Diskusi sekitar problem-problem kanonisasi Al-Quran pada periode formatif Islam akan menyadarkan kita, banyak persoalan menantang yang menunggu penelitian dan kajian serius. Terdapat kesenjangan serius antara kesarjanaan Islam dan Barat dalam studi Al-Quran. Pada tiga abad pertama dalam sejarah Islam merupakan periode terpenting dalam sejarah Al-Quran, namun tidak mendapatkan perhatian serius di kalangan sarjana Muslim. Kita cenderung tidak mempertanyakan sejauh mana sumber-sumber yang menginformasikan pengumpulan dan pembukuan Al-Quran itu akurat atau tidak. Sebagian besar kaum Muslim mempercayai sumber-sumber tradisional secara taken for granted.
Kita juga harus mengakui, pendekatan Muslim dan Barat terhadap Al-Quran memang berbeda. Bagi kaum Muslim, Al-Quran merupakan sumber moral dan keagamaan. Pada umumnya, Al-Quran dibaca dan dipelajari untuk tujuan keagamaan karena di dalamnya terkandung doktrin teologis dan hukum yang menjadi sandaran kehidupan sehari-hari. Jarang sekali, kaum Muslim yang mempelajari Al-Quran untuk menggali aspek historisnya. Sebaliknya, sarjana-sarjana Barat umumnya mengkaji Al-Quran untuk kepentingan penelitian historis. Dari narasi-narasi Al-Quran mereka ingin memahami kemunculan Islam awal, karir kenabian Muhammad, dan situasi keagamaan yang menjadi latar belakang kemunculan agama termuda dari tiga agama/tradisi Ibrahim. Dengan kata lain, Al-Quran dipahami sebagai dokumen Islam awal dan sumber informasi tentang agama dan masyarakat Arab pra-Islam. Sebagai sumber sejarah, maka Al-Quran perlu didekati dengan metode analisa kritis, suatu pencapaian intelektual paling penting dalam kajian sejarah dunia Barat. Sejauh mana Al-Quran menyuguhkan informasi tentang Islam awal dan hubungannya dengan agama lain? Para sarjana Barat biasanya mengawali dengan pendekatan terhadap teks Al-Quran, ini dilakukan untuk memahami dan mencerna maka sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Al-Quran. Sebab, Al-Quran merupakan teks yang tidak mudah untuk dipahami, di dalamnya banyak termuat kata-kata kiasan atau majazi dan tidak menginformasikan secara detail beragam persoalan.
Kesulitan-kesulitan tersebut tidak berarti para sarjana Barat menghentikan kajian mereka terhadap Al-Quran. Sebab, setiap upaya untuk meneliti Al-Quran harus bersentuhan dengan teks-teks yang terdapat di dalamnya. Metode yang dikembangkan oleh para sarjana Muslim dalam memahami teks-teks Al-Quran adalah dengan pendekatan tafsir. Tapi, harus diakui, kita tidak lagi mempertanyakan dari mana teks-teks Al-Quran yang ada di hadapan kita berasal. Pertanyaan seperti itu tidak menarik perhatian bagi sebagian besar kaum Muslim. Barangkali, salah satu alasannya karena kitab suci itu telah tersedia dalam format yang siap dibaca dan dipahami.
Al-Quran Edisi Kairo
Penting diketahui, bahwa mushaf resmi Al-Quran yang kita kenal sekarang berasal dari edisi Kairo yang terbit pertama kali pada 1924. Berkat dukungan sponsor Pemerintah Arab Saudi, Al-Quran edisi Kairo itu telah diterima secara universal baik di kalangan awam maupun terpelajar. Dengan edisi Kairo, kita tidak lagi diperkenalkan dengan bacaan-bacaan Al-Quran yang beragam, yang memperlihatkan betapa berhasilnya penyeragaman bacaan Al-Quran. Padahal, bacaan Al-Quran edisi Kairo hanya satu versi dari berbagai versi bacaan yang diperbolehkan. Pada abad ke-empat, Ibnu Mujahid (334 H/936 M) menyebut tujuh qira'at yang absah, sebagian ulama lain menyebut sepuluh bahkan empat belas bacaan. Sementara yang diadopsi edisi Kairo adalah bacaan Hafs (180 H/796 M) dari 'Asim (127 H/745 M).
