Revolusi keyakinan pernah terjadi dalam sejarah Mesir Kuno. Saat Akhnatun mengatakan dengan lantang, semua dewa-dewi yang dipuja oleh rakyat Mesir merupakan kesalahan dalam memaknai keEsaan Zat Yang Maha Tinggi. Sebagai seorang raja Mesir, Akhnatun mengajak rakyatnya untuk menihilkan unsur-unsur animisme dalam pemujaan, dicetuskanlah monotheisme, Penguasa tertinggi kehidupan adalah Tuhan Yang Maha Tunggal, Dia zat yang telah menumbuhkan bunga-bunga dan mengalirkan air Sungai Nil, Dia lah Aton, Tuhan Yang Maha Tunggal.
Secara turun temurun, Peradaban Mesir Kuno, sejak tahun 3000 SM telah menganut politheisme, alam ini dibangun oleh banyak dewa, dewa yang tidak terhingga. Evolusi keyakinan ini mengkrucut pada titik kulminasi tri-nitas, dari sekian banyak dewa, tiga dewa merupakan Tuhan tertinggi bagi rakyat mesir Kuno, Amun Ra, Osiris, dan Isis. Hieroglif-hierogrif yang terukir pada dinding-dinding pyramida menunjukkan, betapa ketika dewa tersebut ditempatkan sebagai penuntun hidup seluruh tingkah laku masarakat Mesir waktu itu. Simbol-simbol Ra sebagai Dewa Matahari begitu agung menghiasi dinding-dinding pyramida dalam bentuk bulat bertabur cahaya.
Ketika Mesir dipimpin oleh Ramses II, terjadi eksodus besar-besaran bangsa Israel. Eksodus ini disemangati oleh urbanisasi-kuno, ramalan-ramalan prophetik menunjuk, kehidupan Bangsa Yahudi akan lebih baik dan menemui kesejahteraan jika mereka tinggal di Mesir. Faktanya, Bangsa Yahudi hanya menjadi entitas terkecil dari pranata kerajaan Mesir. Mayoritas mereka diperbudak oleh Ramses II untuk mengangkut batu-batu besar, membangun pyramida, dan menjadi abdi/jongos orang-orang kerajaan. Tradisi semitic tentang pengabaran akan muculnya juru selamat dikisahkan oleh orang-orang Yahudi. Kelak akan muncul seorang pembebas perbudakan mereka oleh Ramses II.
Asimilisasi tradisi dan kebudayaan antara Mesir dan Bangsa Yahudi merupakan fenomena sosial. Asimilisasi tersebut berimbas besar pada tatanan keyakinan. Bangsa Yahudi mulai mengadopsi simbol-simbol kekuatan bangsa Mesir. Keyakinan Monotheisme yang diajarkan oleh leluhur mereka berbaur dengan semangat politheisme Mesir Kuno. Kognisi pengoknuman nilai transendental dan keilahian terjadi. Kecuali Yahweh (YHW) sebagai Tuhan tertinggi, Bangsa Yahudi mulai memperkenalkan Elohim (cognate Elohim dalam tradisi Islam adalah Allohumma) dan Jahbulon. Dua oknum Tuhan ini mulai mewarnai tradisi Yahudi.
Sinkretisme dan okultisme tidak bisa dihindarkan pasca eksodus, seorang tokoh agama, Samiri, memberikan atribusi mahluk kepada nilai-nilai Spiritual. Setelah Musa meninggalkan mereka ke Sinai, diperkenalkan pemujaan kepada patung lembu yang terbuat dari emas. Okultisme ini dilatar belakangi oleh kognisi agraris di Mesir, di mana lembu menjadi mahluk suci pengolah lahan-lahan pertanian. Derivasi keyakinan terhadap kesucian lembu pun terjadi di belahan bumi lain, India.
