Tahun 2013, terakhir kali Saya mengunjungi sebuah perkampungan di Selatan Cikundul, Kampung Bangbayang
Sebuah jembatan bambu atau rawayan membentang di atas Sungai Cimandiri. Kekokohan jembatan tersebut mampu dilewati oleh kendaraan roda dua/ sepeda motor.
Jalan berbatu dari jembatan penyebrangan hingga perkampungan Bangbayang sekarang telah dirabat beton, hampir seluruhnya.
Berbeda dengan dua puluh tahun lalu, dari jembatan bambu hingga perkampungan masih berupa jalan berbatu dan masih murni tanah merah.
Keberpihakan pembangunan kepada sebuah kampung memang telah menyulap kondisi fisik kampung tersebut. Infrastruktur tercipta, jalan berbatu dan tanah telah berubah menjadi jalan rabat beton.
Namun, pembangunan sebesar apa pun belum bisa mengalahkan bagaimana pesona alam di daerah tersebut masih bisa bertahan hingga sekarang.
Dari ketinggian jalan, hamparan pesawahan terlihat. Ilalang yang Saya jumpai dua puluh tahun silam masih sama.
Kampung Bangbayang terletak di kaki sebuah gunung. Secara administratif menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Sukabumi. Namun, akses jalan dan sarana penunjang transportasi menjadikan wilayah tersebut lebih dekat dengan daerah-daerah di Kota Sukabumi.
Dari Jubleg hingga Wangunreja, memanjang perkampungan sebagai perbatasan antara wilayah Kota dan Kabupaten Sukabumi.
Pada tahun 1987, pemerintah Kabupaten Sukabumi membangun akses jalan dan saluran irigasi, memanjang sepanjang perkampungan dari Jubleg hingga Wangunreja.
Jalan berbatu dengan lebar 3 meter itu, sekarang masih tetap sama seperti dulu.
Keberpihakan pembangunan memang belum menyentuh secara keseluruhan bagi perkampungan-perkampungan di perbatasan, hanya saja keberpihakan alam menjadi alasan, kondisi dan lingkungan perkampungan di perbatasan Kota dan Kabupaten harus tetap dijaga.
Mayoritas masyarkat Bangbayang adalah para petani pemilik lahan dan penggarap lahan orang lain. Sistem pertanian, kecuali menggunakan irigasi, masyarakat masih menerapkan sistem ngahuma, bercocok tanam di lahan kering di daerah pegunungan.
Menjadi satu alasan, kenapa ketika kecil - dua puluh tahun lalu - Saya bersama beberapa teman setiap satu tahun sekali selalu mengunjungi tempat ini. Sebab, pesona alam dan keindahan kampung tersebut tidak akan dikalahkan oleh kokohnya bangunan, mall-mall, dan pusat-pusat perbelanjaan.
Gunung-gunung tetap kokoh berdiri membentenginya, sawah dan kebun menghampar seperti ampitheater raksasa. Pepohonan rindang tetap menyediakan aroma sejuk bagi para pejalan kaki.
Tidak heran, satu pekan sekali, mereka yang tinggal di Kota dan akrab dengan kebisingan selalu melakukan pengembaraan dengan sepeda-sepeda motor ‘trail’. Dengan bahasa sederhana, tetap saja mereka membawa kebisingan suara mesin, mengalihkannya dari keramaian kota ke perkampungan-perkampungan.
Tapi percayalah, hal itu tidak menjadi soal bagi masyarakat di perkampungan perbatasan Kota dan Kabupaten Sukabumi.
Alam akan tetap pasrah melayani setiap hasrat dan kemauan besar manusia.
Penulis : Kang Warsa
Photografer : Jiwenk
Sebuah jembatan bambu atau rawayan membentang di atas Sungai Cimandiri. Kekokohan jembatan tersebut mampu dilewati oleh kendaraan roda dua/ sepeda motor.
Jalan berbatu dari jembatan penyebrangan hingga perkampungan Bangbayang sekarang telah dirabat beton, hampir seluruhnya.
Berbeda dengan dua puluh tahun lalu, dari jembatan bambu hingga perkampungan masih berupa jalan berbatu dan masih murni tanah merah.
Keberpihakan pembangunan kepada sebuah kampung memang telah menyulap kondisi fisik kampung tersebut. Infrastruktur tercipta, jalan berbatu dan tanah telah berubah menjadi jalan rabat beton.
Namun, pembangunan sebesar apa pun belum bisa mengalahkan bagaimana pesona alam di daerah tersebut masih bisa bertahan hingga sekarang.
Dari ketinggian jalan, hamparan pesawahan terlihat. Ilalang yang Saya jumpai dua puluh tahun silam masih sama.
Kampung Bangbayang terletak di kaki sebuah gunung. Secara administratif menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Sukabumi. Namun, akses jalan dan sarana penunjang transportasi menjadikan wilayah tersebut lebih dekat dengan daerah-daerah di Kota Sukabumi.
Dari Jubleg hingga Wangunreja, memanjang perkampungan sebagai perbatasan antara wilayah Kota dan Kabupaten Sukabumi.
Pada tahun 1987, pemerintah Kabupaten Sukabumi membangun akses jalan dan saluran irigasi, memanjang sepanjang perkampungan dari Jubleg hingga Wangunreja.
Jalan berbatu dengan lebar 3 meter itu, sekarang masih tetap sama seperti dulu.
Keberpihakan pembangunan memang belum menyentuh secara keseluruhan bagi perkampungan-perkampungan di perbatasan, hanya saja keberpihakan alam menjadi alasan, kondisi dan lingkungan perkampungan di perbatasan Kota dan Kabupaten harus tetap dijaga.
Mayoritas masyarkat Bangbayang adalah para petani pemilik lahan dan penggarap lahan orang lain. Sistem pertanian, kecuali menggunakan irigasi, masyarakat masih menerapkan sistem ngahuma, bercocok tanam di lahan kering di daerah pegunungan.
Menjadi satu alasan, kenapa ketika kecil - dua puluh tahun lalu - Saya bersama beberapa teman setiap satu tahun sekali selalu mengunjungi tempat ini. Sebab, pesona alam dan keindahan kampung tersebut tidak akan dikalahkan oleh kokohnya bangunan, mall-mall, dan pusat-pusat perbelanjaan.
Gunung-gunung tetap kokoh berdiri membentenginya, sawah dan kebun menghampar seperti ampitheater raksasa. Pepohonan rindang tetap menyediakan aroma sejuk bagi para pejalan kaki.
Tidak heran, satu pekan sekali, mereka yang tinggal di Kota dan akrab dengan kebisingan selalu melakukan pengembaraan dengan sepeda-sepeda motor ‘trail’. Dengan bahasa sederhana, tetap saja mereka membawa kebisingan suara mesin, mengalihkannya dari keramaian kota ke perkampungan-perkampungan.
Tapi percayalah, hal itu tidak menjadi soal bagi masyarakat di perkampungan perbatasan Kota dan Kabupaten Sukabumi.
Alam akan tetap pasrah melayani setiap hasrat dan kemauan besar manusia.
Penulis : Kang Warsa
Photografer : Jiwenk
Posting Komentar untuk "Kampung Bangbayang"