Kehidupan Jalanan

Jumlah Populasi manusia pada tahun 2015 telah mencapai 7.21 milyar, data terakhir menunjukkan setengah dari jumlah polupasi manusia tersebut tinggal di Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Tentu saja, dengan jumlah populasi manusia hampir mencapai 3,6 milyar ini merupakan potensi bagi negara-negara di kawasan tersebut. Sayang sekali, jumlah potensial penduduk tersebut masih belum seimbang dengan penguasaan teknologi dan informasi, - kecuali China, Jepang, dan Korea - India sedang dalam proses penjajakan. Sementara itu , negara-negara lain termasuk Indonesia masih berada pada kisaran angka 7.6 dalam HDI (Human Development Index).

Mayoritas manusia di tiga kawasan tersebut masih merupakan user bukan developer apalagi sebagai maker kemajuan teknologi dan informasi. Akibat nyata dari kondisi ini adalah; sebanyak hampir 1.2 milyar orang menempati posisi sebagai pembeli dan pengguna hasil teknologi yang dibuat oleh negara-negara maju, baik berupa barang atau aplikasi.

Menjadi sebuah keniscayaan, setengah dari jumlah populasi di Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara telah terkoneksi dengan jaringan internet. Jika digambarkan, koneksi antara para pengguna internet tersebut seperti kurva-kurva acak, berbelit, dan bertitik temu pada hampir setiap garisnya hingga membentuk pola benang kusut. Jika saja jaringan nirkabel tersebut dimanifestasikan, udara di sekeliling manusia tidak jauh berbeda dengan jaring-jaring penangkap ikan yang mengikat manusia dari berbagai sudut.

Kemajuan bukan hanya telah menyesaki lalu lintas udara, teknologi pun telah menyesaki ruang-ruang nyata dalam kehidupan ini. Kita akan tercengang saat melihat orang-orang di sekeliling kita telah kehilangan selera bersosialisasi dalam dunia nyata. Dari satu sudut ke sudut lain yang kita lihat seperti sekumpulan robot, dikendalikan oleh satu kekuatan besar. Ruang luas pun akan terasa sesak karena sikap sosial telah berubah menjadi anti sosial. Wajah-wajah yang kita temui teramat serius memerhatikan gadget yang mereka pegang, cemberut, senyum nyinyir, kadang tiba-tiba tersenyum, namun tidak acuh terhadap kehadiran kita.

Kemajuan juga telah menyulap jalan-jalan menjadi sebuah raksasa lapar. Para pengguna jalan seolah rela dilahap oleh kebuasan jalan di setiap tikungan dan penyebrangan. Manusia mengikhlaskan diri tumpah-ruah ke jurang-jurang jalanan di setiap ada kemeriahan, perayaan-perayaan keagamaan, atau pawai-pawai akbar. Rumah diposisikan –hanya – sebagai tempat persinggahan, sepi seperti kuburan. Apalagi sawah dan ladang, telah ditinggalkan oleh generasi penerus.

Benarkah kemajuan ini harus menjelma menjadi raksasa jahat yang siap memangsa siapa pun, termasuk anak-anak kita? Mereka dimangsa oleh permainan-permainan virtual, artifisial, dan menguras tenaga juga finansial. Namun, mayoritas di antara kita sama sekali tidak pernah berpikir jika kemajuan merupakan raksasa jahat, dia merupakan malaikat suci yang siap menjawab dan membantu setiap pekerjaan kita ketika alasan kebaikan ditujukan untuk diri sendiri dalam bingkai individualis.

Kita telah tercebur ke dalam kubangan kemajuan karena kita memang masih sebagai pemakai bukan sebagai pembuat. Jadi, musuh – sebenarnya - kemajuan itu bukan Barat atau negara maju yang harus diperangi, melainkan inkompetensi dalam diri kita, manusia yang tinggal di kawasan paling padat jumlah populasinya di planet ini.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Kehidupan Jalanan"