Pagi tadi, adik ipar nenek dimakamkan. Prosesi pemakaman dilakukan ketika ada kematian, ada yang hilang dan ditinggalkan.
Beberapa jam setelah pemakaman almarhumah (Amin Encih), seorang teman memberitakan tentang kematian temannya. Kira-kira seperti ini; “ Teman Saya meninggal dunia tiga hari lalu. Sebelum meninggal, dia akan dinikahkan oleh keluarganya dengan lelaki pilihannya. Dia divonis kanker rahim, dia sendiri merupakan cicit dari pengasuh sebuah pondok pesantren di Suryalaya.
Sebelum meninggal, dia berwasiat kepada calon suaminya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi; Pertama, dia ingin dipeluk oleh calon suaminya sebelum meninggal. Kedua, dia ingin agar calon suaminya menunggu di kamar pasien hingga ajal menjemput. Ketiga, jika kematian benar-benar menjumpai dirinya, dia ingin jasadnya digendong oleh calon suaminya hingga ke rumah duka.
“ Pada detik-detik kematiannya, almarhumah mengatakan satu hal kepada calon suaminya; Kematian semakin dekat menghampiriku, ujung kaki mulai mendingin terus naik hingga ke betis, paha. Dan pada akhir hayatnya, dia membisikkan beberapa kalimat; salah satunya meminta agar calon suaminya memperlakukanku sama dan sebaik kepada dirinya.”
Cerita tidak sampai disana, teman Saya melanjutkan kembali.
“ Satu hari setelah kematiannya; adik laki-laki Almarhumah kerasukan, menurut berita dari calon suaminya kepadaku, ucapan dan intonasi suara adik almarhumah sama dengan almarhumah sendiri. Ada beberapa wasiat yang belum dipenuhi. Salah satunya; agar calon suaminya memeluk dan menciumku.” Begitu kata teman Saya.
Dia melanjutkan, “ Apa benar, jika ada wasiat yang belum dipenuhi oleh ahli waris atas siapa pun kemudian akan mengakibatkan orang yang meninggal akan merasa penasaran, kemudian akan terus-menerus menghantui siapa pun?”
Demi mendengar kisah tersebut, Saya menarik nafas agak panjang, kemudian mengingatkan Saya pada sebuah buku zaman Mesir Kuno, The Egyptian Book of Dead, kira-kira memiliki arti, buku kematian orang-orang mesir.
Dalam tradisi Mesir Kuno, kematian diyakini bukan akhir dari kehidupan kecuali merupakan awal kehidupan itu sendiri. Diyakini pula, siapa pun yang telah meninggal dunia, tidak akan bisa kembali lagi ke kehidupan di dunia ini sebab jiwa orang mati tersebut akan berhadapan dengan Anubis, seorang dewa berkepala anjing, pembawa timbangan amal. Pengadilan oleh Anubis ini yang akan menentukan, apakah orang tersebut akan dimasukkan ke dalam kenikmatan atau siksaan. Dalam ‘Buku Kematian Orang Mesir” dinyatakan dengan jelas, roh manusia yang telah meninggal tidak akan kembali lagi ke kehidupan di dunia ini.
Beberapa peradaban hingga keyakinan pasca keruntuhan dinasti Mesir secara umum memegang teguh keyakinan ini. Setiap jiwa akan mati, dia akan kembali kepada Tuhannya, tidak akan bisa kembali ke kehidupan di dunia ini. Dia akan mendapatkan kenikmatan atau siksaan. Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya terjadi kontradiksi dalam satu term. Kembali kepada Tuhan kemudian menerima kenikmatan atau siksaan.
Kontradiksi ini terjadi disebabkan oleh sebuah alasan umum; jika jiwa seseorang telah kembali kepada Tuhan, artinya jiwa tersebut telah berada dalam kondisi bersih dan suci. Jiwa yang telah kembali kepada Tuhannya sudah pasti tidak akan membutuhkan kenikmatan atau siksaan, sebab dalam terminologi prophetik “kenikmatan tertinggi bagi hamba adalah ketika dia telah menemui Tuhannya.” Dalam kitab suci pun dinyatakan dengan jelas; Yaa, Ayyatuhannafsul Muthmainnah, Irji’i ila robbiki roodliyatan Mardiyyah. Fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii jannatii.” Ibnu ‘Atho menafsirkan maksud ayat ini sebagai berikut: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.”