Keyakinan terhadap keEsaan Tuhan ini selalu dilengkapi dengan hadirnya oknum-oknum Tuhan lain dalam semangat okultisme, penyembahan terhadap berhala dan simbol-simbol yang memiliki akar historis serta kekuatan magis. Kognisi paganisme mewarnai keyakinan tradisi Judaisme awal bahkan akan terus diwariskan kepada generasi-generasi setelahnya.
Pasca kerasulan Yesus/Isa, semangat pengoknuman terhadap nilai-nilai ketauhidan tetap terjaga dengan apik. Roh Kudus dan Yesus, dinobatkan sebagai Trinitas dalam konsili besar di Nicea. Kelompok kristen awal dari penganut Arianisme dibunuh secara sporadis oleh pasukan Konstanstin sebelum mereka menghadiri Konsili tersebut. Arianisme merupakan satu keyakinan monotheisme, mereka menolak atribusi keilahian terhadap Yesus. Terciptanya alam dan kehidupan ini tidak didasari oleh kuasa Tuhan atas adanya Yesus, kecuali oleh kuasa Tuhan secara mutlak. Sebab bagi para penganut Arianisme, kehendak dan kuasa Tuhan tidak disebabkan oleh ada dan tiadanya unsur lain. Tuhan tidak sekerdil yang disangkakan, Tuhan tidak menempati ruang yang telah diciptakannya. Pembunuhan terhadap para penganut Arianisme, kecuali murni politik juga adanya kekuatan untuk tetap mempertahankan okultisme yang telah diadopsi oleh Bangsa Yahudi dari bangsa Mesir.
Keyakinan Zoroastrianisme menempatkan Ahura Mazda sebagai Tuhan tertinggi. Mereka tidak akan rela jika disebut sebagai penganut politheisme, sebab meskipun meyakini ada beberapa Dewa dalam keyakinannya, Ahura Mazda lah Tuhan tertinggi yang mereka sembah. Ketauhidan ini pun masih tetap menempatkan beberapa dewa sebagai oknum Tuhan yang mendampingi Ahura Mazda, sebagai dewa-dewa kebalikan dari Tuhan Agung yang mereka sembah. Dualisme keyakinan dalam ajaran Zoroastrianisme menjadi jawaban, ketauhidan tetap selalu disandingkan dengan oknum-oknum lain seperti Asha Vahista, Tohu Manah, Keshatra Vairya.
Tradisi Arab, seperti ungkap beberapa sejarawan, Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, Thabari, Hussein Haikal, dan Philip K Hitti telah menggunakan kata “Allahumma” dalam beberapa literatur baik tulisan bentuk syair –sajak-puisi, maupun bahasa-bahasa verbal. Kata Allohumma ini merupakan bentuk pluralitas, penyatuan tiga unsur ketuhanan dalam tradisi Arab Jahiliyyah. Derivasi Allohumma tidak menunjuk kepada Alloh saja, lebih dari itu dalam tradisi Arab Jahiliyyah, pengucapan Allohumma ditujukan kepada Alloh bersama dua orang putrinya (Manaat dan Uzza).
Diyakini, kata Allohumma ini merupakan cognate (seasal/serumpun) dengan kata Elohim, penyebutan Tuhan pluralitas dalam tradisi Judaisme. Isa pun pernah berdoa , Allahumma rabbana anjil alainaa maaidatan minassamaai…. Orang-orang Arab Jahiliyyah sebagai bangsa pagan, penyembah banyak dewa dan berhala telah mengucapkan kata Allahumma ini dalam setiap ritual-ritual mereka. Unsur trinitas kental sekali mewarnai kata Allahumma (Alloh, Manaat, Uzzaa). Pengucapan Tuhan dalam bentuk Pluralitas dalam tradisi Arab Jahiliyyah ini berbeda-beda maksudnya sesuai dengan dewa-dewa yang mereka agungkan.