Penting ditambahkan, edisi Kairo itu tidaklah bisa disebut edisi kritis dalam pengertian sebenarnya. Para ulama yang terlibat dalam proyek penerbitan Al-Quran di Kairo tidak bermaksud merekonstruksi teks Al-Quran yang kuno, melainkan semata untuk menyeragamkan bacaan. Lebih dari itu, edisi itu awalnya dimaksudkan untuk kepentingan lokal, yakni mushaf Al-Quran untuk digunakan di sekolah-sekolah di Mesir. Salah satu alasan penerbitan Al-Quran itu adalah karena beragamnya versi Al-Quran yang dugunakan di sekolah-sekolah dan sebagian mengandung kesalahan. Maka, pemerintah Mesir membentuk komisi dipimpin oleh Muhammad ibn Ali Al-Husaini pada 1907 di bawah koordinasi Departemen Pendidikan.
Ide pencetakan Al-Quran awalnya menghadapi beragam penolakan. Pada awal abad ke-19 sejumlah ulama di Mesir mengeluarkan fatwa yang tidak membolehkan pencetakan Al-Quran. Mereka khawatir, bahan-bahan yang dipakai untuk percetakan Al-Quran tidak suci. Sebagian lain menyampaikan ketidaksetujuannya karena tindakan tersebut dikategorikan bid'ah. Kendati demikian, komisi berhasil menerbitkan edisi pertama Al-Quran edisi Kairo pada tanggal 10 Juli 1924/ 7 Dzulhijjah 1342. Revisi edisi kedua pun dilakukan. Sejak itu, dengan sponsor Arab Saudi, Al-Quran edisi Kairo disebarkan ke berbagai belahan dunia. Sementara, versi-versi lain yang muncul dihancurkan dan dibuang ke Sungai Nil. Tindakan pemerintah Mesir terhadap versi-versi Al-Quran tak ubahnya seperti yang dilakukan Utsman dan Gubernur Hajjaj, yakni melarang dan menghancurkan kodeks-kodeks Al-Quran versi lain.
Saat ini, Al-Quran edisi Kairo diterima secara universal baik oleh Sunni mau pun Syi'ah. Implikasi dari penyeragaman ini sangat serius. Kita seperti dipagari untuk tidak keluar dari pakem bacaan Al-Quran versi Kairo. Al-Quran yang sebenarnya membuka ruang bagi keragaman bacaan itu kini telah dibatasi. Ortodoksi qira'at pun sekarang hanyalah dibatasi pada bacaan Hafs dari 'Asim. Padahal, qira'at Hafs hanyalah merupakan satu bagian dari sekian qira'at yang diperbolehkan. Sekarang kita cenderung menganggap qira'at selain bacaan Hafs sebagai hal yang asing. Penyeragaman itu juga memiliki implikasi terhadap cara pandang kita terhadap teks Al-Quran, yakni memandang teks-teks Al-Quran sebagai sesuatu yang bersifat taken for granted.
Dari Scriptio Defectiva Menuju Scriptio Plena
Begitu penting bagi kita mendiskusikan Al-Quran dalam konteks periode formatif Islam. Kita harus melacak jauh ke belakang melihat Al-Quran sebelum dibakukan dalam format seperti terlihat pada edisi Kairo. Sistem bacaan edisi Kairo yang lengkap dengan diakritik (titik di atas dan di bawah huruf) dan harakat secara teknis disebut "scriptio plena". Sebelum menjadi scriptio plena, teks Al-Quran terdiri dari huruf-huruf diakritik, yang secara teknis disebut scriptio defectiva, sehingga memungkinkan dibaca dengan lebih fleksibel ketimbang setelah menjadi scriptio plena. Pergeseran dari scriptio defektiva menuju scriptio plena merupakan fenomena menarik karena pengetahuan tentang bacaan Al-Quran berubah dari semula yang menekankan hafalan /ingatan menjadi tulisan.
