Hal penting dalam iklim Clash Of Civilization Sammuel Huntington adalah hilangnya batas-batas kebudayaan antara Negara-negara di belahan Timur dengan Barat. Dominasi sudah tentu akan dimiliki oleh siapa saja yang memiliki peran sebagai domain pemilik pengendali kebudayaan. Issue Global Village akan memengaruhi wacana, bahwa budaya di zaman sekarang sudah tidak dipengaruhi lagi oleh nilai-nilai keyakinan eksklusif. Dia harus menyebar dan dipegang teguh oleh siapa pun. Akibat darinya adalah harus ada penyesuaian diri terhadap fenomena-fenomena sosial kontemporer.
Pengaruh besar dari kondisi ketika budaya telah dimasukkan ke dalam sebuah bangunan bernama “Rumah Satu Atap” bukan hanya telah mengubah pola pikir dan sikap paguyuban (Gammeinschaft) ke patembayan (Gesselschaft), juga berpengaruh besar terhadap hampir setiap jengkal kehidupan di jaman ini. Salah satu contoh paling popular adalah: transaksi-transaksi kehidupan harus diserba mesinkan, dinamisasi lahan-lahan dari pertanian ke industri pun sulit dihindari.
Membicarakan masa lalu, ketika budaya local masih dianggap sebagai kekuatan besar pengendali kehidupan masyarakat mampu menjebak pikiran kita ke dalam romantisme. Ide-ide yang didasarkan atas penelaahan terhadap kuatnya budaya local memengaruhi setiap petak kehidupan masyarakat diyakini hanya akan membawa kita ke dalam iklim utopia, sebuah keharusan terlalu melangit. Madzhab kaum utopis memberi penekanan; setiap jengkal tanah harus dipertahankan oleh pemiliknya. Godaan-godaan liar dan bujuk rayu dari siapa pun yang akan mengusik tanah dan lahan-lahan pertanian harus seefektif mungkin dicegah.
Akan tetapi, zaman tidak seutopis pemilkiran para penganut mazdhab utopia. Tuntutan hidup dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya telah mengalihkan konsep ideal ke dalam konsep real kehidupan. Sesulit apa pun hidup, dalam konsep ideal, jangan sampai tanah tempat tinggal kita digadaikan atau dijual kepada orang lain. Jangan sampai lahir sebuah masyarakat yang didominasi oleh orang-orang tanpa memiliki tanah di kampung halamannya sendiri.
Kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya, peran perubahan budaya telah mengubah pikiran ideal ke dalam hal-hal praktis. Tanah telah disamakan dengan barang-barang hasil produksi, ketika nilai dan harga melonjak maka tidak ada salahnya dijual kepada orang lain. Lahan pertanian tidak perlu dipertahankan, toh sumber-sumber lain kecuali dari hasil pertanian pun bisa diciptakan melalui proses produksi. Kita melupakan bahan mentah dan bahan baku.
Di awaln tahun 1970-an, di Repelita ke-II kekuasaan orde baru. Ada ‘itikad baik dari pemerintah. Upaya-upaya sederhana untuk mengembalikan peran petani dikeluarkan oleh kebijakan-kebijakan orde baru. Petani dan para penggarap lahan pertanian diposisikan sebanding dengan para pahlawan yang telah memerdekaan Negara ini. Buku-buku ilmu sosial dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi pun diisi dengan satu penekanan, fakta bahwa Negara ini tidak bisa membohongi diri sebagai Negara agraris. Profesi petani berada di pyramida paling atas jika dibandingkan dengan profesi-profesi lain.
Ketika supply profesi petani mendominasi atas profesi-profesi berlaku beberapa hukum: harga tanah murah , orang tidak merasa khawatir terhadap ketersediaan kebutuhan pokok, kenaikan harga-harga kebutuhan bukan hanya dikendalikan oleh regulasi pemerintah juga dikendalikan secara alamiah oleh transaksi-transaksi jujur di pasar. Ketika harga tanah dan lahan-lahan pertanian dibandrol dengan harga murah, para petani dan pemilik lahan tidak perlu susah-payah dan memiliki pikiran kotor untuk menjual tanah garapan mereka kepada siapa pun.
Kebijakan pemerintah orde baru yang membidik sector real pertanian ini sebanding dengan populernya issue-issue Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam upaya mereka membujuk-rayu kaum tani. Perbedaannya terletak dari realisasi dan penerapan aturan dalam kehidupan. PKI menjadikan issue kesejahteraan kaum tani sebagai modal propaganda saja, sebatas pada pembentukan serikat-serikat dan organisasi kaum tani, agar kaum tani bisa diorganisir serta dikendalikan dalam pelaksanaan revolusi besar. Bidikan utamanya adalah agar lahan pertanian tetap dimiliki oleh kaum tani, kemudian ketika revolusi besar dimenangkan oleh PKI, dengan mudah lahan pertanian tersebut direbut oleh Negara atas nama Komunisme, atas nama Negara.
Di era orde baru, regulasi pemerintah difokuskan kepada bagaimana cara pemerintah menciptakan serta melahirkan para petani, bagaimana cara pemerintah menghindarkan pemikiran bahwa menjadi petani itu tidak hina. Kebijakan-kebijakan tentang hal ini harus benar-benar menjangkau para petani. Jangkauan pemerintah terhadap masyarakat petani ini dilukiskan dalam baliho dan billboar raksasa: Presiden Soeharto mengenakan caping bamboo di kepala, saat musim panen tiba. Ini terlepas dari sikap-sikap hegemoni keluarga Cendana dalam memiliki lahan-lahan strategis perkebunan. Secara umum, kebijakan pemerintah terhadap nasib para petani bisa dikatakan cukup baik saat itu.
Bentuk penghargaan terhadap para petani salah satunya dengan menciptakan wadah sederhana bernama Kelompencapir. Isyaratnya begitu sederhana, profesi petani tidak hanya berkutat pada masalah-masalah pengolahan sawah, bertarung di bawah terik matahari, bergumul dengan kebecekan. Pun diilustrasikan bahwa petani pun bisa tampil memukau di televise, bisa duduk bersanding dengan para petinggi Negara. Ada kejujuran yang lahir, orang jika mereka benar-benar berprofesi sebagai petani akan mencantumkan dirinya sebagai petani dalam Kartu Tanda Penduduknya.
Upaya petani, apa yang telah mereka hasilkan benar-benar terkontrol dan dikontrol dengan baik. Setiap pukul 21.00, Radio Republik Indonesia sebagai corong utama pemerintah dalam menyebarkan informasi-informasi untuk menjangkau masyarakat perdesaan selalu memberitakan harga-harga kebutuhan, harga-harga sayur-mayur. Pasar dan harga-harganya terbuka begitu lebar.
Kebanggaan ini telah menghasilkan pemikiran positif, lahan-lahan pertanian, sawah , ladang, dan kebun tidak mungkin dijual oleh para petani kepada siapa pun. Mereka mampu mempertahankan sawah dan mewariskannya kepada generasi sesudahnya. Jika pun ada orang yang membeli sawah, maka mereka membeli untuk difungsikan sebagai sawah, bukan untuk dijadikan lahan terbuka tanpa produktifitas. Budaya agraris telah mewariskan hal penting kepada kita; jangan sampai generasi setelah habisnya budaya agraris tidak memiliki lahan di negerinya sendiri. Tanah harus dipertahankan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. [ ]
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Sawah dan Petani"