HUJAN

Sumber Foto: Wikipedia
Kemarin, hujan turun dengan sikap malu-malu. Bukan berarti Saya tidak mensyukuri terhadap pemberian Yang Maha Kuasa ini, sebab ketika hujan tidak turun-turun pun menjadi masalah juga bagi para penduduk bumi. Dan tentang tersendat-sendatnya hujan kemarin, patut menjadi sebuah percik permenungan bagi diri Saya.

Ini  menjadi sebuah penguat, katalis terhadap keyakinan Saya tentang keMaha Adilan Tuhan. Alam ini telah dirancang sedemikian rupa, kemarau agak panjang di tahun ini dan Tuhan Maha Tahu harus memperlakukan apa kepada alam ketika kemarau panjang lalu harus diturunkan hujan. Seperti tubuh kita yang mengerti terhadap keadaan di sekitar. Setelah tubuh diolahragakan, keringat bercucuran, adalah hal bodoh ketika kita langsung mendinginkan tubuh dengan cara berendam di bak atau kolam atau apa pun sejenisnya yang terisi air.

Tuhan Maha Tahu, harus memperlakukan bagaimana terhadap bumi. Maka, lahan kering, setelah sekian bulan tidak disiram hujan, adalah hal bodoh jika tiba-tiba hujan diturunkan dengan sangat deras. Disini ada satu pembelajaran, apa pun harus disikapi dengan sikap sabar. Apa yang selalu kita harapkan kadang tidak perlu ditunggu-tunggu, sebab dia akan datang tiba-tiba, sementara apa yang kita kejar-kejar toh pada akhirnya banyak hal yang tidak bisa kita raih.

Disinilah pentingnya sebuah pencernaan mendalam terhadap segala pemberianNya. Ketika kemarau menerjang, semua orang barangkali penuh harap akan turunnya hujan. Ketika musin penghujan tiba, semua orang merindukan terik matahari, dan semua itu menyentuh ranah keinginan atau hasrat, dengan bahasa yang terlalu vulgar, barangkali obsesi. Keinginan-keinginan itulah yang menjadi beban dalam hidup, keinginan-keinginan liar itulah yang menjadi boomerang efek bagi kita. Dan dari segala keinginan itu, ternyata Tuhan telah merancangnya agar apa pun yang diberikan kepada kita tidak salah sasaran, bahkan lebih banyak datang dengan tiba-tiba, seperti diturunkan dari sebuah tempat ghaib.

Alexis Carrel  menyebut, kekuatan seperti inilah yang kurang pernah mendapatkan penghargaan dari para saintis, penganut aliran positivism ketika segala sesuatu harus selalu dihadapkan dengan angka dan analisa imliah. “Min Haitsu Laa Yahtasib” Dari jalan yang sama sekali tidak kita duga, tidak menyentuh terhadap alam pemikiran kaum materialis ketika mereka sendiri menyodorkan bahwa teori-teori ilmiah itu berasa dari keraguan, dugaan terhadap realita. Keraguan dan dugaan tidak berada di ranah akal, dia berada di ranah hati. Sama halnya dengan para penentang eksistensi Tuhan mereka mengingkari Tuhan ketika mereka mengawalinya dengan sebuah Tanya: Aku berpikir, maka Aku Ada. Yang patut dipertanyakan, apakah hanya dengan cara berpikir terus-menerus kemudian manusia akan diakui eksistensi atau keberadaannya?

Ada hal lain, dan ini melampaui batas pikiran. Melampau batas logika, supra-rasional, diatas hal-hal alamiah. Jika ada orang telah meyakini ada hal Maha Besar yang mengendalikan kehidupan hingga banyak sekali hal tidak terduga lalu datang menghampiri kita maka si penganut keyakinan seperti itu sudah melampaui para saintis rasionalis. Sementara ketika banyak kaum rasionalis yang mengedepankan pandangan, segala hal harus diterjemahkan dan bisa dibahasakan secara imliah, pada dasarnya mereka baru menyentuh batas permukaan air saja. Ketika akal sudah sampai pada batas maksimum, maka yang akan terjadi adalah mengakal-akali agar kekuatan di luar diri kita  bisa diakali. Dan konsklusinya, ilmu dan pengetahuan dilacurkan atas nama penemuan. Masa lalu, masa jutaan tahun lalu diterjemahkan dengan versi mengawang.

Hujan turun pun diterjemahkan pada batasan logika. Tanpa mendeteksi, kenapa hujan turun pukul 16.00, atau kenapa ketika mendung begitu pekat, namun hujan tidak turun? Hal terkecil dalam hidup pun, misalnya, kenapa tiba-tiba ibu kita menghidangkan segelas Kopi? Disini lah pentingnya kita menghargai, ada dorongan dari kekuatan Yang Maha Hebat menggerakkan Ibu kita memberikan segelas kopi panas kepada kita. Lantas tentang takaran-takaran manis dan pahit dalam segelas kopi itu, dengan rumus-rumus molekul memang bisa dihitung seberapa banyak partikel yang ada di dalamnya, hanya saja rumus-rumus tersebut sama sekali tidak akan mampu menerjemahkan kenapa tangan ibu kita memberikan takaran kopi dan gula sesuai dengan selera kita. Di sana ada ikatan, partikel bathin antara seorang ibu dengan anaknya.

Idealisme Plato dengan mengesampingkan mitos Goa merupakan penerjemahan dari: Tuhan telah menyediakan segala bahan baku di dunia ini untuk manusia, manusia diberi keleluasaan untuk mempersepsi  bahan-bahan baku tersebut. Gerakan-gerakan hal gaib itu senantiasa mengiringi kehidupan manusia tanpa manusia bisa menerjemahkan dan mempersepsikan apa yang dirasakannya, saat manusia selalu merasa tidak cukup dengan bahan-bahan baku yang tampak dan terlihat di permukaan saja. Bahkan, ketika hujun turun pun, masih ada sikap ceroboh kita dengan cara mencibir dan memaki: Kenapa hujan turun, padahal cucian banyak! [ ]

Posting Komentar untuk "HUJAN"