Relasi Transendensi

Ilustrasi

Ada bentuk relasi antara Tuhan dan Manusia yang sulit diterjemahkan dalam bentuk realitas. Dalam film “ Transendence” ilustrasi tentang relasi antara hal transenden dengan profan direalkan meskipun dalam film tersebut memperlihatkan betapa kuatnya antrophosentris, manusia sebagai dan bisa menjadi pusat segala sesuatu.

Toshihiko Izutsu (1914-1993) memaparkan dalam “God and Man in Quran” bagaimana relasi antara Tuhan dan Manusia ini terbentuk. Hubungan antara Tuhan dan manusia akan terjalin jika manusia sebagai ‘pihak kodomain’ memosikan diri sebagai mahluk yang telah diatur oleh sebuah kekuatan maha besar dan memikiri pemikiran umum terhadap berbagai hal.

Pandangan partikular, detil, dan khusus terhadap sesuatu sering melupakan manusia terhadap sebuah kinerja atau sistem yang maha dahsyat. Pola pikir partikular hendak memisahkan berbagai hal, seolah tidak ada relasi dan hubungan antara satu hal dengan hal lain. Manusia bekerja sendiri-sendiri, tanpa mengikuti satu rancangan dan sistem yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.

Pandangan antrophosentris dimana manusia ditempatkan sebagai pusat segala sesuatu telah membawa kehidupan manusia pada pandangan kurang tepat, segala hal dibatasi antara ketransendenan dengan keprofanan. Tuhan ditempatkan berada pada posisi yang begitu jauh, ketika diposisikan berada dekat dengan manusia pun diilustrasikan sebagai dzat yang memiliki unsur sama dengan manusia (Antrophomorfisme, menyematkan atribut manusia kepada Tuhan).

Tuhan memang merupakan hal yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia. Ketidak terjangkauan inilah yang mengakibatkan sebagian manusia memililih jalan buntu; mendiadakan Tuhan atau menjauhkanNya dalam kehidupan. Pada sisi lain, tidak sedikit manusia memiliki prasangka ‘Tuhan bersama dengan kita’, merengek agar Tuhan memihak kepada sebuah kelompok.

Satu hal yang begitu mengherankan, Tuhan dipaksa dengan wacana agar dekat dengan manusia, mendekati mahluk ciptaanNya. Beberapa mezbah persembahan dibuat agar Tuhan mendekati manusia, dibangun juga berbagai ‘Rumah Tuhan’ yang pada akhirnya merusak kognisi manusia terhadap keberadaan Tuhan itu sendiri.

Tuhan manusia diberi batas oleh lembaga-lembaga bernama ‘Agama’ menjadi Tuhan yang hanya diperuntukkan bagi satu golongan. Kognisi dan pemikiran partikular manusia sering mengarah kepada pandangan; Tuhan golongan A dengan golongan B sudah pasti berbeda. Klaim kebenaran ini secara logis telah melahirkan Tuhan-tuhan yang beranak-pinak, memiliki dualisme sifat antara maha baik dan sering menyiksa.

Jika dianalisa lebih mendalam, munculnya pemikiran dualisme tentang sifat Tuhan antara Maha Baik dan sering menyiksa ini dilatar belakangi oleh akulturasi peradaban manusia dan keyakinannya; Tuhan yang Maha Baik dicitrakan oleh berbagai peradaban sebagai dewa kebaikan, pemberi segala sesuatu. Tuhan yang jahat dicitrakan sebagai dewa-dewa yang haus dengan berbagai potensi kejahatan.

Pada akhirnya, relasi antara manusia dengan Tuhannya harus selalu ditampilkan dalam logosentrisme bukan ditampilkan melalui budi pekerti atau akhlaqul-karimah. Karena pola kognisi ini telah dianut oleh manusia sejak peradaban berubah haluan dari ajaran kebenaran melalui permenungan menjadi ajaran kebenaran melalui kelembagaan.

Meskipun ada satu pandangan, Tuhan yang disembah oleh manusia – secara historis tidak pernah berubah -, perubahan hanya terjadi pada cara manusia dalam memandang konteksNya saja, tetapi Tuhan sendiri pada dasarnya berada di luar konteks dan dari apa yang kita pikirkan sebab Dia jelas sekali berbeda dengan mahluk-Nya.

Memunculkan dualisme dalam sifat Tuhan, alih-alih membawa manusia pada ketentraman malah telah menjerumuskan manusia pada peperangan, saling tikam, dan saling bunuh. Betapa aneh ketika ada peperangan dan pembunuhan massal kemudia dengan seenaknya manusia menyatakan ini sebagai perintah dari Tuhan. Dalam benak kita sudah pasti akan muncul satu tanya; Tuhan apa yang memerintahkan satu kelompok untuk membunuh kelompok lain. Kemaha murahan-Nya terletak dimana?

Lalu, Tuhan mana yang sering dianggap oleh sebagian kelompok di dunia ini yang memerintahkan perang dan pembunuhan? Sudah pasti, tuhan tersebut merupakan tuhan hasil dari penafsiran kelompok tersebut, tuhan yang bukan Tuhan. (*)

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Relasi Transendensi"