Tentu saja scriptio plena dapat dilacak jauh ke periode awal. Banyak riwayat merujuk kepada Hajjaj ibn Yusuf sebagai orang yang pertama memperkenalkan scriptio plena. Mengenai kodeks yang digunakan Hajjaj yang dilengkapi diakritik, tampaknya sumber-sumber tradisional sepakat menuju ke arah mushaf Utsmani. Hajjaj sering dilukiskan mencemooh kodeks Ibnu Mas'ud, seperti pernah berkata: " Bagaimana saya tidak terkejut dengan Ibnu Mas'ud, Dia telah membaca kitab Alloh yang orisinal. Saya bersumpah demi Alloh, apa yang dimilikinya itu tidak lebih dari puisi amatiran dari orang-orang Bedewi!" (Ibnu Abd Dunya, al-Isyaraf fi manaazil al-Asyraf). Al-Dzahabi dalam Tarikh Al-Islamnya juga mengutip pernyataan Al-Salt Ibnu Dinar; " Saya pernah mendengar Hajjaj berkata: Ibnu Mas'ud merupakan pimpinan orang-orang munafiq. Senadainnya Saya hidup sejaman dengan dia, Saya akan membuat darahnya meresap ke dalam tanah! Hajjaj juga kerap mengancam akan membunuh siapa saja yang mengikuti bacaan Ibnu Mas'ud.
Hajjaj memutuskan untuk menerbitkan teks Al-Quran standar diberi dukungan oleh pemerintah pusat di Damaskus di bawah kepemimpinan Abdul Malik ibn Marwan. Ada juga riwayat yang menyebutkan ide stardardisasi itu muncul dari Abdul Malik ibn Marwan dan pelaksanannya dieksekusi oleh Hajjaj. Siapapun yang memiliki inisiatif, yang jelas Hajjaj memiliki peran penting bagi proyek standardinasi bacaan Al-Quran dengan melengkapi mushaf Utsmani dengan diakritik.
Pembubuhan diakritik merupakan pekerjaan maha penting, dan sudah pasti di dalam prosesnya akan memunculkan perdebatan sangat intens. Misalkan, persoalan bacaan Surat Yusuf ayat 45: ana unabbiukum bi ta'wiilihi, tanpa diakritik frase ini dapat dibaca: ana atikum bi ta'wiilihi, secara literal , unabbiukum berarti, saya akan memberitahu kalian. Sementara atikum berarti, saya akan membawa kepada kalian. Menurut Ibnu Khawalain, Hajjaj dan Hasan Al-Bashri sendiri membaca ana atikum bukan unabbiukum dengan alasan bahwa: bagaimana mungkin orang bodoh dapat memberitahu atau menafsirkan mimpi, namun pada akhirnya mereka memutuskan untuk membaca unabbiukum.
Langkah selanjutnya adalah menambahkan alif ke dalam mushaf Al-Quran. Orang yang pertama kali membubuhkan alif ke dalam mushaf adalah Ubaidillah Ibnu Ziyad (67 H/ 686 M). misalkan, ia menambahkan alif sebelum kata li-llahi dalam frase sayaquluna li-llahi dan karenanya dibaca sayaquluna Alloh. (Q:S 23:87,89). Jika kedua ayat tersebut dibaca dengan ayat-ayat sebelumnya, maka penambahan alif tersebut memang lebih masuk akal. Ayat 86 misalnya berbunyi: " Katakanlah, siapakah Tuhan tujuh langit dan arsy yang agung?. Dalam Al-Quran edisi Kairo ayat 87 berbunyi: " Dan mereka berkata, milik Alloh (li-llahi). Katakanlah, apakah kalian tidak bertakwa?, jika ditambah alif, ayat ke 87 akan berbunyi: Dan mereka berkata "Alloh", katakanlah, apa kalian tidak bertakwa."
Sijistani meriwayatkan ketika Ubaid menambahkan alif pada li-llahi, Hajjaj berkata, siapakah yang menyuruh Ubaid menambahkan alif. Sijistani menyebutkan, Ubaid menambahkan alif untuk membedakan antara bacaan pendek dan panjang seperti kata qlw dan knw. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rasm Ustmani belum disertai dengan alif untuk membedakan bacaan pendek dan panjang.
Pergeseran dari scriptio defectiva ke scriptio plena tersebut mengundang perhatian sebagian besar sarjana modern. Gerd Puin melakukan penelitian di San'a karena disana terdapat banyak manuskrip Al-Quran tertua berasal dari abad ke-7. Penelitian mengisyaratkan, fragmen-fragmen manuskrip San'a menunjukkan bahwa ulama-ulama Muslim yang membuat scriptio plena Al-Quran dalam beberapa hal salah membaca scriptio defectiva.