Satu bulan lalu, seorang ulama Indonesia, Quraisy Syihab pernah membuat pernyataan: dimasukkannya seseorang ke dalam sorga dan neraka merupakan hak prerogatif Alloh. Sudah tentu pernyataan ini mengundang polemik bagi manusia bahkan kelompok yang tidak mau mencerna dengan jernik maksud dari Quraisy Syihab. Polemik tidak sampai ke sana, beberapa kelompok dengan sikap skeptis dan sinis menuduh Quraisy Syihab memiliki pandangan dan pemikiran Syi’i. Bahkan ada yang menghubungkannya dengan persoalan politik.
Korelasi antara dalil-dalil di dalam berbagai kitab suci dengan The Egyptian Book of Dead terlihat pada “ tidak akan kembalinya jiwa yang mati ke kehidupan di dunia ini. Adanya pemberian kenikmatan dan siksaan setelah diadili oleh Anubis, Munkar dan Nakir , Uriel dan Ariel (dalam keyakinan Semit).”
Kematian manusia akan seperti ini, meski pun tidak sedikit terdapat penafsiran lain tentangnya; demi memuliakan keMaha murahan dan keMaha Adilan Tuhan, beberapa keyakinan meyakini, hanya jiwa yang telah benar-benar suci yang akan kembali kepada Tuhan, selebihnya manusia harus mengalami dulu samsara dalam sebuah reinkarnasi. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, sebab pandangan pertama dan ke-dua bersifat supra-rasional. Namun, jika menafsirkan beberapa ayat dalam kitab suci, kedua pandangan ini harus benar-benar dikaji kembali secara jernih, benar, dan utuh. Hanya Alloh Yang Maha Tahu.
Kang Warsa
Beberapa jam setelah pemakaman almarhumah (Amin Encih), seorang teman memberitakan tentang kematian temannya. Kira-kira seperti ini; “ Teman Saya meninggal dunia tiga hari lalu. Sebelum meninggal, dia akan dinikahkan oleh keluarganya dengan lelaki pilihannya. Dia divonis kanker rahim, dia sendiri merupakan cicit dari pengasuh sebuah pondok pesantren di Suryalaya.
Sebelum meninggal, dia berwasiat kepada calon suaminya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi; Pertama, dia ingin dipeluk oleh calon suaminya sebelum meninggal. Kedua, dia ingin agar calon suaminya menunggu di kamar pasien hingga ajal menjemput. Ketiga, jika kematian benar-benar menjumpai dirinya, dia ingin jasadnya digendong oleh calon suaminya hingga ke rumah duka.
“ Pada detik-detik kematiannya, almarhumah mengatakan satu hal kepada calon suaminya; Kematian semakin dekat menghampiriku, ujung kaki mulai mendingin terus naik hingga ke betis, paha. Dan pada akhir hayatnya, dia membisikkan beberapa kalimat; salah satunya meminta agar calon suaminya memperlakukanku sama dan sebaik kepada dirinya.”
Cerita tidak sampai disana, teman Saya melanjutkan kembali.
“ Satu hari setelah kematiannya; adik laki-laki Almarhumah kerasukan, menurut berita dari calon suaminya kepadaku, ucapan dan intonasi suara adik almarhumah sama dengan almarhumah sendiri. Ada beberapa wasiat yang belum dipenuhi. Salah satunya; agar calon suaminya memeluk dan menciumku.” Begitu kata teman Saya.
Dia melanjutkan, “ Apa benar, jika ada wasiat yang belum dipenuhi oleh ahli waris atas siapa pun kemudian akan mengakibatkan orang yang meninggal akan merasa penasaran, kemudian akan terus-menerus menghantui siapa pun?”