Lantas, kenapa setelah ketauhidan menjadi ciri utama Islam, pengucapan kata Allohumma dalam bentuk doa dan harapan ini masih terus dilakukan? Apakah benar kognisi Jahiliyyah masih kuat memengaruhinya? Meskipun, saat ini telah terjadi penyempitan makna dari kata Allohumma ini menjadi Ya, Alloh, tetapi dalam tata bahasa, kata ini merupakan bentuk Pluralitas pengumpulan beberapa Tuhan dan Dewa, satu hal yang sulit dicerna oleh akal ketika katauhidan benar-benar telah menjadi landasan berpijak sebuah keyakinan. Memang, agama tidak sekedar dimaknai sebagai sebuah simbol, akan tetapi simbol-simbol inilah yang telah menjadi kromosom kuat dalam memengaruhi para penganut agama-agama sampai saat ini.
Alasan setiap orang, agama tidak sekedar bisa dicerna oleh akal, dia harus diyakini dan diterima oleh keimanan. Jika hal ini menjadi sebuah apologi, maka patutlah kita mengambil sebuah kesimpulan, semua agama benar. Namun fakta dan realitas selalu bertolak belakang, fakta terhadap asumsi semua agama benar, namun dalam tataran realita, kita sering menyebut agama kami yang benar, agama mereka sesat dan telah diubah-ubah oleh tangan-tangan manusia.
Logika dan akal manusia merupakan anugrah terbesar dari Alloh. Ketika keyakinan kita menuntut peng-Esaan Alloh , maka dalam hal apa pun tidak diperkenankan kita memasukkan unsur-unsur lain yang melahirkan oknum-oknum Tuhan baru selainNya. Jika kita benar-benar bertauhid, maka sinkretisme, okultisme, penyembahan terhadap bangunan, benda, kuil, sudah saatnya dipertanyakan kembali. Benarkah kita masih mengakui Alloh Yang Maha Tunggal? Derivasinya, istilah-istilah yang akan mengaburkan ketauhidan harus dibuang bukan dipertahankan dengan merekayasa makna sebuah kata.
Qul Huwallahu Ahad, Allohush-shomad, Lam Yalid walah Yuulad, Walam Yakun lahuu kufuwan Ahad. Alloh hanya satu, Alloh tempat memohon, tidak beranak dan tidak diperanakan, dan tidak ada satu pun yang setara denganNya. Jika ritual dan pengabdian Kita kepada Alloh masih mengadopsi ritual-ritual jahiliyyah, dengan mengesampingkan unsur transendens Keilahian, seperti apakah keyakinan kita?
Kang Warsa
Secara turun temurun, Peradaban Mesir Kuno, sejak tahun 3000 SM telah menganut politheisme, alam ini dibangun oleh banyak dewa, dewa yang tidak terhingga. Evolusi keyakinan ini mengkrucut pada titik kulminasi tri-nitas, dari sekian banyak dewa, tiga dewa merupakan Tuhan tertinggi bagi rakyat mesir Kuno, Amun Ra, Osiris, dan Isis. Hieroglif-hierogrif yang terukir pada dinding-dinding pyramida menunjukkan, betapa ketika dewa tersebut ditempatkan sebagai penuntun hidup seluruh tingkah laku masarakat Mesir waktu itu. Simbol-simbol Ra sebagai Dewa Matahari begitu agung menghiasi dinding-dinding pyramida dalam bentuk bulat bertabur cahaya.
Ketika Mesir dipimpin oleh Ramses II, terjadi eksodus besar-besaran bangsa Israel. Eksodus ini disemangati oleh urbanisasi-kuno, ramalan-ramalan prophetik menunjuk, kehidupan Bangsa Yahudi akan lebih baik dan menemui kesejahteraan jika mereka tinggal di Mesir. Faktanya, Bangsa Yahudi hanya menjadi entitas terkecil dari pranata kerajaan Mesir. Mayoritas mereka diperbudak oleh Ramses II untuk mengangkut batu-batu besar, membangun pyramida, dan menjadi abdi/jongos orang-orang kerajaan. Tradisi semitic tentang pengabaran akan muculnya juru selamat dikisahkan oleh orang-orang Yahudi. Kelak akan muncul seorang pembebas perbudakan mereka oleh Ramses II.