Penetapan scriptio plena seperti di atas seringkali berlangsung melalui perbedaan pendapat. Semua itu bukanlah sesuatu yang harus disesali, karena proses tranformasi merupakan pekerjaan mulia, tapi juga manusiawi.
Disarikan dari : Mun'im Sirri : Scriptual Polemics: The Qur'an and Other Religions
Kita juga harus mengakui, pendekatan Muslim dan Barat terhadap Al-Quran memang berbeda. Bagi kaum Muslim, Al-Quran merupakan sumber moral dan keagamaan. Pada umumnya, Al-Quran dibaca dan dipelajari untuk tujuan keagamaan karena di dalamnya terkandung doktrin teologis dan hukum yang menjadi sandaran kehidupan sehari-hari. Jarang sekali, kaum Muslim yang mempelajari Al-Quran untuk menggali aspek historisnya. Sebaliknya, sarjana-sarjana Barat umumnya mengkaji Al-Quran untuk kepentingan penelitian historis. Dari narasi-narasi Al-Quran mereka ingin memahami kemunculan Islam awal, karir kenabian Muhammad, dan situasi keagamaan yang menjadi latar belakang kemunculan agama termuda dari tiga agama/tradisi Ibrahim. Dengan kata lain, Al-Quran dipahami sebagai dokumen Islam awal dan sumber informasi tentang agama dan masyarakat Arab pra-Islam. Sebagai sumber sejarah, maka Al-Quran perlu didekati dengan metode analisa kritis, suatu pencapaian intelektual paling penting dalam kajian sejarah dunia Barat. Sejauh mana Al-Quran menyuguhkan informasi tentang Islam awal dan hubungannya dengan agama lain? Para sarjana Barat biasanya mengawali dengan pendekatan terhadap teks Al-Quran, ini dilakukan untuk memahami dan mencerna maka sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Al-Quran. Sebab, Al-Quran merupakan teks yang tidak mudah untuk dipahami, di dalamnya banyak termuat kata-kata kiasan atau majazi dan tidak menginformasikan secara detail beragam persoalan.
Kesulitan-kesulitan tersebut tidak berarti para sarjana Barat menghentikan kajian mereka terhadap Al-Quran. Sebab, setiap upaya untuk meneliti Al-Quran harus bersentuhan dengan teks-teks yang terdapat di dalamnya. Metode yang dikembangkan oleh para sarjana Muslim dalam memahami teks-teks Al-Quran adalah dengan pendekatan tafsir. Tapi, harus diakui, kita tidak lagi mempertanyakan dari mana teks-teks Al-Quran yang ada di hadapan kita berasal. Pertanyaan seperti itu tidak menarik perhatian bagi sebagian besar kaum Muslim. Barangkali, salah satu alasannya karena kitab suci itu telah tersedia dalam format yang siap dibaca dan dipahami.
Al-Quran Edisi Kairo
Penting diketahui, bahwa mushaf resmi Al-Quran yang kita kenal sekarang berasal dari edisi Kairo yang terbit pertama kali pada 1924. Berkat dukungan sponsor Pemerintah Arab Saudi, Al-Quran edisi Kairo itu telah diterima secara universal baik di kalangan awam maupun terpelajar. Dengan edisi Kairo, kita tidak lagi diperkenalkan dengan bacaan-bacaan Al-Quran yang beragam, yang memperlihatkan betapa berhasilnya penyeragaman bacaan Al-Quran. Padahal, bacaan Al-Quran edisi Kairo hanya satu versi dari berbagai versi bacaan yang diperbolehkan. Pada abad ke-empat, Ibnu Mujahid (334 H/936 M) menyebut tujuh qira'at yang absah, sebagian ulama lain menyebut sepuluh bahkan empat belas bacaan. Sementara yang diadopsi edisi Kairo adalah bacaan Hafs (180 H/796 M) dari 'Asim (127 H/745 M).
Penting ditambahkan, edisi Kairo itu tidaklah bisa disebut edisi kritis dalam pengertian sebenarnya. Para ulama yang terlibat dalam proyek penerbitan Al-Quran di Kairo tidak bermaksud merekonstruksi teks Al-Quran yang kuno, melainkan semata untuk menyeragamkan bacaan. Lebih dari itu, edisi itu awalnya dimaksudkan untuk kepentingan lokal, yakni mushaf Al-Quran untuk digunakan di sekolah-sekolah di Mesir. Salah satu alasan penerbitan Al-Quran itu adalah karena beragamnya versi Al-Quran yang dugunakan di sekolah-sekolah dan sebagian mengandung kesalahan. Maka, pemerintah Mesir membentuk komisi dipimpin oleh Muhammad ibn Ali Al-Husaini pada 1907 di bawah koordinasi Departemen Pendidikan.
