau penentang kekuasaan asing.
Tidak semua leluhur kita pada masa itu menjadi pahlawan, jika dilihat dari sudut pandang kebangsaan. Namun, menilai mereka sebagai musuh bangsa juga tidaklah adil. Kita harus memahami sejarah sesuai konteks zamannya, bukan dengan perspektif masa kini ketika kita telah merdeka.
Pada akhir generasi kolonial, sekitar tahun 1960-an, negara ini baru berusia dua dekade. Bangsa ini masih mencari pijakan sambil melalui berbagai konflik, termasuk pertumpahan darah antar anak bangsa. Dalam sudut pandang apa pun, peristiwa tersebut adalah tragedi kemanusiaan.
Namun, seperti pola sejarah yang selalu ada, hal itu membawa kita pada situasi saat ini. Jika kudeta tahun 1965 tidak terjadi, mungkin Partai Komunis Indonesia (PKI) masih eksis hingga kini, atau bahkan berfusi dengan partai-partai lain. Kudeta tersebut mengakhiri perjalanan PKI, menjadikannya partai terlarang, bersama organisasi sayap dan pendukungnya.
Generasi X dan Y tumbuh dan matang di era Orde Baru, setelah bangsa ini melewati fase revolusi. Mereka menikmati masa keemasan kemerdekaan. Pada tahun 70-an hingga 90-an, sering terdengar ungkapan bahwa kemerdekaan adalah "jembatan emas" menuju kejayaan bangsa.
Meskipun hidup sederhana, generasi ini benar-benar menikmati kehidupan yang tenteram. Kejahatan diminimalkan, konflik politik dan egosentris ditekan, dan segala bentuk pemberontakan dianggap subversif.
Anak-anak generasi X dan Y hidup dalam norma dan tradisi yang mulai longgar, namun tetap terikat. Mereka bermain permainan tradisional di siang hari dan menikmati produk teknologi sederhana di malam hari. Generasi ini jarang mendengar percekcokan vulgar dari para pemimpin atau tokoh masyarakat.
Kehidupan sehari-hari mereka dipenuhi keceriaan di sawah, kebun, atau rawa-rawa. Bahasa kasar dianggap tabu dan jarang diucapkan, kecuali di tempat seperti terminal. Etika timur yang santun masih dijunjung tinggi.
Di masyarakat Muslim, anak-anak generasi X dan Y rutin mengaji dan bersekolah diniyah. Rata-rata mereka sudah bisa membaca Al-Qur’an dan hadis sejak usia kelas 3 SD. Anak yang belum fasih membaca Al-Qur’an dianggap sebagai hal yang aneh.
Mengaji dua kali sehari, setelah Magrib dan Subuh, menjadi rutinitas. Harmoni antara kehidupan sosial dan alam menciptakan generasi yang unggul, tidak hanya di bidang akademis tetapi juga dalam moral dan spiritual.
Keselarasan kehidupan sosial, tradisi, dan lingkungan pada masa itu menjadi landasan bagi generasi ini untuk tumbuh sebagai generasi emas. Mereka adalah generasi yang menikmati masa keemasan Nusantara dalam bentuknya yang paling sederhana tetapi bermakna.
Mereka adalah generasi yang hidup dengan penuh syukur, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan mewariskan keteladanan bagi generasi selanjutnya.
Posting Komentar untuk "Generasi Emas: Generasi 80 dan 90-an"