Sumber Photo: Katsdlik |
Dampak dari pemisahan diri ini melahirkan kelompok sosial baru, pejabat negara. Kelompok sosial turunan dari pejabat negara adalah lahirnya masyarakat baru. Tatanan ekonomi pun memisahkan diri dalam kehidupan, ia terpisah dan membentuk nilai baru dalam masyarakat yang baru terbentuk pula. Kehidupan di dalam masyarakat baru dipengaruhi secara besar oleh hukum pasar dan uang. Apa pun harus terukur oleh untung dan rugi. Jenis masyarakat baru ini menempati daerah-daerah sub-urban dan pada akhirnya melahirkan kelompok neo-urban dengan beberapa ciri yang tidak bisa lepas dari hukum pasar dan uang.
Memang terlalu prematur bagi kita untuk menyalahkan lahirnya masyarakat dan bentuk barunya disebabkan oleh terlepasnya negara dari kehidupan. Perlu kajian lebih jauh terhadap hal ini. Hanya saja, dengan terbentuknya masyarakat baru ini tatanan nilai baru pun terbentuk. Di era Orde Baru, ada tekad baik dari pemerintah untuk mengembalikan lagi nilai-nilai dan jati diri bangsa. Wacana pembangunan “Manusia Indonesia Seutuhnya” dibahasakan, kemudian diprogramkan, dan pada akhirnya dibangun satu sistem untuk membangun harapan tersebut.
“Manusia Indonesia Seutuhnya” adalah manusia yang hidup dalam bingkai nilai luhur serta akar budaya bangsa. Nilai-nilai yang dikembangkan Orde Baru diwakili oleh nilai-nilai Jawa, bagaimana tata krama seorang anak kepada orangtuanya, dan sebaliknya. Orde Baru membangun manusia Indonesia melalui bingkai pengenalan terhadap nilai, etika, serta moral. Pendidikan Moral Pancasila dan P4 diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi. Simulasi-simulasi dalam pelaksanaan penataran P4 difokuskan pada penekanan moral. Bagaimana seorang anak bersikap kepada orangtua. Dan pada akhirnya muncul sebuah simpul besar; negara akan aman dan tertib jika warga negara manut, tunduk, dan patuh pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh negara, pembangkangan merupakan tindakan sub-versif . Negara adalah para elit pemerintah.
Wacana warga negara harus menjadi Manusia Pancasila ini sepenuhnya ditujukan untuk kemakmuran bangsa itu sendiri. Arah dan tujuan pembangunan negara seperti tersurat dalam GBHN, menitik beratkan pada hal ini. Kemakmuran sebuah Negara akan diraih jika manusia-manusia sebagai warga suatu negara melenyapkan kelemahan , kelemahan akan lenyap jika dalam diri manusia tertanam nilai-nilai luhur bangsa; kejujuran, gotong royong, kekeluargaan, dan keadilan. Selama dua dekade –tahun 1970 dan 1980- program Orde Baru untuk memanusiakan manusia Indonesia dinilai cukup berhasil jika bidikannya manusia sebagai kelompok sosial masyarakat. Tetapi, manusia sebagai individu atau orang telah dinihilkan dari kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat. Kejujuran yang dicita-citakan terkubur dalam manifulasi individu dalam sikap “ABS”, Asal Bapak Senang. Maka, kemakmuran dan hasil pembangunan pun dipasang pasa baliho-baliho, hasil panen, swa sembada pangan, barometer keberhasilan pembangunan ada pada pertumbungan ekonomi setiap Pembangunan Lima Tahun.
Pada sisi lain, kejujuran yang sebenarnya sama sekali belum mewujud. Kroni Kapitalis menguasai sendi-sendi perekonomian negara. Tidak heran, pada tahun 1998, tatanan negara ini ambruk. Pengungkapan KKN yang dilakukan oleh kroni Orde Baru menjadi tuntutan awal gerakan reformasi. Manusia Indonesia Seutuhnya, belum terbentuk. Pada tahun tersebut bagaimana kita bisa menjelaskan, tiba-tiba orang Indonesia menjadi bangsa sangar, menghasilkan peristiwa-peristiwa mencengangkan; kasus pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa menjelang reformasi di bulan Mei 1998, penjarahan, dan perang antar kelompok?
Era reformasi seolah telah membangunkan macan lapar dari tidur panjangnya. Nilai-nilai luhur bangsa yang diperkenalkan dan disimulasikan dalam Pendidikan Moral Pancasila dan P4 tampak begitu klise ketika Orde Baru runtuh. Di era reformasi, masyarakat bentuk baru ketika Orde Baru telah menampakkan nilai apa yang selama ini mereka anut? Bukan nilai luhur bangsa kecuali masih tetap dipengaruhi oleh hukum pasar dan uang. Demokrasi pun dengan beragam emblemnya lahir, kemerdekaan dan kebebasan, tetapi tetap saja pengaruh hukum pasar dan uang terus mewarnai demokrasi di negara ini. Masyarakat begitu bahagia dan larut dalam ingar-bingar money politics di setiap pesta demokrasi. Uang menjadi panglima, mayoritas calon Presiden, Calon Kepala Daerah, dan Calon Legislatif tidak bisa lepas dari kuatnya cengkraman money politics.
Transisi masyarakat sub-urban menjadi kelompok urban ini terlihat begitu jelas. Presiden lebih enak mewacanakan penyediaan mobil mewah untuk rakyat daripada mewacanakan pembangunan taman bacaan, sekolah tanpa biaya, tunjangan sosial kepada para manula, dan pembangunan nilai-nilai luhur bangsa. Berbeda dengan negara-negara maju, di Canada dan negara-negara Skandinavia, pemerintah lebih banyak memikirkan agar orang-orang kaya bersedia menggunakan sarana transportasi publik bukan malah berpikir bagaimana cara agar orang-orang miskin membeli kendaraan. Wajar jika Mulder memberi pandangan, Negara ini sedang morat-marit. [ ]
Posting Komentar untuk "Potret Bangsa Ini"