Ide pencetakan Al-Quran awalnya menghadapi beragam penolakan. Pada awal abad ke-19 sejumlah ulama di Mesir mengeluarkan fatwa yang tidak membolehkan pencetakan Al-Quran. Mereka khawatir, bahan-bahan yang dipakai untuk percetakan Al-Quran tidak suci. Sebagian lain menyampaikan ketidaksetujuannya karena tindakan tersebut dikategorikan bid'ah. Kendati demikian, komisi berhasil menerbitkan edisi pertama Al-Quran edisi Kairo pada tanggal 10 Juli 1924/ 7 Dzulhijjah 1342. Revisi edisi kedua pun dilakukan. Sejak itu, dengan sponsor Arab Saudi, Al-Quran edisi Kairo disebarkan ke berbagai belahan dunia. Sementara, versi-versi lain yang muncul dihancurkan dan dibuang ke Sungai Nil. Tindakan pemerintah Mesir terhadap versi-versi Al-Quran tak ubahnya seperti yang dilakukan Utsman dan Gubernur Hajjaj, yakni melarang dan menghancurkan kodeks-kodeks Al-Quran versi lain.
Saat ini, Al-Quran edisi Kairo diterima secara universal baik oleh Sunni mau pun Syi'ah. Implikasi dari penyeragaman ini sangat serius. Kita seperti dipagari untuk tidak keluar dari pakem bacaan Al-Quran versi Kairo. Al-Quran yang sebenarnya membuka ruang bagi keragaman bacaan itu kini telah dibatasi. Ortodoksi qira'at pun sekarang hanyalah dibatasi pada bacaan Hafs dari 'Asim. Padahal, qira'at Hafs hanyalah merupakan satu bagian dari sekian qira'at yang diperbolehkan. Sekarang kita cenderung menganggap qira'at selain bacaan Hafs sebagai hal yang asing. Penyeragaman itu juga memiliki implikasi terhadap cara pandang kita terhadap teks Al-Quran, yakni memandang teks-teks Al-Quran sebagai sesuatu yang bersifat taken for granted.
Dari Scriptio Defectiva Menuju Scriptio Plena
Begitu penting bagi kita mendiskusikan Al-Quran dalam konteks periode formatif Islam. Kita harus melacak jauh ke belakang melihat Al-Quran sebelum dibakukan dalam format seperti terlihat pada edisi Kairo. Sistem bacaan edisi Kairo yang lengkap dengan diakritik (titik di atas dan di bawah huruf) dan harakat secara teknis disebut "scriptio plena". Sebelum menjadi scriptio plena, teks Al-Quran terdiri dari huruf-huruf diakritik, yang secara teknis disebut scriptio defectiva, sehingga memungkinkan dibaca dengan lebih fleksibel ketimbang setelah menjadi scriptio plena. Pergeseran dari scriptio defektiva menuju scriptio plena merupakan fenomena menarik karena pengetahuan tentang bacaan Al-Quran berubah dari semula yang menekankan hafalan /ingatan menjadi tulisan.
Tentu saja scriptio plena dapat dilacak jauh ke periode awal. Banyak riwayat merujuk kepada Hajjaj ibn Yusuf sebagai orang yang pertama memperkenalkan scriptio plena. Mengenai kodeks yang digunakan Hajjaj yang dilengkapi diakritik, tampaknya sumber-sumber tradisional sepakat menuju ke arah mushaf Utsmani. Hajjaj sering dilukiskan mencemooh kodeks Ibnu Mas'ud, seperti pernah berkata: " Bagaimana saya tidak terkejut dengan Ibnu Mas'ud, Dia telah membaca kitab Alloh yang orisinal. Saya bersumpah demi Alloh, apa yang dimilikinya itu tidak lebih dari puisi amatiran dari orang-orang Bedewi!" (Ibnu Abd Dunya, al-Isyaraf fi manaazil al-Asyraf). Al-Dzahabi dalam Tarikh Al-Islamnya juga mengutip pernyataan Al-Salt Ibnu Dinar; " Saya pernah mendengar Hajjaj berkata: Ibnu Mas'ud merupakan pimpinan orang-orang munafiq. Senadainnya Saya hidup sejaman dengan dia, Saya akan membuat darahnya meresap ke dalam tanah! Hajjaj juga kerap mengancam akan membunuh siapa saja yang mengikuti bacaan Ibnu Mas'ud.
