Pegawai Baik

Sumber Photo: agsfood.net
Entahlah, dalam batok kepala ini selalu hinggap pikiran tentang ketidak percayaan kepada pemerintah. Padahal sudah hampir empat puluh tahun, aku sendiri menerima gaji dari negara dan menjadi bagian dari tubuh pemerintah itu sendiri. Kata seorang teman, duduk di kursi pemerintahan, menerima gaji, tunjangan, dan tetek-bengek lainnya hinggap kepada hal remeh-temeh seperti mengisi sepeda motor dengan uang tunjangan, jangan menjadi manusia idealis. Lanjut dia, aku tidak pantas idealis, lebih cocok menjadi seorang munafik. Ya.. ya.. munafik memang, membenci kepada hal yang telah membesarkan diri sendiri. Ada alasan, aku bekerja, bukan hanya membaca Koran, main catur, gaple, dan ini itu yang tidak ada dalam deskripsi pekerjaan.

“ Tapi, sesekali kamu suka main catur di Kantor, datang ke kantor jam sebelas, kemudian pulang lebih awal, benar khan. Itulah….!” Desak temanku itu.

“ Iya, tapi dalam batok kepalaku, yang hinggap saat ini adalah kekurang ajaran pemerintah kepada yang diperintahnya sendiri. Iitu, di berita tempo hari, aku menyaksikan, polisi kok seenaknya memukul-mukul mahasiswa, lantas.. siapa yang harus dilindungi oleh polisi-polisi itu, Bung? Siapa yang akan melindungi masyarakat kita jika polisi main kasar seperti itu, Bung?”

“ Ya, khan tugas polisi seperti itu. Polisi itu kan policy, penjaga kebijakan, menertibkan. Bersikap kasar dank eras itu konon untuk menertibkan supaya Negara ini kondusif. !”

“ Masa iya, dengan kekerasan akan menimbulkan ketertiban, yang ada adalah rasa takut, masyarakat tertib itu bukan karena mereka mau tertib kecuali takut. !” Kataku tidak mau kalah.

“ Kamu sebaiknya temui seorang Kyai di kampung Cibodas. Bernama Abdullah, temui dia, siapa tahu bisa mengobati sakit jiwamu, benci dan sering melakukan kritik kepada induk semangmu itu!” Ledeknya. “ Kamu akan diberi penjelasan tentang perjalanan kehidupan di dunia ini. Temui Kyai Abdullah!”

###

Satir dan sindiran temanku tentang pegawai yang sering malas-malasan, datang ke kantor hanya baca Koran, main catur, dan kartu domino itu menampar diriku. Entahlah, aku menjadi berusaha sepagi mungkin datang ke kantor, langsung menyalakan komputer, mengolah data-data, dan melanjutkan pekerjaanku. Kebiasaan jelekku adalah selalu menyelesaikan pekerjaan bukan tepat waktu, tapi menyelesaikannya sebelum tenggat waktu, pekerjaan yang seharusnya dikerjakan satu bulan, bisa aku kerjakan satu minggu saja, sisanya selama tiga minggu aku isi dengan banyak membaca dan menulis. Ke kantor pun aku selalu membaca dua sampai tiga buku.

Saran temanku aku turuti, pulang dari kantor sekitar pukul empat sore aku langsung memburu ke kampong Cibodas. Sialan, jalan rusak parah, sehabis hujan lobang-lobang menganga di badan jalan dipenuhi oleh genangan air membentuk kolam-kolam kecil. Aku melintasi kolam-kolam di badan jalan itu seperti seorang petualang, sepeda motor dibelok sana-sini. Ini aneh bagiku, jalan-jalan yang ada seharusnya bagus seperti di Eropa, Negara ini kaya dengan aspal, pasir, batu, tapi jalan yang disiapkan oleh pemerintah hampir tidak jauh berbeda dengan jalan-jalan yang ada di Negara-negara Afrika.

