The East of Eden

Rekonquista dan pencarian sumber-sumber daya alam oleh Bangsa Eropa dengan semangat merkantilisme dilatar belakangi oleh serba kekurangan sumber-sumber daya alam di wilayah-wilayah Eropa. Pasca ditemukan mesin uap oleh James Watt di Inggris, sebagai penanda awal lahirnya revolusi industri mengharuskan bangsa Eropa memenuhi kebutuhan dasar industrialisasi baik logam, bahan bakar (batu bara dan kayu), serta rempah-rempah demi kelangsungan hidup bangsa Eropa ketika alam telah memasuki musim ekstrim. Ketersediaan sumber daya dukung kehidupan ini menjadi alasan, sumber-sumber ini harus dicari ke wilayah-wilayah lain. Kecuali dilatar belakangi oleh giatnya keyakinan yang dilembagakan, secara turun temurun sikap merkantil ini telah diwariskan oleh dua aliansi besar Eropa; Romawi dan Yunani.

Di pelataran bumi Tuhan , di salah satu sudut sempit planet bumi ini, segenggam mutiara surga telah ditaburkan oleh Tuhan di atas tanahnya. Sumber daya alam melimpah, mineral di mana pun bisa dijupai. Dalam bahasa Qur’an dan Bible serta tradisi-tradisi biblical hal ini diilustrasikan; sebagai sebuah tempat yang dipenuhi oleh rindang dan rimbunnya pepohonan, aliran air di sela-sela bebatuan, sungai-sungai yang mengalirkan berbagai macam air, kehidupan penghuninya ada dalam kedamaian, dan ilustrasi-ilustrasi kebaikan lainnya. Memararelkan wahyu dan tradisibiblical tersebut dapat ditarik satu simpulan sederhana, kondisi kehidupan seperti itu menunjukkan satu tempat, sebuah pencitraan kondisi surgawi, yaitu Tanah Nusantara. Ini tidak bisa disebut terlalu hiperbolik, jika wahyu Tuhan benar-benar diimplementasikan dan dipararelkan dengan kondisi kekinian (momento mori).

Pra revolusi industri, kebiajakan penguasa di wilayah-wilayah Eropa, entah itu dengan mengatasnamakan kekuasan atau lembaga keagamaan yang membonceng pada kekuasaan politik menitik beratkan pada tiga hal penting jika lembaga dan organisasi bernama Negara dan agama ingin tetap eksis. Penguasa dan lembaga kepausan mulai membicarakan gold, glory, dan gospel. Negara-negara seperti Spanyol dan Portugis waktu itu, merupakan Negara yang sepenuhnya menyokong lembaga kepausan. Penguasa ke-dua Negara tersebut mengibarkan ekspedisi ke belahan bumi Timur (Hindia), walaupun pada akhirnya, karena belum berkembangnya teknik navigasi yang lebih akurat, banyak penjelajah Eropa yang mendarat dan berlayar ke arah Barat. Karena dilembagakan, maka tiga misi penguasa dan lembaga kepausan ini (Gold, Glory, and Gospel) menjadi pemantik rekonquista awal bangsa-bangsa Eropa Selatan.

Sumber-sumber biblical (gospel) yang dipegang teguh oleh lembaga kepausan, walaupun secara teoritis membuang unsur-unsur sekuler namun dalam mengimplementasikan wahyu Tuhan, bangsa Eropa telah lebih dulu meyakini, surga pada dasarnya bukan hanya disiapkan oleh Tuhan untuk orang-orang saleh setelah kehidupan ini selesai, lebih dari itu, surga pun telah disiapkan oleh Tuhan dalam kehidupan ini. Keyakinan ini memuncak dalam sebuah konsklusi sekulerisme yang didukung secara teoritis oleh ayat-ayat dalam firman Tuhan. Seiring perkembangan jaman terjadi pemisahan kekuasaan, yaitu sekulerisme sebagai bentuk reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut, raja menganggap dirinya sebagai perpanjangan tangan dari Tuhan. Muncul kekuatan diluar sistem Negara yang dinamakan Trias Politica, yaitu: state, society and corporation.