Demi mendengar kisah tersebut, Saya menarik nafas agak panjang, kemudian mengingatkan Saya pada sebuah buku zaman Mesir Kuno, The Egyptian Book of Dead, kira-kira memiliki arti, buku kematian orang-orang mesir.
Dalam tradisi Mesir Kuno, kematian diyakini bukan akhir dari kehidupan kecuali merupakan awal kehidupan itu sendiri. Diyakini pula, siapa pun yang telah meninggal dunia, tidak akan bisa kembali lagi ke kehidupan di dunia ini sebab jiwa orang mati tersebut akan berhadapan dengan Anubis, seorang dewa berkepala anjing, pembawa timbangan amal. Pengadilan oleh Anubis ini yang akan menentukan, apakah orang tersebut akan dimasukkan ke dalam kenikmatan atau siksaan. Dalam ‘Buku Kematian Orang Mesir” dinyatakan dengan jelas, roh manusia yang telah meninggal tidak akan kembali lagi ke kehidupan di dunia ini.
Beberapa peradaban hingga keyakinan pasca keruntuhan dinasti Mesir secara umum memegang teguh keyakinan ini. Setiap jiwa akan mati, dia akan kembali kepada Tuhannya, tidak akan bisa kembali ke kehidupan di dunia ini. Dia akan mendapatkan kenikmatan atau siksaan. Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya terjadi kontradiksi dalam satu term. Kembali kepada Tuhan kemudian menerima kenikmatan atau siksaan.
Kontradiksi ini terjadi disebabkan oleh sebuah alasan umum; jika jiwa seseorang telah kembali kepada Tuhan, artinya jiwa tersebut telah berada dalam kondisi bersih dan suci. Jiwa yang telah kembali kepada Tuhannya sudah pasti tidak akan membutuhkan kenikmatan atau siksaan, sebab dalam terminologi prophetik “kenikmatan tertinggi bagi hamba adalah ketika dia telah menemui Tuhannya.” Dalam kitab suci pun dinyatakan dengan jelas; Yaa, Ayyatuhannafsul Muthmainnah, Irji’i ila robbiki roodliyatan Mardiyyah. Fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii jannatii.” Ibnu ‘Atho menafsirkan maksud ayat ini sebagai berikut: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.”
Satu bulan lalu, seorang ulama Indonesia, Quraisy Syihab pernah membuat pernyataan: dimasukkannya seseorang ke dalam sorga dan neraka merupakan hak prerogatif Alloh. Sudah tentu pernyataan ini mengundang polemik bagi manusia bahkan kelompok yang tidak mau mencerna dengan jernik maksud dari Quraisy Syihab. Polemik tidak sampai ke sana, beberapa kelompok dengan sikap skeptis dan sinis menuduh Quraisy Syihab memiliki pandangan dan pemikiran Syi’i. Bahkan ada yang menghubungkannya dengan persoalan politik.
Korelasi antara dalil-dalil di dalam berbagai kitab suci dengan The Egyptian Book of Dead terlihat pada “ tidak akan kembalinya jiwa yang mati ke kehidupan di dunia ini. Adanya pemberian kenikmatan dan siksaan setelah diadili oleh Anubis, Munkar dan Nakir , Uriel dan Ariel (dalam keyakinan Semit).”
Kematian manusia akan seperti ini, meski pun tidak sedikit terdapat penafsiran lain tentangnya; demi memuliakan keMaha murahan dan keMaha Adilan Tuhan, beberapa keyakinan meyakini, hanya jiwa yang telah benar-benar suci yang akan kembali kepada Tuhan, selebihnya manusia harus mengalami dulu samsara dalam sebuah reinkarnasi. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, sebab pandangan pertama dan ke-dua bersifat supra-rasional. Namun, jika menafsirkan beberapa ayat dalam kitab suci, kedua pandangan ini harus benar-benar dikaji kembali secara jernih, benar, dan utuh. Hanya Alloh Yang Maha Tahu.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Kematian"