Seorang anak mengantarku ke rumah Kyai Abdullah. Memasuki gang sempit, tembok-tembok rumah kusam, kondisi gang sendiri telah ditembok namun hampir mendekati tidak layak disebut gang. Bau pesing, para pemuda yang biasa begadang dipastikan suka buang air kecil di gang itu. Rumah-rumah rapat, di teras beberapa rumah kulihat para ibu dan kakek-nenek sedang mengobrol. Tepat di depan rumah bercat ungu Si anak menunjuk rumah Kyai Abdullah. Rumah dengan arsitektur khas Sunda, panggung “Tagog Anjing”. Halamannya dipenuhi oleh pepohonan besar dan kecil. Ada melinjo, pala, dan nangka besar.

Dari balik pintu rumah panggung keluar seorang lelaki tua. Benar pikiranku, Kyai Abdullah kira-kira umurnya sudah 80 tahunan. Matanya tajam menatapku, senyumnya memberi isyarat mempersilahkan aku masuk ke rumah panggung itu. Di ruang tamu tidak ada meja kursi hanya ada hamparan tipar, persis dengan kakekku, kyai Abdullah menempatkan kursi dan meja di ruang keluarga. Lemari dari kayu jati berdiri dingin di ruang tamu, ukuran ruang tamu sendiri lumayan lebar. Aku bisa menebak, siapa pun akan kerasan berlama-lama diam di ruang tamu ini, sampai tertidur pun bisa.

Aku menceritakan kepada kyai itu, kedatanganku ke rumahnya atas saran seorang teman. Kuceritakan juga maksud kedatanganku, bukan untuk menanyakan persoalan pekerjaan, sebab pada jaman ini tidak sedikit orang –yang mengaku telah berpikiran maju – datang ke kyai meminta jampi agar lebih maju dalam pemenuhan duniawinya. Aku hanya menanyakan masalah – seperti kata temanku – sakit jiwaku; tentang kebencianku yang berlebihan kepada pemerintah saat ini. Kebencian yang hinggap di dalam batok kepala karena banyak alasan sudah tentu. Aku ceritakan juga kepadanya; sudah seharusnya rakyat di negeri ini hidup sejahtera, bukan hanya menerima BLT atau PSKS sebesar 400 ribu, bisa lebih dari itu, lima juta perbulan pun bisa. Pembangunan? Ah, kacau, infra struktur diperbaiki bulan ini, tiga sampai lima bulan kemudian sudah direhab lagi. Pinggir jalan – hampir setiap empat bulan sekali – dipenuhi oleh galian-galian tanah.

Yang aku tanyakan kepada kyai Abdullah adalah, jenis manusia munafikkah aku? Menerima uang dari negara tapi sering tajam mencaci. Lelaki tua itu mengusap wajah.

“ Wajar saja, bukan munafik, sebab manusia selalu ingin mengalami kehidupan yang lebih baik..!” Kata Kyai Abdullah. Songkok hitam di kepalanya diluruskan. “ Tapi , setiap manusia dituntut untuk bersikap baik, berkata jujur, dan memiliki niat yang baik juga.”

Kakekku sering menyampaikan pesan kepadaku, ayah dan kakekmu juga pasti sama membicarakan hal ini, manusia akan selamat hanya karena kebaikan yang dilakukannya. Aku sampaikan hal ini kepada Kyai Abdullah.

“ Betul, itu betul. Selamat dan menyelamatkan. Pada dasarnya, sikap manusia, pemerintah, presiden, atau siapa pun memiliki niat baik memajukan negara ini. Semua menginginkan negara ini selamat.”

Aku berada di rumah Kyai Abdullah hingga waktu mendekati magrib.

###

Telah aku pikir baik-baik, sebagai seorang Pegawai Negara, kewajibanku lebih banyak dari waktu yang tersedia, sepuluh tahun lagi aku akan pensiun. Terlalu banyak mengomel dan merecoki kebijakan-kebijakan pemerintah tidak akan menghasilkan apa pun. Intinya, aku harus menjadi pegawai negara yang baik. Kebiasaan buruk sebagai pegawai negara, masuk kantor siang dan pulang awal telah aku ganti, sudah aku ceritakan, sejak dua minggu lalu aku selalu menjadi pegawai yang datang paling awal dari pegawai-pegawai lainnya.

