Globalisasi dan Tuhan-tuhan Baru



Sebelum diangkat menjadi Paus Yohanes Paulus II di tahun 1978, Karol Józef Wojtyła mendukung sepenuhnya prosesi globalisasi. Dalam pandangannya, globalisasi bagaimana pun akan tetap sejalan dengan missi ‘gereja’, penyatuan dan persahabatan antara kemajuan dengan spiritualitas harus terjaga dan terjalan. Dua unsur itu harus berjalan bersamaan. Demi alasan tersebut, sebelum pengangkatan dirinya menjadi Paus sebagai orang tertinggi di Vatican, Jozef Wojtyla mendukung sepenuhnya globalisasi, entah sebagai mitos atau sebagai sebuah realitas.

Globalisasi tidak hanya mendapat dukungan sepenuhnya dari kelompok agamawan Katholik, dari kalangan ulama dan pemikir Islam pun banjir dukungan datang. Tidak hanya sebatas pada penekanan universalisasi keilmuan, pengutuhan pemahaman manusia muslim terhadap ilmu agama dan duniawi, fondasi-fondasi agama pun seperti ilmu fiqh dan akhlaq diberi formula yang baik agar sejalan dengan kemajuan. Sekitar dua dekade lalu, buku-buku dengan pembahasan fiqh kontemporer dicetak hingga ribuan eksemplar. Intinya, semua kelompok menginginkan adanya jawaban terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang terlihat begitu cepat mendunia.

Baru pada awal abad ke 21, Paus Yohanes Paulus II menyadari bahwa globalisasi tampak lebih sering menampilkan kebusukan-kebusukannya daripada menghormati nilai-nilai yang telah dipegang teguh oleh ‘Vatican’ sejak abad pencerahan. Kemajuan teknologi, pemikiran dan pandangan-pandangan dalam ekonomi yang telah mengglobal terlihat lebih memuluskan bagi lahirnya kemerosotan moral, kenistaan, dan potensi kriminal baru dengan berbagai variannya. Di akhir kepemimpinannya, Paus seolah menyampaikan penyesalan terhadap partisipasi dirinya saat memberi dukungan penuh terhadap munculnya ‘globalisasi’ di dunia ini.

Lahirnya kenistaan sebagai dampak dari globalisasi saat hampir seluruh penduduk dunia merasakan bagaimana getirnya keadaan ketika krisis moneter menerjang dunia hanya disebabkan oleh seorang Goerge Soros dalam mempermainkan nilai mata uang dunia. Ketidak ajegan nilai mata uang tidak hanya terjadi pada tidak sepadannya antata nilai mata uang satu negara dengan negara lain, lebih dari itu, berbagai pihak telah menuduh ada ketidak adilan yang signifikan antara nilai mata uang dengan kertas uang itu sendiri. Jika harga kertas uang senilai Rp.400,-/lembar kemudian memiliki nilai Rp.1.000,- dari sinilah transaksi keuangan akan terlihat lebih mendahulukan ketidak adilannya. Bagaimana pun juga, seorang pialang kapitalis yang rakus akan dengan mudah memasukkan uang kartal Dollar Amerika ke negara-negara berkembang kemudian menukarnya dengan mata uang di negara tersebut yang akan memperburuk perekonomian di berbagai negara sebagai akibat inflasi. Bagi seorang Soros, uang dengan mata uang USD bisa dengan mudah dicetak dan diperbanyak.

Krisis moneter sebagai akibat globalisasi ekonomi menjelang abad ke 21 mau tidak mau telah membawa mayoritas penduduk dunia pada krisis multi dimensi. Kalangan agamawan seperti halnya Paus Yohanes Paulus II merasakan dengan sesak, bagaimana hebatnya nilai spiritualitas manusia telah jatuh hingga ke lembah terdalam dalam kehidupan. Kebengisan dalam kehidupan karena semakin kokohnya benteng persaingan, perdagangan ayat-ayat Tuhan melalui lembaga-lembaga politik. Secara sadar, Paus Yohanes Paulus II memberikan penekanan yang jelas bahwa globalisasi hanya merupakan mitos yang akan meruntuhkan nalar manusia; tuhan-tuhan baru telah dilahirkan mengalahkan Dzat Yang Maha Tunggal.

Animisme dan dinamisme dalam bentuk modern tercipta. Zaman dahulu, orang bisa saja memercayai segala benda di alam ini memiliki kekuatan sacral, diisi oleh roh-roh, memiliki kekuatan ghaib. Benda-benda keramat dan pusaka diagung-agungkan, dibuatlah menhhir-menhir pemujaan dari batu-batu, dolmen-dolmen persembahan untuk memuju kekuatan suprarasional. Di era modern, benda-benda pusaka telah menjelma menjadi ponsel cerdas, televisi, dan computer. Base Transceiver Station (BTS) dibangun menjulang tinggi melebihi menhir dari batu. Kekuatan ghaib tersebut telah berubah dari roh-roh menjadi pulsa dan jaringan nir-kabel. Semua orang memerlukan bahkan memuja benda-benda keramat modern tersebut, tanpa kecuali.

Namun, dunia dan kemajuannya tidak bisa dihentikan apalagi dicaci. Prinsip dasar kemajuan itu sendiri adalah efektifitas dan efisiensi. Ketika dengan kemajuan manusia malah merasakan dirinya semakin disibukkan dengan hal-hal bari, maka prinsip awal dari kemajuan itu sendiri telah hilang. Efektifitas dan efisiensi diharapkan agar kehidupan manusia semakin ringan dan dipenuhi oleh keharmonisan, keselarasan antara manusia dengan alam. Jika yang dihasilkan adalah sebaliknya, maka siapa pun tidak berhak menyalahkan Karol Józef Wojtyła yang menyebutkan; globalisasi hanyalah mitos yang telah melahirkan tuhan-tuhan baru di era modern. (*)

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Globalisasi dan Tuhan-tuhan Baru"