Sumber photo: Library of Congress |
Depresi besar pada Oktober 1929 telah membawa dunia pada peta politik baru. Petaka Malaise, saat ambruknya ekonomi dunia dalam bingkai Selasa Hitam, jatuhnya bursa saham New York membawa Negara-negara blok sentral kekuasaan dunia pada arus pertikaian. Blok sentral mencoba membangun kekuatan dalam Negara sendiri. Partai Nazi di Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler dengan dukungan penuh dari warga Negara Jerman secara mayoritas bertekad mendirikan Negara fasis. Dukungan besar itu telah menempatkan Hitler sebagai Kanselir Jerman.
Depresi besar ini mengakibatkan bencana kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan. Dampak kelanjutan darinya adalah munculnya Perang Dunia I dan II. Dunia telah menjadi mahluk paling menakutkan bagi pengisinya sendiri. Kelaparan sebagai akibat langsung dari perang dunia I dan II telah membawa masyarakat dunia pada satu fenomena, kanibalisme lugas terpampang begitu meyakinkan, pandangan Hobbes tentang Homo Homini Lupus Belum Omnium Contra Omnes mengejawantah dalam kehidupan.
17 Februari 1941 saat Jerman melancarkan serangkaian serangan terhadap Negara-negara persemakmuran di Wilayahnya, telah menyeret dunia, para pemegang hegemoni untuk melakukan pencegahan dalam bentuk konflik besar terhadap kerakusan Hitler bersama pasukan Nazinya. Blok persemakmuran menyatakan perang terhadap Nazi demi alasan penyelamatan dunia dari tangan-tangan kelompok fasisme, 100 juta tentara militer terlibat langsung secara frontal dalam pertempuran.
Dunia kehilangan etika yang tertanam dalam diri manusia. Rekayasa dibentuk ketika keadaan memang telah ramai dalam hiruk-pikuk akibat perang. Sementara ketika rekayasa-rekayasan dalam bentuk konspirasi, kematian akibat kelaparan dirasakan langsung oleh penduduk dunia tanpa mengetahui apa penyebab kematian mereka, kenapa harus mereka yang mengalami penderitaan itu? Bahkan, perang dunia itu sendiri meskipun diakhiri dengan Kemerdekaan di Negara-negara jajahan Blok-Blok sentral, juga diakhir oleh harus digunakannya senjata balistik yang meluluh lantahkan Hiroshima dan Nagasaki. Kembali, ribuan nyawa melayang mempertanyakan , kenapa harus kami yang mengalami penderitaan ini?
Drama yang tersusun dari ledakan perang dunia I dan II adalah adanya berita tentang Holocaust, pembunuhan massal secara besar-besaran oleh Nazi terhadap etnis Yahudi. Berita ini memang masih tersamarkan, sebab teori-teori memberi pandangan berbeda terhadap holocaust ini. Tentang adanya kamp-kamp konsentrasi dan ladang pembantaian Yahudi oleh Nazi dalam bingkai progom masih dianggap sebagai misteri bahkan cenderung lebih bersifat kamuflage, kedok kepalsuan terhadap rangkaian dan rentetan peristiwa yang membuka celah keuntungan kepada kaum minoritas Yahudi, agar pada akhirnya diaspora keberadaan mereka terkonsentrasi dalam sebuah tatanan baru, mengisi Tanah Yang telah dijanjikan.
3000 tahun lalu, saat kebudayaan di wilayah-wilayah Mesopotamia mencapai masa keemasan. Ketenangan tersebut terusik oleh fakta sejarah bahwa dua suku bangsa Sumeria, Akkadea, Semit, dan Hittit membentangkan sayap permusuhan. Peperangan terjadi dalam waktu cukup lama, diwariskan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Penyebab utamanya, perebutan sumber-sumber daya alam yang terkonsentrasi di sepanjang pinggiran Sungai Eufrat dan Tigris, bukan karena mereka tahu, bahwa di wilayah tersebut tercadangkan mutiara hitam dalam bentuk minyak bumi. Hingga, 2300 Tahun lalu Nebukadnezar II membumi hanguskan pemukiman bangsa semit. Ratusan manusia terpanggang, saat taman-taman bergantung diciptakan oleh Nebukadnezar II sebagai persembahan untuk istri tercintanya.
Memang, hirup pikuk kehidupan sebagai akibat volume perang dan perebutan kekuasaan terlalu keras, keuntungan selalu diambil oleh para pemeran utama perang, para pembuat scenario perang, ketika orang lain harus menjadi pesakitan dan objek penderita utama darinya. Hampir tidak ada ketenangan, dunia terganggu oleh teriakan-teriakan tentara dan letupan besar senjata, rengek tangis anak-anak kecil sama sekali tidak mengetuk para pecinta perang itu untuk menghentikan kebuasan dirinya. Padahal, mereka pun tidak mengerti, untuk apa perang ini dilakukan, hanya karena alasan keyakinan terhadap harga diri sebuah bangsa?
Masa tenang dalam kehidupan ini, seolah terlukis ketika matahari telah berada di titik nadir langit, ketika dunia tertidur dengan pulas dalam balut kabut, cahaya redup sebuah lampu, udara dingin dan suara binatang malam. Namun, ketenangan dan keheningan itu berakhir saat kokok ayam nyaring terdengar, sembuarat fajar di ufuk Timur, suara lesung beradu adu. Genderang perang pun ditabuh, manusia bersinggungan dengan manusia lain, suara klakson mobil dalam antrean kemacetan, hingar bingar arak-arakan kampanye, teriakan-teriakan politisi di gedung DPR dan MPR mengatasnamakan rakyat, ocehan kesejahteraan untuk rakyat ketika calon kepala daerah terpilih sebagai pemimpin. Hanya saja, di belahan dunia lain, saat matahari tepat di titik azimuth langit, keheningan justru sedang menjalari tubuh-tubuh mungil di dalam gedung-gedung pencakar langit.
Memang, masa tenang, suasana hening tidak bisa dibujuk-rayu, Tuhan telah menyediakan cicit burung, tetes embun, ketika manusia membuat ledakan meriam, gaduhnya klakson kendaraan, lebih heran, manusia mengatasnamakan Tuhan atas kegaduhannya itu. Ketika suasana hening, manusia sama sekali tidak menyadari bahwa di sanalah Tuhan sedang menunggu segala permohonan manusia. Pilihan di waktu itu adalah tidur yang lelap. [ ]
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "MASA TENANG"