Hajjaj memutuskan untuk menerbitkan teks Al-Quran standar diberi dukungan oleh pemerintah pusat di Damaskus di bawah kepemimpinan Abdul Malik ibn Marwan. Ada juga riwayat yang menyebutkan ide stardardisasi itu muncul dari Abdul Malik ibn Marwan dan pelaksanannya dieksekusi oleh Hajjaj. Siapapun yang memiliki inisiatif, yang jelas Hajjaj memiliki peran penting bagi proyek standardinasi bacaan Al-Quran dengan melengkapi mushaf Utsmani dengan diakritik.
Pembubuhan diakritik merupakan pekerjaan maha penting, dan sudah pasti di dalam prosesnya akan memunculkan perdebatan sangat intens. Misalkan, persoalan bacaan Surat Yusuf ayat 45: ana unabbiukum bi ta'wiilihi, tanpa diakritik frase ini dapat dibaca: ana atikum bi ta'wiilihi, secara literal , unabbiukum berarti, saya akan memberitahu kalian. Sementara atikum berarti, saya akan membawa kepada kalian. Menurut Ibnu Khawalain, Hajjaj dan Hasan Al-Bashri sendiri membaca ana atikum bukan unabbiukum dengan alasan bahwa: bagaimana mungkin orang bodoh dapat memberitahu atau menafsirkan mimpi, namun pada akhirnya mereka memutuskan untuk membaca unabbiukum.
Langkah selanjutnya adalah menambahkan alif ke dalam mushaf Al-Quran. Orang yang pertama kali membubuhkan alif ke dalam mushaf adalah Ubaidillah Ibnu Ziyad (67 H/ 686 M). misalkan, ia menambahkan alif sebelum kata li-llahi dalam frase sayaquluna li-llahi dan karenanya dibaca sayaquluna Alloh. (Q:S 23:87,89). Jika kedua ayat tersebut dibaca dengan ayat-ayat sebelumnya, maka penambahan alif tersebut memang lebih masuk akal. Ayat 86 misalnya berbunyi: " Katakanlah, siapakah Tuhan tujuh langit dan arsy yang agung?. Dalam Al-Quran edisi Kairo ayat 87 berbunyi: " Dan mereka berkata, milik Alloh (li-llahi). Katakanlah, apakah kalian tidak bertakwa?, jika ditambah alif, ayat ke 87 akan berbunyi: Dan mereka berkata "Alloh", katakanlah, apa kalian tidak bertakwa."
Sijistani meriwayatkan ketika Ubaid menambahkan alif pada li-llahi, Hajjaj berkata, siapakah yang menyuruh Ubaid menambahkan alif. Sijistani menyebutkan, Ubaid menambahkan alif untuk membedakan antara bacaan pendek dan panjang seperti kata qlw dan knw. Hal tersebut mengindikasikan bahwa rasm Ustmani belum disertai dengan alif untuk membedakan bacaan pendek dan panjang.
Pergeseran dari scriptio defectiva ke scriptio plena tersebut mengundang perhatian sebagian besar sarjana modern. Gerd Puin melakukan penelitian di San'a karena disana terdapat banyak manuskrip Al-Quran tertua berasal dari abad ke-7. Penelitian mengisyaratkan, fragmen-fragmen manuskrip San'a menunjukkan bahwa ulama-ulama Muslim yang membuat scriptio plena Al-Quran dalam beberapa hal salah membaca scriptio defectiva.
Penetapan scriptio plena seperti di atas seringkali berlangsung melalui perbedaan pendapat. Semua itu bukanlah sesuatu yang harus disesali, karena proses tranformasi merupakan pekerjaan mulia, tapi juga manusiawi.
Disarikan dari : Mun'im Sirri : Scriptual Polemics: The Qur'an and Other Religions
Posting Komentar untuk "Al-Quran, dari Scriptio Defectiva Menuju Scriptio Plena"