Sekarang sedang musim "batu akik". Di lepau, kedai, toko, bahkan di rumah ibadah dibahasakan jenis dan harga batu akik. " Ini batu Kalimaya Banten, ini Kalimaya Brazil, harganya cukup mahal, pada kisaran 5-20jt." Kata seorang teman kepada Saya.
Untuk memastikan nilai jual batu tersebut, dipraktikkan sebuah pengujian. Batu disorot menggunakan lampu senter, efeknya berkilau berganti-ganti warna. Hijau, biru, merah, kuning, sebagai kulminasi dari spektrum cahaya. " Betulkan, indah?" Jadi, sebenarnya yang dijual oleh para pemilik batu akik tersebut adalah keindahannya baik saat disematkan pada jemari juga saat diuji coba.
Ada dua makna terisrat dari simbol dalam gempita maraknya batu akik. Pertama, batu merupakan benda keras namun disukai oleh orang. Artinya, watak, sikap, keyakinan, dan tekad manusia harus keras, kadang -dalam Bahasa Sunda disebut - merekedeweng, ketika memperjuangkan kebaikan. Hal tersebut akan melahirkan rasa suka dari orang lain kepada pelakunya.
Kedua, zaman batu -bukan makna sebenarnya -, zaman ketika manusia menggunakan dan memanfaatkan batu sebagai alat dan perkakas yang bisa menunjang kehidupan mereka karena belum ditemukan teknologi canggih. Zaman barbar, segala persoalan diselesaikan dengan cara sederhana, membuat tandingan, saingan, pertikaian. Peristiwa Kabil (Cain) membunuh habil pun terjadi pada akhir jaman neolitikum. Batulah yang telah menyukseskan Kabil mengeksekusi adiknya.
Dalam sejarah manusia, pada pelajaran IPS yang diajarkan di sekolah diceritakan pembagian zaman pra-sejarah manusia berdasarkan penggunaan batu-batu. Dari Paleolitikum hingga Neolitikum. Ukuran zaman didasarkan pada tingkat kehalusan dan bentuk batu yang diproduksi oleh manusia. Tentu saja pengukuran zaman berdasarkan hal ini membawa dampak pada: Apakah sudah ada manusia sebelum Adam turun ke bumi? Sebab zaman paleolitikum saja terjadi pada 10.000 tahun SM, sedangkan Adam sebagai manusia modern (homo sapiens) diturunkan ke Bumi pada sekitar 6.000 SM, berdasarkan Epik Gilgames dalam merunutkan keturunan Adam hingga Jesus.
Biarlah, hal itu bukan ranah bahasan Saya kali ini. Yang jelas, persoalan musim-musiman di negara ini selalu terjadi dengan interval waktu selama lima tahun atau bahkan beberapa bulan saja. Dari musim ramainya dibicarakan bunga Gelombang Cinta, Ikan Koi, Burung, dan sekarang Batu Akik hanya memerlukan waktu 10 tahun saja.
Fakta sebenarnya yang seharusnya dipikirkan oleh pemerintah dan warga negara tidak sekadar batu akik. Di selatan Sukabumi batu-batu kecil bernama pasir besi telah dikeruk oleh negara lain. Itulah batu-batu yang sebetulnya lebih real mampu menghasilkan uang jika warga negara ini mampu mengolahnya.
Namun, entahlah, kita lebih sering disibukkan oleh hal remeh temeh, mencari sesuatu yang belum pasti. Sebagai contoh lain: beberapa tahun lalu ramai dibahas harta karun Bung Karno, orang sibuk mencari emas batangan kerugian dari pencarian tersebut bisa lebih besar dari emas palsu yang ditarik, sebab emas-emas batangan tersebut faktanya adalah logam kuningan sari.
Sebenarnya, fakta yang sedang terjadi adalah: berton-ton logam mulia, emas murni negara ini telah dan sedang dikeruk oleh negara lain. Tidak perlu kita mencari harta karun Bung Karno sebab harta karun negara ini terletak di Freeport, Newmount, Ciemas, dan di daerah-daerah lain. Saya sering mendengar, kakek dan nenek Saya di taun 80-an sering berkata: urang mah ulah neangan jurig anu henteu kadeuleu. Artinya fakta-fakta sumber daya alam sering kita abaikan sementara kita sering sibuk dengan hal-hal kecil. Tapi biarlah, karena pada dasarnya pecinta dan penjual batu akik pun melakukan hal itu demi melaksanakan kewajibannya: mencari nafkah untuk keluarga.
Kang Warsa
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10
Posting Komentar untuk "Zaman Batu"