Salah seorang siswa di MTs Riyadlul Jannah berasal dari Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya pernah bertanya kepada siswa tersebut: Kenapa kamu harus sekolah jauh-jauh ke Sukabumi? Kenapa tidak di Jakarta, atau di sekolah lain? Lebih mengerucut lagi saya ajukan pertanyaan: kenapa takdir yang telah diciptakan oleh Alloh harus memilih kamu mengenyam pendidikan di Sukabumi, di salah satu sudut Kota ini bernama kampung Cikundul?
Sontak saja, dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sang siswa termenung, berpikir, lalu keluar jawaban: Tidak tahu. Maka, pada penjelasan mata ajar IPS beberapa bulan lalu, saya jelaskan kepada para siswa mengenai konektifitas ruang dan waktu. Bukan dari segi sains atau pengetahuan modern saja, namun lebih saya titikberatkan pada kajian paralogis, di luar nalar.
Penempatan manusia oleh Alloh di muka bumi, di sudut kota, di daerah dekat perbukitan dan pergunungan, akarab dengan lembah dan persawahan sudah tentu bukan tanpa alasan. Siapa pun memiliki pandangan dasar dalam hidup, siapa pun ingin hidup dipenuhi oleh kesejukan, keindahan, mencintai alam, pemandangan, gunung, dan laut. Orang-orang yang tinggal di Kota besar seperti Jakarta selalu berikhtiar menciptakan hal-hal tersebut, diciptakan AC di perkantoran-perkantoran untuk melahirkan suasana sejuk, pemerintah membuat taman-taman kota, karena pada dasarnya, manusia menyukai hal itu.
Saya semakin menegaskan kepada para siswa: berbagahagialah kalian yang telah ditempatkan oleh Alloh di desa dan kampung yang akrab dengan pegunungan. Para pemikir, kaum revolusioner, selalu berasal dari daerah-daerah seperti ini. Karena apa? Mereka lebih banyak kesempatan untuk berdiam diri sambil merenung, melakukan kontemplasi terhadap hakikat keberadaan manusia dan alam, menafakuri hubungan manusia dengan Alloh. Nilai persinggungan dalam masyarakat ini cukup kecil, keliicikan dan kepicikan dalam hidup jarang terjadi, ketika ada pun biasanya dilakukan oleh orang-orang kampung yang telah terkontaminasi pikirannya oleh tipu daya kemajuan duniawi.
Kang Warsa
Sontak saja, dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, sang siswa termenung, berpikir, lalu keluar jawaban: Tidak tahu. Maka, pada penjelasan mata ajar IPS beberapa bulan lalu, saya jelaskan kepada para siswa mengenai konektifitas ruang dan waktu. Bukan dari segi sains atau pengetahuan modern saja, namun lebih saya titikberatkan pada kajian paralogis, di luar nalar.
Penempatan manusia oleh Alloh di muka bumi, di sudut kota, di daerah dekat perbukitan dan pergunungan, akarab dengan lembah dan persawahan sudah tentu bukan tanpa alasan. Siapa pun memiliki pandangan dasar dalam hidup, siapa pun ingin hidup dipenuhi oleh kesejukan, keindahan, mencintai alam, pemandangan, gunung, dan laut. Orang-orang yang tinggal di Kota besar seperti Jakarta selalu berikhtiar menciptakan hal-hal tersebut, diciptakan AC di perkantoran-perkantoran untuk melahirkan suasana sejuk, pemerintah membuat taman-taman kota, karena pada dasarnya, manusia menyukai hal itu.
Saya semakin menegaskan kepada para siswa: berbagahagialah kalian yang telah ditempatkan oleh Alloh di desa dan kampung yang akrab dengan pegunungan. Para pemikir, kaum revolusioner, selalu berasal dari daerah-daerah seperti ini. Karena apa? Mereka lebih banyak kesempatan untuk berdiam diri sambil merenung, melakukan kontemplasi terhadap hakikat keberadaan manusia dan alam, menafakuri hubungan manusia dengan Alloh. Nilai persinggungan dalam masyarakat ini cukup kecil, keliicikan dan kepicikan dalam hidup jarang terjadi, ketika ada pun biasanya dilakukan oleh orang-orang kampung yang telah terkontaminasi pikirannya oleh tipu daya kemajuan duniawi.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Hidup di Daerah Perbukitan "