Dua hari lalu, seorang teman mengajak Saya ke Jogyakarta. Dalam bahasa sederhana bisa disimpulkan, Saya akan berada di Kota Gudeg itu pada saat perayaan tahun baru 2015. Betul juga, anggapan semua teman di berbagai media sosial menyebut bahkan menyudutkan Saya: Akan merayakan tahun baru di Jogya, wah hebat..
Demi tafsiran yang kurang tepat itu saya tepis. Pertama, Saya sama sekali tidak merayakan tahun baru. Sebab, terlalu naïf bagi Saya merayakan sebuah perhelatan yang masih melukiskan kenisbian. Berbicara soal waktu, tahun, dan apa pun yang masih menjadi bahan perdebatan merupakan sebuah kenisbian. Jadi ikuti saja secara wajar, tidak perlu dilebih-lebihkan.
Kedua, Saya hanya diajak oleh seorang teman mengunjungi Prambanan. Karena bertepatan dengan liburan sekolah , Natal, dan Tahun baru, kompleks Candi Hindu terbesar di Indonesia itu dipadati oleh pengunjung. Sebagian besar dari mereka hanya melakukan photo-photo, itu wajar, karena teknologi telah menyulap dan memfasilitasi agar setiap gerak-gerik kita sesegera mungkin diberitakan, diinformasikan, dan diketahui oleh teman serta kerabat. Sebagian kecil pengunjung mengamati dengan serius relief dan arsitektur candi Prambanan.
Saya mengernyitkan kening, bahkan berbisik kepada teman; “ ini maha karya agung”, sesuai nama tempat dimana candi itu berada; Prambanan (Para Brahman), Brahma yang agung. Terlepas dari keyakinan yang Saya anut (Islam), Saya tidak menafikan, betapa hebat Wangsa Sanjaya yang telah membangun Candi Hindu di Nusantara. Di bangun pada abad ke-9, satu hal yang sulit ditandingi oleh orang-orang di abad sekarang. Menyusun dan menumpuk bebatuan, hingga menjelma menjadi sebuah bangunan.
Saya berkata kepada teman; Demi Tuhan, orang-orang yang membangun candi ini merupakan manusia-manusia hebat dalam berbagai bidang keilmuan, arsitektur, geometri, hingga linguistik. Bagaimana tidak, Candi Siwagrha (Rumah Dewa Syiwa) *) ini berbentuk ramping namun indah. Konon, pembangunan candi itu sendiri dilatar belakangi oleh persaingan keagamaan antara Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Pesan dari persaingan itu begitu kuat; Jika merasa tersaingi bukan mengalah atau iri melainkan ikuti!
Leluhur di Nusantara telah mengajari kepada kita, persaingan secara sehat akan menghasilkan kreasi besar; tidak dilandasi oleh sikap iri dan dengki, namun mereka aplikasikan dalam gerak hidup yang jelas. Persaingan Hindu dan Budha telah mewariskan dua bangunan maha canggih Prambanan dan Borobudur. Persaingan tersebut tidak melahirkan harus dihancurkannya bangunan yang didirikan oleh Wangsa Sanjaya juga sebaliknya oleh Wangsa Syailendra.
Prambanan sebagai Siwagrha memang syarat dengan Polytheisme, di sana terdapat patung-patung yang menggambarkan dewa-dewi dalam keyakinan Hindu. Namun, Saya tidak memandang hal ini sebelah mata, dengan memandang menggunakan kedua belah mata akan menghasilkan sudut pandang berimbang, leluhur nusantara telah mewarisi satu hal yang tidak pernah dihargai oleh anak cucunya; wariskan satu hal berharga agar bisa dilihat dan dinikmati oleh keturunan di masa depan. Saat kita, saat ini tetap terjebak dalam baku hantam politik namun tidak menghasilkan peradaban apa pun kecuali saling tikam dan membuat tandingan di berbagai segmen kehidupan.
Pesan-pesan yang terdapat pada relief Prambanan adalah kekomplekan dalam kehidupan memang telah ada sejak dahulu. Segalanya akan terselesaikan dengan sebuah sikap; ciptakan keharmonisan, seperti satwa-satwa yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Saya memandang patung lembu yang diapit oleh dua dewa; Surya dan Chandra, sang lembu duduk bersimpuh menghadap ke candi utama dimana patung Syiwa berdiri dengan dingin setinggi tiga meter. Dia diam dan membisu di dalam ruang gelap meskipun ribuan orang memotretnya saling bergantian.
Kang Warsa
*)Catatan: Terdapat perbedaan antara Graha dan Grha, Graha adalah sebutan untuk Dewa Chandra (Bulan), saat posisi matahari, bulan, dan bumi sejajar leluhur nusantara menyebutnya graha-na.
