Lembur dan Pasar

Sumber Photo: Disperindag Jabar
Dalam Bahasa Indonesia kita mengenal kata lembur memiliki arti; pekerjaan dinas yang dikerjakan di luar jam (waktu) dinas. Pada makna lain, kata ini memiliki arti sebuah kampung yang memiliki kesatuan ikatan. Dua kata yang memiliki tulisan dan pelafalan sama disebut homonim.

Dalam tradisi Sunda, lembur merupakan “ kampung padumukan, banjar karang pamidangan.” Tonnies menyebut, kondisi ini memiliki arti tetap, menetap, dibatasi oleh pagar yang jelas, jauh dari keganjilan. Mentalitas penduduk – lembur tercermin dari stagnasi sikap, jam kehidupan mereka telah tertata dan teratur. Seperti dalam tradisi kasundaan dikenal adanya ‘wanci’, penetapan dan penyebutan waktu berdasar pada kebiasaan manusia dan alam.

Orang lembur atau orang kampung biasanya lebih lama menetap sebagai pribumi daripada menjadi seorang pengembara. Dalam tataran realistik hal ini tercermin dari kebiasaan orang lembur, pergi kemudian datang lagi. Kebiasaan ini bertolak belakang dengan pernyataan para sosiolog – anthropolog yang menyebut; manusia jaman dulu memiliki kebiasaan nomaden. Padahal, lingkup masyarakat komunal adalah cermin dari kebersamaan yang senang menetap tanpa pengembaraan.

Untuk hal tersebut, setiap mengajar di sekolah, Saya selalu membuat prolog yang hampir sama, bahwa buku-buku yang akan dipelajari terutama buku-buku sosial, teori-teori di dalamnya bukan jawaban pasti dan mutlak, ini adalah kumpulan hipotesa, jawaban sementara, kadang menerka-nerka. Meskipun di dalamnya terdapat kebenaran namun bersifat nisbi.

Pola pikir Saya, bisa jadi dipengaruhi oleh sebuah kejumudan yang tak kasat mata. Artinya, terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam hidup ini pada dasarnya merupakan sebuah kejumudan yang tetap, tertata, dan itu-itu juga. Ada pagar yang jelas. Sementara, lahirnya perbedaan penafsiran dalam hidup hanya terjadi saat badai datang, membuncahkan air laut menjadi riak besar sampai menjadi sebuah gelombang. Sangat relatif.

Ini mirip dengan mentalitas orang lembur. Melakukan aktifitas itu-itu lagi, dalam masyarakat tradisional ini merupakan sebuah ketertiban yang kuat. Namun bagi masyarakat yang menganggap dirinya sebagai masyarakat modern, hal ini merupakan sebuah fanatisme sempit, tidak terbuka, dan jumud. Modernisasi menuntut adanya pendobrakan terhadap batas-batas yang ada, sebab modernisasi lahir dari pengembaraan manusia baik akal atau pun fisik. Tapi pada sisi lain, modernisasi terlalu merangsek lebih jauh hingga mencapai hal-hal ganjil dan diluar akal sehat manusia itu sendiri.

Lantas kenapa, mentalitas orang lembur sering bersifat tetap, konstan, dan mengandalkan paguyuban, seperti kata Tonnies. Hal ini dipengaruhi oleh dua hal; pertama, mereka sudah sangat percaya dan yakin terhadap kebenaran ajaran yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Kedua, terlalu mencurigai terhadap hal-hal baru, skeptik, dan lebih rasional dari yang kita sangkakan sebagai kumpulan orang ortodoks. Kenapa lebih rasional; karena orang lembur sudah memastikan jauh sebelumnya bahwa hidup harus memiliki batas yang jelas, batas ini ditetapkan agar manusia tidak melakukan tindakan ganjil dan tabu.

Jika melihat sejarah, peradaban manusia telah dirusak oleh sekelompok orang yang ingin keluar dari batas. Para ekspansionis lahir karena hasrat, antusias untuk mendobrak tapal batas yang telah ditetapkan. Ekspansi, entah melalui kekuasaan bahkan dengan agama. Sementara, para penganut pencerahan saat dunia meninggalkan lembah gelap lebih percaya, ketertiban akan tercapai jika dunia dan kehidupan manusia diberi patok dan batas yang jelas. Nilai dan norma yang dianut oleh sebuah bangsa harus tetap dipertahankan jangan sampai keluar dari batas yang telah ditetapkan.

Maka, tempo hari Saya berkata kepada beberapa teman di kampung; sebuah lembur akan tertib jika adat dan norma yang telah diwariskan oleh leluhur kita tetap ditegakkan. Jika tidak, kita malah menyepelekan adat kebiasaan yang telah dibuat oleh para leluhur, maka ketertiban tidak akan tercapai meskipun berbagai macam ajaran, undang-undang, konstitusi, dan aturan-aturan dalam agama dipaksakan untuk dipakai. Sebab, dengan hilangnya adat dan kebiasaan, akan tercipta batas-batas baru yang lebih heterogen, perpecahan, persaingan, hingga saling memperebutkan batas.

Namun, sudahlah… sebab saat ini kita memang telah kehilangan batas. Bukan hanya tradisi, adat, norma, dan kebiasaan orang lembur saja yang telah hilang. Sampai batas-batas dan patok tanah kita pun telah bisa dibeli. Sebab manusia modern lebih percaya pada satu hal; tempat dan milieu kompleks bernama ‘pasar’, saat orang lembur merasa yakin bahwa tempat dan milieu yang sebenarnya adalah ‘gubuk’ atau ‘rumah’.

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Lembur dan Pasar"