Pada setiap kesempatan dalam sidang paripurna baik di DPR hingga DPRD di Kota dan Kabupaten, Kita sering mendengar beberapa anggota parlemen membuat pernyataan; “ Rakyat mana maksud, Anda?” ketika ada anggota parlemen lain berbicara dengan lantang – bisa jadi penuh dengan keikhlasan – mengokohkan pendapatnya dengan mengatasnamakan rakyat.
Makna rakyat – sejak era reformasi – telah menjadi sebuah trend sekaligus menjadi obyek kepentingan. Demokrasi memang ditegakkan di atas landasan ; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Muncul lah pengatasnamaan rakyat demi meraih simpati dan mencapai tujuan. Di era Orde Baru juga, pemerintah Soeharto sering mengatasnamakan rakyat dalam setiap kebijakan dan regulasi yang dikeluarkannya. Hanya saja, selama kurun waktu tiga dekade, peran dan posisi rakyat memang ditempatkan pada kedudukan “kaula, abdi, atau sahaya.”
Dari hal tersebut di atas, betapa pentingnya rakyat dalam kehidupan kita, betapa sangat berharganya rakyat dalam pola demokrasi modern sekarang ini. Para pembenci demokrasi telah mendikotomikan terminologi rakyat pada ranah tertentu sebagai obyek. Pembenci demokrasi hanya melihat kepada apa yang dihasilkan oleh demokrasi itu sendiri; bukan apa-apa kecuali menyamakan antara suara rakyat cerdas dengan rakyat bodoh. Dengan logika sederhana, para penentang demokrasi memberikan asumsi; apakah sama kualitas suara seorang cerdik pandai dengan seorang bajingan? Sedangkan dalam demokrasi berlaku konsep one person one vote.
Itulah kenapa, para pembenci demokrasi memberikan alasan, demokrasi merupakan sebuah sistem rapuh dan keropos. Bahkan,pada titik ekstrim semua orang akan mengatasnamakan demokrasi saat melakukan kejahatan yang bisa saja melukai entitas terpenting dalam demokrasi itu sendiri, yaitu rakyat.
Dalam sistem pemerintahan di setiap negara, baik di negara demokrasi liberal, parlementer, hingga komunis, rakyat menjadi hal mutlak yang keberadaannya memang harus ada dan diakui. Artinya, tanpa rakyat tidak akan ada pemerintahan. Hal paling penting dalam terbentuknya keseimbangan dalam pemerintahan adalah; peran dan posisi antara rakyat dengan pemerintah harus ditempatkan sebagai subyek, pelaku pemerintahan.
Stigma yang sering muncul dalam benak siapa pun adalah; pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya seolah ditempatkan sebagai subyek sementara rakyat sebagai masyarakat ditempatkan pada posisi obyek. Dalam sistem pemerintahan apa pun memang harus ada yang memerintah dan diperintah. Namun proses memerintah dan diperintah harus mengacu kepada rasa adil dan sikap rasional. Bukan hubungan simbiosis parasitisme antara tuan dengan budak.
Plato menulis, hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diperintah harus didasarkan pada munculnya kebaikan. Sebab pemerintah, ini bersifat sirkular, pada satu kesempatan warga negara akan menjadi pemerintah namun pada kesempatan lain warga negara akan menjadi yang diperintah.
Dalam satu kisah diceritakan, betapa pentingnya kehadiran rakyat dalam sebuah sistem pemerintahan. Alkisah, di suatu waktu sebelum planet bumi ini ditempati oleh milyaran manusia, telah hidup seorang raja, duduk di atas singgasana, kekuasaannya meliputi seluruh permukaan bumi dari Barat hingga Timur. Sang Raja bangga dengan kedudukan dan kekuasaannya. Bangga pada dirinya sendiri dengan sering bergumam; aku adalah Sang Raja di planet ini.
Pengakuan kehebatannya itu mulai memudar ketika dia menyadari jika Sang Raja harus memiliki orang yang diperintah. Raja harus memiliki rakyat, sedangkan pengisi planet bumi yang luas tersebut hanya dirinya sendiri. Sang Raja pun merasa kesepian dan asing dalam kekuasaannya sendiri.
Hingga pada akhirnya, datanglah seorang pengembara entah dari mana menemui Sang Raja yang begitu kesepian. Sang Raja yang rindu dengan kehadiran orang lain pun menyambut Si Pengembara seperti seorang presiden menyambut tamu negara.
“ Kamu seorang warga negara!” Ucap Sang Raja girang. “ Jadilah rakyatku!”
Si Pengembara menggelengkan kepala.
“ Kamu sendirian di tempat ini dan menjadi raja?”
“ Iya, jadilah warga negara di tempat ini, jadilah rakyatku!”
“ Hahaha… hanya kita berdua, brow!”
“ Kamu tidak mau jadi rakyat? Akan aku angkat kamu menjadi wakil atau perdana menteriku!” Ucap Sang Raja merayu.
“ Tidak, bagaimana bisa kita menjadi raja dan perdana menteri sementara tempat luas ini tidak memiliki rakyat sama sekali. Aku akan melanjutkan pengembaraan, mencari sebuah tempat dimana dihuni oleh banyak rakyat, sebab di sanalah kehidupan sebenarnya ada, oke brow.. adios!”
Pada akhirnya Sang Raja pun hidup dalam kesendirian sebagai Raja tanpa Rakyat.
Dalam ingar-bingar demokrasi di negara ini, rakyat sering diposisikan sebagai obyek oleh para pemegang dan pencari kepentingan. Parlemen dari jalanan hingga gedung-gedung dipenuhi alasan suara rakyat, suara wong cilik. Tapi tetap, rakyat sebetulnya tidak mengerti untuk apa diri mereka diatasnamakan oleh kelompok dan lembaga-lembaga tersebut? Sementara hak politik mereka sendiri secara perlahan mulai disusutkan demi alasan betapa mahalnya biaya pesta demokrasi langsung di negara ini. (*)
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Rakyat"