Di tahun 1990-an, saat pengajian sehabis maghrib di mesjid jami, Kyai di kampungku menceritakan satu kisah. Hiduplah seorang pemuda saleh di zaman setelah eksodusnya Bani Israil dari Mesir ke Palestina, dia selalu mengecilkan dan berusaha menghindari perbuatan tercela. Dia dikenal oleh ke-12 suku bangsa Yahudi waktu itu. Namun, kesalehannya itu tidak serta merta dina diangkat sebagai seorang Rabbi di kalangan kaumnya.
Suatu hari, datanglah ke kampung tempat di mana Si Pemuda itu hidup. Waktu ada itu ada satu acara keagamaan. Orang asing itu duduk di salah satu teras rumah. Di luar synagog, telah disiapkan berbagai macam penganan, ini akan mengingatkan kita pada sebuah kenduri di kampung halaman. Tokoh-tokoh agama, para rabbi dari ke-12 suku bangsa Yahudi itu telah berkumpul, tanpa ke-cuali Si Pemuda soleh.
Terdengar obrolan dari para perempuan dan beberapa lelaki lanjut usia di teras rumah tersebut. Orang-orang lebih banyak membicarakan kebaikan-kebaikan Si Pemuda soleh itu daripada membicarakan betapa mewahnya baju-baju dan jubah-jubah keagamaan yang dipakai oleh para tokoh agama dan rabbi-rabbi di depan synagog. Rasa penasaran menghinggapi isi kepala Pendatang itu.
" Kenapa orang-orang lebih sering membicarakan kesalehan Si Pemuda itu, bahkan seperti memujinya hingga berlebihan. Ada semacam kecintaan besar kepada Si Pemuda daripada kepada tokoh-tokoh agama dan rabbi-rabbi berjubah mewah itu?" Si Pendatang bertanya kepada salah seorang perempuan di sampingnya.
" Ya, Kami lebih mencintai dan menyukai Si Pemuda itu dari pada kepada tokoh-tokoh agama dan rabbi-rabbi berjubah. Dalam pandangan Kami, para tokoh agama dan para rabbi itu selalu bangga dengan jubah-jubah yang mereka pakai, mereka selalu bangga pada dirinya sendiri karena mereka sering berpikir bahwa mereka lah yang paling dicintai oleh Yahweh, selalu berpikir jika mereka lah yang paling soleh di antara Kami. Namu, Kami tidak menyukai penampilan dan sikap mereka seperti itu." Kata Perempuan itu. " Kami lebih menghormati Si Pemuda itu, dia rendah hari dan tidak pernah bangga meskipun amalan-amalan kebaikannya memenuhi langit dan bumi.!"
Kemudian, Kyai di kampungku menutup cerita dengan sebuah wejangan, " Maka, percantik dan pertampanlah diri Kalian dengan amalan-amalan soleh tanpa kalian harus berpikir merasa paling soleh di antara manusia. Tetaplah bertingkah sederhana, tanpa perlu memanjangkan jenggot agar dikatakan memiliki bobot atau menghitamkan jidat agar disebut ahli sujud. Perbanyaklah produktifitas kebaikan dalam hidup dengan tetap mengedepankan sikap rendah hati dan kesederhanaan."
Sejak mendengarkan kisah itu, Saya sering melihat dan mengamati bagaimana Kyai di kampungku itu hidup. Sesekali Saya perhatikan kesehariannya; setiap pagi, setelah pengajian ba'da subuh selesai, Saya selalu melihat Kyai di kampungku mengerjakan pekerjaan-pekerjaan istrinya oleh dirinya sendiri, mencuci pakaian, menyapu halaman rumah, membersihkan rumput-rumput liar di halaman dan pinggir jalan, tanpa dia harus berpikir akan jatuh kehormatannya di depan orang-orang kampung. Dia melakukannya setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah untuk mengajar. [ ]
KANG WARSA
Suatu hari, datanglah ke kampung tempat di mana Si Pemuda itu hidup. Waktu ada itu ada satu acara keagamaan. Orang asing itu duduk di salah satu teras rumah. Di luar synagog, telah disiapkan berbagai macam penganan, ini akan mengingatkan kita pada sebuah kenduri di kampung halaman. Tokoh-tokoh agama, para rabbi dari ke-12 suku bangsa Yahudi itu telah berkumpul, tanpa ke-cuali Si Pemuda soleh.
Terdengar obrolan dari para perempuan dan beberapa lelaki lanjut usia di teras rumah tersebut. Orang-orang lebih banyak membicarakan kebaikan-kebaikan Si Pemuda soleh itu daripada membicarakan betapa mewahnya baju-baju dan jubah-jubah keagamaan yang dipakai oleh para tokoh agama dan rabbi-rabbi di depan synagog. Rasa penasaran menghinggapi isi kepala Pendatang itu.
" Kenapa orang-orang lebih sering membicarakan kesalehan Si Pemuda itu, bahkan seperti memujinya hingga berlebihan. Ada semacam kecintaan besar kepada Si Pemuda daripada kepada tokoh-tokoh agama dan rabbi-rabbi berjubah mewah itu?" Si Pendatang bertanya kepada salah seorang perempuan di sampingnya.
" Ya, Kami lebih mencintai dan menyukai Si Pemuda itu dari pada kepada tokoh-tokoh agama dan rabbi-rabbi berjubah. Dalam pandangan Kami, para tokoh agama dan para rabbi itu selalu bangga dengan jubah-jubah yang mereka pakai, mereka selalu bangga pada dirinya sendiri karena mereka sering berpikir bahwa mereka lah yang paling dicintai oleh Yahweh, selalu berpikir jika mereka lah yang paling soleh di antara Kami. Namu, Kami tidak menyukai penampilan dan sikap mereka seperti itu." Kata Perempuan itu. " Kami lebih menghormati Si Pemuda itu, dia rendah hari dan tidak pernah bangga meskipun amalan-amalan kebaikannya memenuhi langit dan bumi.!"
Kemudian, Kyai di kampungku menutup cerita dengan sebuah wejangan, " Maka, percantik dan pertampanlah diri Kalian dengan amalan-amalan soleh tanpa kalian harus berpikir merasa paling soleh di antara manusia. Tetaplah bertingkah sederhana, tanpa perlu memanjangkan jenggot agar dikatakan memiliki bobot atau menghitamkan jidat agar disebut ahli sujud. Perbanyaklah produktifitas kebaikan dalam hidup dengan tetap mengedepankan sikap rendah hati dan kesederhanaan."
Sejak mendengarkan kisah itu, Saya sering melihat dan mengamati bagaimana Kyai di kampungku itu hidup. Sesekali Saya perhatikan kesehariannya; setiap pagi, setelah pengajian ba'da subuh selesai, Saya selalu melihat Kyai di kampungku mengerjakan pekerjaan-pekerjaan istrinya oleh dirinya sendiri, mencuci pakaian, menyapu halaman rumah, membersihkan rumput-rumput liar di halaman dan pinggir jalan, tanpa dia harus berpikir akan jatuh kehormatannya di depan orang-orang kampung. Dia melakukannya setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah untuk mengajar. [ ]
KANG WARSA
Dikirim dari Windows E-mail
Posting Komentar untuk "Si Pemuda dan Tokoh Agama"