Kekerasan Anak-Anak Sekolah Dasar



Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak SD di Bukittinggi –mengeroyok, menendang, dan memukuli teman perempuannya- merupakan bentuk pencorengan terhadap dunia pendidikan di negara ini. Peristiwa ini merupakan fenomena gunung es, hanya terlihat di permukaannya saja, sebab kejadian-kejadian serupa sudah pasti lebih banyak dari yang kita saksikan saat ini.

Bagi kita, kejadian ini sudah pasti merupakan peristiwa menyedihkan, dalam video yang direkam oleh kamera ponsel dan diunggah ke berbagai medsos dengan durasi hampir dua menitan tersebut menjadi satu alasan betapa suramnya dunia pendidikan di negara ini.

Memang tidak adil jika kita memukul rata dan men-generalisasi semua lembaga pendidikan melakukan tindakan kekerasan. Hanya saja, ini merupakan potret, seperti inilah pendidikan di negara ini, sebab yang terwacanakan oleh masyarakat dunia adalah tentang “ apa yang mereka lihat” dalam skala yang lebih kecil. Pars pro toto, sebagian akan mewakili seluruhnya.

Mengapa muncul kesangaran, sadisme, dan brutalisme dalam dunia pendidikan kita, lebih mengerikan dilakukan di lingkungan sekolah. Bukankah sekolah merupakan lembaga suci yang seharusnya menelurkan bibit-bibit unggul? Seperti harapan Aristoteles, sekolah/academia harus menghasilkan manusia-manusia berbudi luhur dan bermartabat tinggi. Bukankan pendidikan – menurut Syed Naquib Al-Attas – memiliki tujuan memanusiakan manusia?

Tentu ada banyak faktor pemicu, mengapa kekerasan dan sadisme sering mewarnai pendidikan kita, mulai dari aksi tawuran, pemukulan saat MOPD, hingga kekerasan dalam bentuk penganiayaan oleh para siswa terhadap temannya.

Faktor pemicu munculnya kekerasan dalam dunia pendidikan yang dilakukan oleh para peserta didik dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat. Sikap imitatif anak-anak terhadap apa yang mereka lihat biasanya lebih besar dari orang dewasa. Adegan kekerasan dalam permainan/games, film, dan apa yang mereka tonton bisa memengaruhi alam bawah sadar mereka.

Hal lain, sikap liar anak-anak biasanya muncul disebabkan oleh depresi, tegang, dan tertekan. Pendidikan di negara ini –bagi Saya sebagai seorang guru- masih menerapkan sistem mengetahui sedikit yang banyak. Muatan ajar terhadap anak begitu memberatkan. 

Bisa kita bayangkan, untuk anak kelas satu sekolah dasar saja, pendekatan tematik telah mengarahkan anak agar menguasai segala hal, di sekolah mereka diajari oleh guru agar mengetahui hal-hal yang sebenarnya tidak harus diketahui, ditambah dengan les tambahan, masih belum cukup, mereka pun diberi pekerjaan rumah. 

Pendidikan macam apa ini? Bukannya memberikan kenyamanan kepada anak, malah memperkosa dan menelanjangi anak dengan merenggut waktu dan kesempatan anak untuk bermain dengan lingkungan sekitar.

Menyalahkan sepenuhnya sekolah pun sangat tidak adil, kondisi seperti ini juga tidak lepas dari peran orangtua siswa. Banyak orangtua siswa yang kehilangan akal sehat, mereka menginginkan agar anaknya menjadi manusia serba bisa, superman, dan jago dalam segala hal. 

Mereka telah banyak menuntut anak agar menjadi apa yang mereka inginkan. Sejak usia dini, anak-anak telah dijejali oleh pelajaran-pelajaran pembuat ‘depresi’. Padahal, sangat tidak pantas, anak-anak TK dan PAUD dipaksa harus bisa membaca, menulis, dan berhitung, kemudian diberi pekerjaan rumah. Lebih mengerikan, saat anak-anak mereka belajar, para orangtua/ibu biasanya mengobrol kesana-kemari dengan teman-temannya sambil menunggu anak mereka pulang.

Saya sering membandingkan, di tahun 80-an, jarang sekali para orangtua yang mengantar anak ke sekolah, kemudian menunggu di sekolah sambil “ngegosip”. Berbeda dengan tahun 2000-an, sejak dibukanya celah pendidikan nonformal TK dan PAUD, tiba-tiba banyak ibu-ibu yang bersekolah kembali. 

Beberapa teman yang berprofesi sebagai tutor di PAUD saja sering berseloroh, bukan anak-anaknya yang bersekolah tapi ibu-ibunya. Kebiasaan ini tetap dilakukan oleh para orangtua hingga anak mereka masuk SD. Dan mereka pun menuntut agar anak-anak menuntut ilmu di SD yang diinginkan oleh mereka juga dengan alasan ‘sekolah favorite’ meskipun jarak sekolah dengan tempat tinggal sangat jauh, mengapa tidak menyekolahkan anak ke sekolah yang jaraknya lebih dekat dari rumah saja? Sudah tidak sehat lagi kah akal para orangtua di jaman ini?

Hal lain yang memunculkan kekerasan dalam diri anak adalah bagaimana peran para guru di sekolah. Entah karena alasan manusiawi atau alasan ‘merasa tidak pernah cukup’. Tak sedikit para guru di negara ini lebih banyak mengeluhkan persoalan-persoalan materi. 

Dalam berbagai kesempatan, jika ada pertemuan dengan para guru, banyak di antara mereka membincangkan ‘gajian, uang sertifikasi, uang fungsional, dan tetek – bengek persoalan materi belaka. Ya, tidak jauh berbeda dengan para pegawai yang sering membicarakan gaji ke-tiga belas dalam berbagai kesempatan.

Jelas, hal  di atas bukan tidak dibolehkan, namun persoalan didik-mendidik itu bukan persoalan perut belaka, bukankah guru di masa lalu juga menerima gaji kecil tapi mampu menghasilkan Habibie dan cendikiwan lainnya? 

Persoalan-persoalan materi ini lah yang telah menggerus ruhani pendidikan di negara ini. Sebab, kekerasan, sadisme, dan kebrutalan yang dilakukan oleh anak-anak salah satunya diakibatkan oleh telah tercerabutnya nilai-nilai spiritualitas dan ruhani dalam kehidupan. (*)

Posting Komentar untuk "Kekerasan Anak-Anak Sekolah Dasar"