Asimilisasi tradisi dan kebudayaan antara Mesir dan Bangsa Yahudi merupakan fenomena sosial. Asimilisasi tersebut berimbas besar pada tatanan keyakinan. Bangsa Yahudi mulai mengadopsi simbol-simbol kekuatan bangsa Mesir. Keyakinan Monotheisme yang diajarkan oleh leluhur mereka berbaur dengan semangat politheisme Mesir Kuno. Kognisi pengoknuman nilai transendental dan keilahian terjadi. Kecuali Yahweh (YHW) sebagai Tuhan tertinggi, Bangsa Yahudi mulai memperkenalkan Elohim (cognate Elohim dalam tradisi Islam adalah Allohumma) dan Jahbulon. Dua oknum Tuhan ini mulai mewarnai tradisi Yahudi.
Sinkretisme dan okultisme tidak bisa dihindarkan pasca eksodus, seorang tokoh agama, Samiri, memberikan atribusi mahluk kepada nilai-nilai Spiritual. Setelah Musa meninggalkan mereka ke Sinai, diperkenalkan pemujaan kepada patung lembu yang terbuat dari emas. Okultisme ini dilatar belakangi oleh kognisi agraris di Mesir, di mana lembu menjadi mahluk suci pengolah lahan-lahan pertanian. Derivasi keyakinan terhadap kesucian lembu pun terjadi di belahan bumi lain, India.
Keyakinan terhadap keEsaan Tuhan ini selalu dilengkapi dengan hadirnya oknum-oknum Tuhan lain dalam semangat okultisme, penyembahan terhadap berhala dan simbol-simbol yang memiliki akar historis serta kekuatan magis. Kognisi paganisme mewarnai keyakinan tradisi Judaisme awal bahkan akan terus diwariskan kepada generasi-generasi setelahnya.
Pasca kerasulan Yesus/Isa, semangat pengoknuman terhadap nilai-nilai ketauhidan tetap terjaga dengan apik. Roh Kudus dan Yesus, dinobatkan sebagai Trinitas dalam konsili besar di Nicea. Kelompok kristen awal dari penganut Arianisme dibunuh secara sporadis oleh pasukan Konstanstin sebelum mereka menghadiri Konsili tersebut. Arianisme merupakan satu keyakinan monotheisme, mereka menolak atribusi keilahian terhadap Yesus. Terciptanya alam dan kehidupan ini tidak didasari oleh kuasa Tuhan atas adanya Yesus, kecuali oleh kuasa Tuhan secara mutlak. Sebab bagi para penganut Arianisme, kehendak dan kuasa Tuhan tidak disebabkan oleh ada dan tiadanya unsur lain. Tuhan tidak sekerdil yang disangkakan, Tuhan tidak menempati ruang yang telah diciptakannya. Pembunuhan terhadap para penganut Arianisme, kecuali murni politik juga adanya kekuatan untuk tetap mempertahankan okultisme yang telah diadopsi oleh Bangsa Yahudi dari bangsa Mesir.
Keyakinan Zoroastrianisme menempatkan Ahura Mazda sebagai Tuhan tertinggi. Mereka tidak akan rela jika disebut sebagai penganut politheisme, sebab meskipun meyakini ada beberapa Dewa dalam keyakinannya, Ahura Mazda lah Tuhan tertinggi yang mereka sembah. Ketauhidan ini pun masih tetap menempatkan beberapa dewa sebagai oknum Tuhan yang mendampingi Ahura Mazda, sebagai dewa-dewa kebalikan dari Tuhan Agung yang mereka sembah. Dualisme keyakinan dalam ajaran Zoroastrianisme menjadi jawaban, ketauhidan tetap selalu disandingkan dengan oknum-oknum lain seperti Asha Vahista, Tohu Manah, Keshatra Vairya.