Grha memiliki arti rumah
Demi tafsiran yang kurang tepat itu saya tepis. Pertama, Saya sama sekali tidak merayakan tahun baru. Sebab, terlalu naïf bagi Saya merayakan sebuah perhelatan yang masih melukiskan kenisbian. Berbicara soal waktu, tahun, dan apa pun yang masih menjadi bahan perdebatan merupakan sebuah kenisbian. Jadi ikuti saja secara wajar, tidak perlu dilebih-lebihkan.
Kedua, Saya hanya diajak oleh seorang teman mengunjungi Prambanan. Karena bertepatan dengan liburan sekolah , Natal, dan Tahun baru, kompleks Candi Hindu terbesar di Indonesia itu dipadati oleh pengunjung. Sebagian besar dari mereka hanya melakukan photo-photo, itu wajar, karena teknologi telah menyulap dan memfasilitasi agar setiap gerak-gerik kita sesegera mungkin diberitakan, diinformasikan, dan diketahui oleh teman serta kerabat. Sebagian kecil pengunjung mengamati dengan serius relief dan arsitektur candi Prambanan.
Saya mengernyitkan kening, bahkan berbisik kepada teman; “ ini maha karya agung”, sesuai nama tempat dimana candi itu berada; Prambanan (Para Brahman), Brahma yang agung. Terlepas dari keyakinan yang Saya anut (Islam), Saya tidak menafikan, betapa hebat Wangsa Sanjaya yang telah membangun Candi Hindu di Nusantara. Di bangun pada abad ke-9, satu hal yang sulit ditandingi oleh orang-orang di abad sekarang. Menyusun dan menumpuk bebatuan, hingga menjelma menjadi sebuah bangunan.
Saya berkata kepada teman; Demi Tuhan, orang-orang yang membangun candi ini merupakan manusia-manusia hebat dalam berbagai bidang keilmuan, arsitektur, geometri, hingga linguistik. Bagaimana tidak, Candi Siwagrha (Rumah Dewa Syiwa) *) ini berbentuk ramping namun indah. Konon, pembangunan candi itu sendiri dilatar belakangi oleh persaingan keagamaan antara Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Pesan dari persaingan itu begitu kuat; Jika merasa tersaingi bukan mengalah atau iri melainkan ikuti!
Leluhur di Nusantara telah mengajari kepada kita, persaingan secara sehat akan menghasilkan kreasi besar; tidak dilandasi oleh sikap iri dan dengki, namun mereka aplikasikan dalam gerak hidup yang jelas. Persaingan Hindu dan Budha telah mewariskan dua bangunan maha canggih Prambanan dan Borobudur. Persaingan tersebut tidak melahirkan harus dihancurkannya bangunan yang didirikan oleh Wangsa Sanjaya juga sebaliknya oleh Wangsa Syailendra.
Prambanan sebagai Siwagrha memang syarat dengan Polytheisme, di sana terdapat patung-patung yang menggambarkan dewa-dewi dalam keyakinan Hindu. Namun, Saya tidak memandang hal ini sebelah mata, dengan memandang menggunakan kedua belah mata akan menghasilkan sudut pandang berimbang, leluhur nusantara telah mewarisi satu hal yang tidak pernah dihargai oleh anak cucunya; wariskan satu hal berharga agar bisa dilihat dan dinikmati oleh keturunan di masa depan. Saat kita, saat ini tetap terjebak dalam baku hantam politik namun tidak menghasilkan peradaban apa pun kecuali saling tikam dan membuat tandingan di berbagai segmen kehidupan.
Pesan-pesan yang terdapat pada relief Prambanan adalah kekomplekan dalam kehidupan memang telah ada sejak dahulu. Segalanya akan terselesaikan dengan sebuah sikap; ciptakan keharmonisan, seperti satwa-satwa yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Saya memandang patung lembu yang diapit oleh dua dewa; Surya dan Chandra, sang lembu duduk bersimpuh menghadap ke candi utama dimana patung Syiwa berdiri dengan dingin setinggi tiga meter. Dia diam dan membisu di dalam ruang gelap meskipun ribuan orang memotretnya saling bergantian.
Kang Warsa
*)Catatan: Terdapat perbedaan antara Graha dan Grha, Graha adalah sebutan untuk Dewa Chandra (Bulan), saat posisi matahari, bulan, dan bumi sejajar leluhur nusantara menyebutnya graha-na.
Grha memiliki arti rumah
Posting Komentar untuk "Para Brahman - Prambanan"