Jika kita memperbincangkan keberuntungan, maka dapat saya katakan, anak-anak yang lahir di penghujung tahun 70-an dan awal 80-an adalah generasi paling beruntung.
Mereka menikmati masa-masa menjelang perubahan besar di berbagai bidang kehidupan tanpa harus kehilangan tradisi. Mereka tetap akrab dengan berbagai jenis permainan tradisional. Hal ini juga dialami oleh anak-anak Sukabumi.
Secara global, dunia pada dua dekade terakhir milenium pertama ditandai oleh runtuhnya komunisme di negara-negara Eropa Timur setelah dunia dicekam oleh Perang Dingin. Hanya saja, hal semacam ini tidak terlalu berpengaruh secara signifikan pada negara-negara nonblok seperti Indonesia.
Namun demikian, ada kekhawatiran dari generasi baby boomers terhadap maraknya isu modernitas dan westernisasi, hingga pembahasannya masuk ke dalam materi pelajaran sosial tentang modernisasi dan westernisasi.
Tanpa terlalu mempedulikan hal-hal tersebut, rata-rata anak-anak dan remaja di Indonesia mulai menggemari lagu-lagu bergenre Barat.
Selain dapat didengarkan secara gratis melalui saluran FM—gelombang stasiun FM dari Jakarta dan Bandung dapat diterima dengan baik di Sukabumi—musik-musik Barat berbahasa Inggris juga dapat ditonton melalui televisi. Sebut saja, salah satu stasiun televisi swasta memiliki acara selingan musik, dan pada tahun 90-an muncul MTV.
Jenis musik pop dan alternatif menjadi dua genre yang paling digemari. Harus saya akui, rata-rata musik pada saat itu memang berkualitas baik dari segi lirik maupun aransemennya. Lagu-lagu yang diciptakan oleh penyanyi dan band-band saat itu memadukan kualitas imajinasi dan akal pikiran murni.
Mereka menciptakan lagu tidak sekadar mengandalkan perasaan, tetapi juga menyajikannya berdasarkan pengalaman langsung dan hasil observasi sosial. Maka jangan heran jika lagu-lagu seperti Zombie karya Cranberries dan What's Up karya 4 Non Blondes tetap relevan dengan telinga orang-orang dari berbagai kalangan.
Namun, bagi sebagian pihak, industri musik Barat dipandang sebagai bentuk baru imperialisme budaya yang harus dihindari. Mereka khawatir orang-orang Timur hanya akan mengekor Barat.
Lebih jauh, ada kelompok ekstrem yang sampai mengharamkan semua jenis musik tanpa kecuali. Kekhawatiran yang awalnya wajar berubah menjadi ideologi baru yang membenturkan peradaban. Tesis Huntington tentang Clash of Civilizations pada akhirnya tak terbantahkan.
Awal tahun 90-an, Sukabumi masih merangkak menuju modernisasi dan paradigma baru. Di kalangan cerdik pandai, kosa kata "paradigma" menjadi tren. Di setiap pertemuan dan seminar sering terdengar ucapan, "Kita akan menyongsong era baru dengan paradigma baru."
Istilah semacam itu tentu saja menjadi ancaman bagi Orde Baru sebagai pemegang status quo dan dapat dikategorikan sebagai pikiran nakal yang subversif. Namun, penangkapan aktivis tidak terjadi di Sukabumi, mengingat wilayah ini masih dominan rural-urban—mayoritas perdesaan dengan sedikit perkotaan.
Situasi semacam itu hanya berlangsung di kelompok atas atau piramida paling atas, termasuk di Sukabumi. Sementara pada piramida tengah dan bawah, masyarakat tetap hidup wajar dan baik-baik saja. Orde Baru tidak melarang pemutaran lagu-lagu Barat. Mereka justru lebih takut mendengar lagu Genjer Genjer yang tidak ada kaitannya dengan ideologi tertentu.
Hidup saat itu dapat dikatakan wajar dan lumrah. Anak-anak dan remaja tidak terlalu memusatkan perhatian pada masalah-masalah politik yang sulit mereka cerna, lebih baik menikmati sandiwara radio Misteri Gunung Merapi.
Kekhawatiran terhadap westernisasi yang disamakan dengan modernisasi sebenarnya muncul dari kelompok yang merasa terancam. Ironisnya, mereka mendapatkan rasa khawatir itu dari para akademisi kontra-Barat yang justru menggunakan teori-teori sarjana Barat.
Mereka mengadopsi teori Future Shock Alvin Toffler, teori tahun 70-an tentang guncangan sosial akibat perubahan yang terlalu cepat di masa depan. Beberapa dari mereka bahkan menafsirkan "kelebihan informasi" (information overload) sebagai banjir era Nuh dalam konteks yang berbeda.
Banjir informasi mulai terasa pada pertengahan tahun 90-an, bersamaan dengan munculnya stasiun televisi dan radio FM yang menawarkan berbagai genre hiburan. Kelebihan informasi benar-benar dirasakan masyarakat menjelang akhir tahun 90-an dan awal milenium kedua.
Masyarakat yang sebelumnya jarang melihat berita kriminal tiba-tiba dapat menyaksikan informasi kriminalitas dari pembunuhan hingga kekerasan lainnya. Tema perbincangan di kelompok akar rumput pun berubah; mereka mulai kerasan membahas politik.
Awalnya, kultur baru ini hanya dianggap budaya sementara atau pop culture. Tak disangka, budaya tersebut bertahan hingga sekarang. Meskipun pesta demokrasi hanya berlangsung lima tahun sekali, perbincangan politik, terutama dalam sepuluh tahun terakhir, menjadi tajuk utama di warung kopi.
Bahkan anak-anak dan ibu-ibu turut serta membahas politik. Apa yang dikatakan Toffler tentang Future Shock—yang ditandai kebingungan, depresi, dan disorientasi—terbukti.
Anak-anak yang hidup di era 80-an dan 90-an, kini menjadi generasi X dan Y. Mereka merasa bingung melihat anak dan cucu mereka yang begitu berbeda. Generasi X dan Y, yang kokoh secara mental, justru melahirkan generasi yang rapuh dan mudah menyerah.
Generasi yang kehilangan keterampilan dasar seperti memberbaiki alat-alat rumah tangga dengan alasan lebih fokus pada teknologi. Generasi yang melapor saat disetrap guru, atau melampiaskan emosi dengan cara kasar. Ini mungkin yang dikatakan Toffler sebagai konflik antargenerasi.
Yang jelas, serapuh apa pun generasi milenial, mereka adalah produk generasi X dan Y. Generasi ini berada pada kuadran III yang mulai meninggalkan cara lama dan tradisi. Tentu saja berbeda jauh dengan generasi baby boomers, X, dan Y kuadran I dan II. Pola dan perjalanan kehidupan memang mengarah ke sana.
Generasi millenial tetap harus kita berikan ruangan dan apresiasi. Mereka cenderung lebih terbuka dari pada generasi baby boomers yang cenderung menganut status quo. Millenial juga lebih kreatif dan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap teknologi.
Penting digarisbawahi, ironisnya, generasi X dan Y banyak yang pura-pura beradaptasi agar diakui lebih terbuka terhadap perubahan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kelompok yang mengharamkan musik tetapi tetap mendengarkan nada dering ponsel mereka. Toffler menyebut generasi ini sebagai orang-orang yang teralienasi.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bag 20)"