Pelajaran Dari Pilpres



Banyak pelajaran yang bisa diambil dalam penyelenggaraan Pilpres 2014 lalu. Semakin sedikit jumlah kandidat, maka semakin besar “ benturan” yang terjadi, semakin banyak juga wacana dan perdebatan yang muncul dikeluarkan oleh dua kubu, menyerang dan melakukan counter attack. Babak drama baru namun merupakan stock lama, karena dinamika politik di belahan dunia manapun hampir sama. Masing-masing kelompok memosisikan diri sebagai malaikat suci berjubah putih-putih, selanjutnya memosisikan kubu lawan sebagai setan atau iblis yang harus dimusnahkan dari muka bumi. Politik terlihat menjadi lebih sangar dan menakutkan bagi siapa pun yang berpikir jernih.

Berbeda dengan tampilan politik pada penyelenggaraan pilpres tahun 2009, tidak terlalu kasar karena kandidat calon presiden dan wakil presiden lebih dari dua pasangan. Saling serang memang ada, namun salah satu kandidat mampu menata diri dan memolesnya menjadi seperti “ calon pasangan yang teraniaya’, didzolimi, mengundang empati dari massa pemilih. Psikologi rakyat digiring bukan pada sebuah clash atau benturan, kecuali digiring pada kutub “harus ada yang dibela”. Pasangan SBY – Boediono memang dicerca pada sisi “keagamaan”, wacana yang dihembuskan oleh media-media “sangkuriang” menyoroti ; agama Boediono dan Istrinya.

Namun, masyarakat kadung mengedepankan empati daripada harus percaya kepada wacana yang mengedepankan sentimen keagamaan. Ini menjadi salah satu faktor kemenangan pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009.

Sebelum memasuki babak baru demokrasi. Pada tahun 2012-2013, pemilihan kepala daerah menjadi masa transisi muncul wacana baru dalam hal sukses kepemimpinan. Kemenangan Jokowi-Ahok pada pilgub DKI Jakarta menjadi barometer bagi kandidat-kandidat lain yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur atau walikota/Bupati. Politik Pencitraan, brand image, mulai menjadi wabah baru. Kebaikan-kebaikan baik dalam bingkai nasionalisme, merakyat, dan sederhana tercetak pada halaman depan setiap koran, tersaji dalam tayangan televisi. Rakyat sudah tidak bingung lalu untuk menemukan siapa sosok paling suci dan baik hati di negara ini, siapa orang yang paling membela rakyat dan paling memiliki jiwa nasionalis di negeri ini, tinggal membaca koran atau menonton televisi, disanalah terpampang sosok-sosok itu. Nasionalisme tercetak dan tercecer dimana-mana.

Munculnya pencitraan dari setiap orang ,kubu, dan kelompok menimbulkan tafsir lain dari lawan politik. Tafsir lain ini diikuti oleh simpatisan dan kader dari setiap partai atau kubu. Kebaikan yang dilakukan oleh siapapun dan oleh kelompok mana pun menjadi bias, samar, topeng, tudingan kemunafikan dan kepura-puraan. Keikhlasan memang bukan untuk dipamerkan, sebab keikhasan dalam berbuat kebaikan bukan barang dagangan yang bisa dipajang pada etalase. Namun, kebaikan dengan dasar keikhlasan pun menjadi harus dipertanyakan lagi dengan penuh curiga ketika disimpan pada landasan politik yang belum matang.

Menjelang Pilpres 2009, wabah akibat dari pencitraan yang dilakukan bukan pada saat yang tepat terlihat begitu kental. Tidak hanya disebabkan calon pasangan presiden dan wakil presiden hanya ada dua, juga diakibatkan oleh kegatalan pemilik media massa yang hanya mengejar rating jumlah penonton. Media yang terlibat dalam dukung-mendukung calon masuk ke dalam perang jenis baru. Perang mencitrakan yang dijagokan. Di media A sosok Jokowi dan Jusuf Kalla digambarkan sebagai malaikat dan dewa namun di media B Prabowo dan Hatta lah pasangan malaikat suci dan dewa dari kayangan itu.

Sentimen keagaman kembali dilontarkan oleh salah satu kubu. Akal sehat sudah ditempatkan di tepi jurang curam. Ideologi-ideologi ; komunisme dan fasisme bermunculan tanpa harus diketahui oleh rakyat apa sebeulnya ke-dua ideologi itu. Komunisme dan fasisme yang diketahui oleh rakyat adalah dua ideologi najis, kotor, dan sampah. Pasangan Jokowi-JK disematkan pada ideologi komunis , sementara pada saat Ahmad Dani memakai seragam Himmler, tudingan fasisme dialamatkan kepada pasangan Prabowo-Hatta. Ya, benar.. masing-masing kubu menolak mentah-mentah tudingan tersebut.

Ada juga pengibaratan lain terhadap pilpres 2014 lalu, pilpres diidentikkan dengan perang tanding, perang suci/holly war. Penganalogian pilpres terhadap “perang suci” ini membawa dampak baru, secara malu-malu juga terbuka para pembenci demokrasi dengan lantang mengumandangkan pendapat: “akan menggunakan hak pilih pada pilpres 2014, karena agama sedang dipertaruhkan!”. Sudah sedemikian rapuh kah idealisme? Ya, bagi demokrasi ini merupakan kebaikan tersendiri, dengan alasan, dia dicaci dan dibenci namun dengan malu-malu dicicipi juga. Demokrasi telah naik derajatnya karena pendirian plin-plan, dari haram menjadi subhat, atau menghalalkan yang telah diharamkan? Oh, ada dalil dan kaidah pokok; karena terdesak segala sesuatu yang haram bisa menjadi halal. Atau menggunakan dalil dalam kaidah ushul fiqh “menghindari kerusakan yang lebih parah lebih baik daripada mengambil kebaikan yang sedikit’. Hanya sebatas pada permainan logika saja.

Betapa, bagi Saya sendiri, pilpres 2014 telah banyak memberikan pelajaran; pertama, permainan para elit yang tercetak dengan rapi dalam media-media massa memang memengaruhi psikologi rakyat, massa mengambang masih menunjukkan angka signifikan meskipun bersifat laten. Kedua, para elit agama atau agamawan sudah waktunya menghentikan membuat fatwa-fatwa yang tidak jelas sumber hukum, berijtihad mengambang, karena menurut Ibnu Rusyd, melemparkan persoalan yang memerlukan renungan jernih ke khalayak/ummat hanya akan menimbulkan banyak tafsir dan semakin meruncingkan perbedaan, agamawan memang memiliki hak berpolitik, namun bukan terjebak ke dalam politik praktis. Ketiga, baik dan buruknya politik praktis tidak ditentukan oleh politik itu sendiri, kecuali ditentukan oleh para politisi. Keempat, sentimen keagamaan yang tetap diwacanakan dalam hal-hal ketidak abadian merupakan bentuk pelecehan terhadap Tuhan, siapa menghina orang lain dengan menggunakan pendekatan agama, maka agama kita pun akan dilecehkan oleh orang lain.

Semoga bermanfaat.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Pelajaran Dari Pilpres"