Tradisi Arab, seperti ungkap beberapa sejarawan, Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, Thabari, Hussein Haikal, dan Philip K Hitti telah menggunakan kata “Allahumma” dalam beberapa literatur baik tulisan bentuk syair –sajak-puisi, maupun bahasa-bahasa verbal. Kata Allohumma ini merupakan bentuk pluralitas, penyatuan tiga unsur ketuhanan dalam tradisi Arab Jahiliyyah. Derivasi Allohumma tidak menunjuk kepada Alloh saja, lebih dari itu dalam tradisi Arab Jahiliyyah, pengucapan Allohumma ditujukan kepada Alloh bersama dua orang putrinya (Manaat dan Uzza).
Diyakini, kata Allohumma ini merupakan cognate (seasal/serumpun) dengan kata Elohim, penyebutan Tuhan pluralitas dalam tradisi Judaisme. Isa pun pernah berdoa , Allahumma rabbana anjil alainaa maaidatan minassamaai…. Orang-orang Arab Jahiliyyah sebagai bangsa pagan, penyembah banyak dewa dan berhala telah mengucapkan kata Allahumma ini dalam setiap ritual-ritual mereka. Unsur trinitas kental sekali mewarnai kata Allahumma (Alloh, Manaat, Uzzaa). Pengucapan Tuhan dalam bentuk Pluralitas dalam tradisi Arab Jahiliyyah ini berbeda-beda maksudnya sesuai dengan dewa-dewa yang mereka agungkan.
Lantas, kenapa setelah ketauhidan menjadi ciri utama Islam, pengucapan kata Allohumma dalam bentuk doa dan harapan ini masih terus dilakukan? Apakah benar kognisi Jahiliyyah masih kuat memengaruhinya? Meskipun, saat ini telah terjadi penyempitan makna dari kata Allohumma ini menjadi Ya, Alloh, tetapi dalam tata bahasa, kata ini merupakan bentuk Pluralitas pengumpulan beberapa Tuhan dan Dewa, satu hal yang sulit dicerna oleh akal ketika katauhidan benar-benar telah menjadi landasan berpijak sebuah keyakinan. Memang, agama tidak sekedar dimaknai sebagai sebuah simbol, akan tetapi simbol-simbol inilah yang telah menjadi kromosom kuat dalam memengaruhi para penganut agama-agama sampai saat ini.
Alasan setiap orang, agama tidak sekedar bisa dicerna oleh akal, dia harus diyakini dan diterima oleh keimanan. Jika hal ini menjadi sebuah apologi, maka patutlah kita mengambil sebuah kesimpulan, semua agama benar. Namun fakta dan realitas selalu bertolak belakang, fakta terhadap asumsi semua agama benar, namun dalam tataran realita, kita sering menyebut agama kami yang benar, agama mereka sesat dan telah diubah-ubah oleh tangan-tangan manusia.
Logika dan akal manusia merupakan anugrah terbesar dari Alloh. Ketika keyakinan kita menuntut peng-Esaan Alloh , maka dalam hal apa pun tidak diperkenankan kita memasukkan unsur-unsur lain yang melahirkan oknum-oknum Tuhan baru selainNya. Jika kita benar-benar bertauhid, maka sinkretisme, okultisme, penyembahan terhadap bangunan, benda, kuil, sudah saatnya dipertanyakan kembali. Benarkah kita masih mengakui Alloh Yang Maha Tunggal? Derivasinya, istilah-istilah yang akan mengaburkan ketauhidan harus dibuang bukan dipertahankan dengan merekayasa makna sebuah kata.
Qul Huwallahu Ahad, Allohush-shomad, Lam Yalid walah Yuulad, Walam Yakun lahuu kufuwan Ahad. Alloh hanya satu, Alloh tempat memohon, tidak beranak dan tidak diperanakan, dan tidak ada satu pun yang setara denganNya. Jika ritual dan pengabdian Kita kepada Alloh masih mengadopsi ritual-ritual jahiliyyah, dengan mengesampingkan unsur transendens Keilahian, seperti apakah keyakinan kita?
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Oknum-Oknum Ketauhidan"