Dua tujuan dari rekonquista oleh para conquistador tersebut; mencari sumber-sumber daya alam (gold) dan kemasyhuran sebuah bangsa (glory) sebagai tujuan pencapaian surga dunia, serta menyebarkan keyakinan yang telah dilembagakan atau diorganisasikan (gospel) sebagai upaya pencapaian surga di hari kemudian. Dua hal begitu berbeda, namun disatukan dalam satu misi suci. Dalam pandangan kaum Arianisme sebagai penganut monism awal, tentu saja hal ini bertentangan dengan misi kristus.

Surga dunia yang telah direfleksikan oleh Tuhan di dunia ini adalah kenyataan alam di Nusantara. Di awal era merkantilisme menjadi lahan rebutan bangsa-bangsa Eropa. Dan akar sejarah ini tidak hanya dilatar belakangi oleh semangat gold, glory, and gospel, juga dilatar belakangi semangat pencarian follower dan pengikut untuk mengisi ruang-ruang kosong sebuah lembaga yang telah diorganisasikan bernama kekuasaan Negara dan lembaga keagamaan.

Sebab, faktanya, semangat pencarian pengikut ini tidak bisa lepas dari perebutan kekuasaan atas nama Tuhan dan Agama. Jauh sebelum kekuasan dan imperium Islam menjatuhkan Bizantium dan Persia, Raja Konstantin telah melembagakan dan mengorganisasikan agama berada dalam tubuh kekuasaan/ politik. Hal ini diikuti oleh berdirinya kekhalifahan Islam pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Nilai-nilai spiritual dilembagakan dan diorganisasikan, bahkan hal yang sebelumnya tidak pernah diperdebatkan dalam sebuah keyakinan menjadi perdebatan sengit dan masuk ke ranah politik. Perang salib menjadi konsklusi awal pertemuan dua lembaga dan organisasi keagamaan. Hingga, semangat perang Salib (Kristen) dan perang Sabil(Islam), menjadi pemantik setiap gerakan dan perjalanan sejarah kekuasaan dua agama besar ini.

Di luar hal itu, masing-masing para penganut keyakinan tetap mengamalkan nilai-nilai spiritual bukan sebagai teori tanpa implementasi. Kaum sufi, para pendeta penganut monism, dan sebagian Rabbi Yahudi lebih memilih untuk tidak memasuki ranah kekuasaan dan keyakinan yang telah dilembagakan. Hanya karena, jumlah mereka sedikit karena tidak sekedar mengejar follower /pengikut (baca: pengekor), gema ajaran mereka -walaupun memancarkan kebaikan- kalah dari dominasi keyakinan yang telah dilembagakan.

Wilayah-wilayah di Nusantara sebagai citra The East of Eden (Surga dari Timur) ini menjadi medan tempur baru dari semangat perang salib dan perang sabil. Padahal, beberapa ratus tahun lalu, fakta sejarah tidak pernah mencatat adanya perang besar bangsa-bangsa asli di Nusantara. Perang besar terjadi justru setelah beberapa kerajaan telah melembagakan Islam sebagai keyakinan resmi kemudian menghadapi kaum aggressor yang dinyatakan kaum kafir. Kognisi perang salib dan perang sabil yang terjadi saat memperebutkan Yerussalem sebagai Kota Suci ini kini terjadi di Nusantara sebagai surga dunia (sebuah tempat yang dipenuhi oleh nilai-nilai surgawi). Makna Tuhan menjadi semakin meluas dan meluber. Penganut keyakinan yang satu menyebut Tuhan Kita berbeda dengan Tuhan Mereka, padahal ketika keluar keyakinan seperti itu maka kita telah meyakini ada Tuhan lain selain Tuhan yang kita sembah.

Imbasnya? Nusantara menjadi rebutan, sama halnya dengan kondisi Yerussalem sejak Tahun 1095 hingga sekarang. Bedanya, Yerussalem digadang-gadang sebagai tanah suci warisan para nabi (tradisi semitic), sementara Nusantara sebagai pancaran surgawi (Eden), tanah Parahyangan. Bisa dikatakan, konflik bangsa-bangsa semit (Yahudi dan Arab) telah ditularkan hingga ke wilayah-wilayah lain seperti Nusantara ini. Demi satu tujuan, dominasi oleh satu kelompok, entah mengatasnamakan lembaga kekuasaan atau lembaga keagamaan. Semua pihak mengakui hal sama, demi menegakkan nilai-nilai Tuhan di muka bumi! Saat Tuhan berfirman: ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (Q:S, Arruum:41). [ ]

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "The East of Eden"