Tapi, terus terang, aku sangat kecewa dengan pemerintahan sekarang, saat ini pegawai negara dipolitasi dari berbagai sudut. Aku merasakan hal ini saat banyak ucapan: PNS itu hidupnya sudah sejahtera, menerima gaji tetap dari negara, coba bandingkan dengan rakyat kecil. Maka sangat wajar jika PNS dituntut untuk hidup sederhana. Jangan melakukan kegiatan atau acara di hotel-hotel mewah, duduklah bersila di lesehan, makanan yang dikonsumsi harus alakadarnya, misalkan singkong rebus, getuk, atau makanan-makann tradisional lain. Politisasi itu berbanding terbalik dengan kebijakan yang mereka lakukan, sehari lalu, impor singkong dari luar negeri mencapai 32 milyar. Sialan, apakah tanah di negara ini kurang subur dan tidak bisa ditanami lagi singkong apa?

Aku hanya seorang staf di kantorku, tidak sebagai apa-apa, namaku, jika kalian membacanya, hanya tertera di urutan ke sekian dalam daftar pegawai. Sangat dangkal sekali, jika pemerintah sekarang ingin mempolitisasi dengan mengatakan, PNS hidupnya telah sejahtera maka harus sederhana sementara mereka sendiri sulit untuk membuktikan kesederhanaan itu seperti apa dan bagaimana? Apakah di istana negara dan di gedung DPR mereka telah menjadikan singkong rebus sebagai makanan keseharian mereka? Saat makan singkong rebus pun sudah bisa dipastikan harus ada media dan wartawan yang meliputnya. Padahal sebagai PNS pun, mulutku sudah biasa bergaul dengan singkong rebus, jagung rebus, getuk, juga combro.

Teman-teman sekantor pun banyak yang mengomel terhadap politisasi tersebut. Sebagai bentuk sindiran kepada induk semangnya, setiap hari Jum’at, pimpinan di kantor tempat aku bekerja menginstrusikan agar setiap pegawai membawa singkong rebus atau goreng. Benarlah, kami melakukan hal itu, entah bodoh atau tidak, kami makan singkong dan makanan-makanan tradisional lainnya di ruang pertemuan, diphoto, lalu diupload ke media sosial oleh seorang teman. Esok harinya, surat kabar lokal memberitakan: Pimpinan dan Staf di Kantor P.U Ramai-Ramai Makan Singkong Rebus. Tentu saja kami tertawa membaca berita itu, melihat photo kami ada di halaman depan sebuah media lokal.

Pimpinan di kantorku tersenyum, dia membawa kira-kira 50 eksemplar koran yang memuat berita itu. Katanya, akan dibagikan ke setiap kelurahan di kotaku. Malahan, temanku sengaja menyelipkan koran itu ke pingganggnya, katanya akan diperlihatkannya koran itu kepada anak istrinya bahwa dia telah masuk koran. Bukan hal aneh padahal, namuan karena kami ini jarang masuk koran dan diberitakan maka ketika masuk koran, seolah telah menjadi selebritis.

Terhadap pemberitaan “makan singkong rebus “ itu aku sendiri bersikap wajar-wajar saja. Aku lebih fokus pada judul berita di bawah berita “ makan singkong rebus”, koran lokal menuliskan dengan huruf kapital: WARGA MENGELUHKAN: PERBAIKAN JALAN DI SUKABUMI MENGAKIBATKAN KEMACETAN TOTAL HINGGA DELAPAN JAM. Sambil menarik nafas panjang,mataku kembali fokus ke monitor komputer, kuketik secara cepat sebuah judul proyek: RENCANA AKHIR RENOVASI JALAN PROVINSI DI KOTA SUKABUMI. (*)

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "Pegawai Baik"