Ingin mengetahui 'mentalitas bangsa'? Maka lihatlah infrastruktur yang telah dibangun oleh bangsa tersebut, kokoh dan kuat atau mudah rusak dan mempertontonkan kesemrawutan. Jika hal pertama terjadi, maka sudah dipastikan dalam diri bangsa tersebut menyimpan sikap-sikap kejujuran, kekuatan mental, dan ketangguhan pemikiran. Dan jika hal kedua yang terlihat oleh kita, sudah tentu dalam diri bangsa tersebut menyimpan mental-mental manifulatif, ketidak ajegan berpikir, dan berjalan pada kerangka tidak sempurna.
Memang terlalu sederhana mengukur karakter bangsa hanya menggunakan parameter pembangunan infrastruktur. Sebab banyak hal yang memengaruhi munculnya perubahan karakter dalam diri manusia. Sifat dasar manusia tentu diisi oleh segala potensi kebaikan, sebab manusia merupakan mahluk baik. Namun ketika mereka bersentuhan dengan faktor-faktor luar, nilai kebaikan bercampur dengan potensi-potensi kejahatan akan melahirkan mentalitas berbeda dengan fitrah sebenarnya. Hal lain, mentalitas bangsa tidak diwariskan secara genetika, seperti ungkapan Walter Lippman.
Mentalitas dan karakter sebuah bangsa berada pada ranah perubahan sosial dan budaya bangsa itu sendiri. Karena bersifat profan, dia mudah berubah. Lantas bagaimana bisa hanya dengan melihat pembangunan infrastruktur kita dapat melihat karakter dan mentalitas suatu bangsa? Sebab, hal-hal fisik yang dihasilkan oleh manusia pada dasarnya mewakili apa yang mereka pikirkan, memproyeksikan apa yang berada dalam diri mereka. Jika sebuah jalan dibangun kemudian memperlihatkan kekokohan karena -memang- dalam diri Si Pembangun terdapat mental yang kuat dan mengedepankan kejujuran. Begitu juga sebaliknya, semakin banyak jalan rusak, penataan sarana transportasi acak-acakan, ketidak tertiban dimana-mana, mentalitas dan karakter bangsa tersebut terwakili oleh hal tersebut.
Membangun karakter dan mentalitas bangsa tidak cukup dengan mengeluarkan fatwa atau aturan-aturan. Sebab, mentalitas selalu berhubungan dengan kesadaran manusia. Meningkatkan kesadaran budaya inilah yang sangat penting namun jarang dilakukan. Sebagai contoh: di daerah pedalaman -seperti Baduy Dalam - misalkan, tingkat kesadaran manusia berbanding lurus dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Baduy, apa yang lahir? Yaitu kekuatan mentalitas mereka, tahan uji terhadap serbuan apa pun yang datang dari luar, berdiri sendiri, kejujuran dan saling menghormati mengejawantah dalam kehidupan. Hasilnya? Sedemikian sederhananya pun apa yang mereka bangun, namun bisa mempertontonkan keharmonisan, rumah-rumah sederhana berderet rapi, jalan berbatu memperlihatkan keindahan, taman dan sawah memadu dengan alam sekitar.
Tidak salah, kita harus lebih banyak berkaca dan belajar kepada orang-orang atau masyarakat yang sering kita anggap tertinggal dan marjinal. Padahal fakta sebenarnya, kita sendirilah yang sedang berada di pinggiran kehancuran karakter dan jati diri bangsa.
KANG WARSA
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan 3 Indonesia.
Sadly but true..
BalasHapus