Dalam penyelenggaraan acara Dialog Sejarah Budaya sebagai salah satu bentuk sosialisasi budaya lokal, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Sukabumi dalam pandangan saya baru membuat pintu masuk saja terhadap dialog-dialog sejarah budaya di masa yang akan datang dan lebih komprehensif. Meskipun pada penyelenggaraan setiap kegiatan sering lebih terlihat "acara berbasis proyek", mau tidak mau penyelenggaraan apa pun, apalagi dalam acara-acara yang mengulas persoalan budaya harus memerhatikan aspek keberlanjutan.
Memang, sebagai manusia berbudaya, kita tidak akan pernah habis dalam mewacanakan hingga men-dialog-kan persoalan budaya. Pasca reformasi, setelah orde baru dengan kebijakan-kebijakan sentralistiknya memasukkan setiap budaya dari berbagai etnis dan daerah ke dalam skup budaya nasional, ada semacam kebangkitan baru, semangat dari berbagai daerah untuk menggali hingga membumikan kembali budaya yang mewarnai kehidupan di daerah-daerah. Tentu saja dengan cara dan pandangan berbeda. Dalam kajian ilmiah, munculnya semangat baru ini merupakan hal lumrah, sebagai bentuk menduga-duga, entah dilakukan dengan cara bijak juga dengan cara alay atau lebay.
Sikap-sikap seperti di atas pada akhirnya akan memunculkan pandangan baru, bagaimana pun juga, menggali hingga membumikan budaya lokal harus tetap memerhatikan "kesamaan definisi baik terminologi maupun etimologi" terhadap budaya lokal yang akan dikaji secara utuh. Banyak di antara kita masih bertanya: Apa sich budaya asli Sunda ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu bisa dilakukan dengan menggali dan mengkaji unsur-unsur universal budaya: sistem religi, bahasa, sistem matapencaharian, sistem seni-estetika, sistem sosial kemasyarakatan,sistem teknologi, dan sistem pengetahuan. Tujuh unsur budaya tersebut -telah dan masih ada- dalam kehidupan kita, terbentuk dalam bentuk serta wujud kebudayaan. Pandangan lebih jauh untuk melakukan kajian terhadap masa lalu, upaya untuk meneliti hingga menemukan bentuk orisinil budaya lokal bukan persoalan mudah, hal ini memerlukan proses panjang. Ranahnya telah masuk ke dalam kajian sejarah dan peradaban.
Polemik muncul di berbagai media sosial, masing-masing memiliki klaim, ini lho budaya asli Sunda! Padahal hanya baru pada salah satu unsur budaya saja. Kadang tanpa mempertimbangkan time line, waktu sejarah, bahwa budaya yang berkembang di masyarakat ini bersifat cair, di sana-sini telah mengalami akulturasi, asimilasi, infiltrasi, bahkan invasi dari pemegang kekuasaan. Diskusi panjang dalam bentuk perdebatan dipengaruhi oleh belum ditemukannya ukuran yang jelas, apa yang harus kita bahas, dalam pribasa Sunda disebutkan, henteu puguh mana hulu mana buntut, akhirnya marebutkeun paisan kosong.
Pada sesi dialog, Saya memberikan pandangan kepada pemateri ke-dua tentang cagar budaya, permasalahan yang muncul dalam mengkaji budaya di media sosial lebih dipengaruhi oleh "semangat" manusia Sunda dalam upaya menemukan kembali jati dirinya. Fajar Laksana, sebagai pemateri ke-dua telah menerbitkan buku: Sasakala Sejarah Islamisasi Prabu Siliwangi, ini dipandang sebagai sebuah kontroversi, di berbagai media muncul mulai dari tanggapan biasa, kritik hingga hujatan, sayangnya, bukan pada konten dan materi buku tersebut, lebih mengarah kepada hal-hal di luar obyektifitas.
Harus diakui, buku yang telah diterbitkan tersebut memiliki nilai paradoksal pada pemberian judul, Sasakala dan Sejarah. Dongeng atau wiracarita sebagai bagian dari sastra (adab), sejarah sebagai bagian dari kajian sejarah. Jika, buku tersebut tidak disertai dengan pengantar dan pendahuluan sudah bisa dipastikan akan melahirkan perdebatan panjang, harus diklasifikasikan terlebih dahulu, apakah masuk ke dalam genre Sastra atau Ilmu sosial (sejarah)? Jika membaca dan menelaah konten dalam buku tersebut, maka Saya bisa memberikan sebuah simpulan, buku tersebut harus dikategorikan sebagai buku sastra, bukan sejarah. Jika benar, buku tersebut telah didistribusikan ke beberapa sekolah, maka harus diperkuat dengan penjelasan bahwa buku ini bergenre sastra, masuk ke dalam sasakala atau dongeng.
Bagi masyarakat Timur, dongeng merupakan media ampuh untuk membentuk karakter dan kepribadian, bahkan, di berbagai belahan dunia manapun, tidak sedikit dongeng yang dikategorikan ke dalam sage dan mitologi menjadi atau dianggap sebagai sebuah kebenaran tanpa perlu adanya fakta-fakta historis namun telah menjadi semacam pemantik semangat hidup masyarakat di tempat tersebut. Revitalisasi budaya lokal merupakan salah satu upaya untuk sampai kepada hal tersebut, memilah dan memilih mana budaya orosinil dan mana budaya hasil akulturasi, asimilasi, infiltrasi, hingga invasi.
Sudah tentu, manusia telah ditetapkan sebagai pemeran dalam hidup ini, ulah ngarawu ku siku, masing-masing telah memiliki peran dalam mengaktualisasikan unsur-unsur universal budaya lokal. Ini akan mewujud menjadi sebuah pohon besar, berakar, berbatang, bercabang, dan berbuah. Itulah peradaban dan kebudayaan yang sebenarnya.
Kang Warsa
Memang, sebagai manusia berbudaya, kita tidak akan pernah habis dalam mewacanakan hingga men-dialog-kan persoalan budaya. Pasca reformasi, setelah orde baru dengan kebijakan-kebijakan sentralistiknya memasukkan setiap budaya dari berbagai etnis dan daerah ke dalam skup budaya nasional, ada semacam kebangkitan baru, semangat dari berbagai daerah untuk menggali hingga membumikan kembali budaya yang mewarnai kehidupan di daerah-daerah. Tentu saja dengan cara dan pandangan berbeda. Dalam kajian ilmiah, munculnya semangat baru ini merupakan hal lumrah, sebagai bentuk menduga-duga, entah dilakukan dengan cara bijak juga dengan cara alay atau lebay.
Sikap-sikap seperti di atas pada akhirnya akan memunculkan pandangan baru, bagaimana pun juga, menggali hingga membumikan budaya lokal harus tetap memerhatikan "kesamaan definisi baik terminologi maupun etimologi" terhadap budaya lokal yang akan dikaji secara utuh. Banyak di antara kita masih bertanya: Apa sich budaya asli Sunda ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu bisa dilakukan dengan menggali dan mengkaji unsur-unsur universal budaya: sistem religi, bahasa, sistem matapencaharian, sistem seni-estetika, sistem sosial kemasyarakatan,sistem teknologi, dan sistem pengetahuan. Tujuh unsur budaya tersebut -telah dan masih ada- dalam kehidupan kita, terbentuk dalam bentuk serta wujud kebudayaan. Pandangan lebih jauh untuk melakukan kajian terhadap masa lalu, upaya untuk meneliti hingga menemukan bentuk orisinil budaya lokal bukan persoalan mudah, hal ini memerlukan proses panjang. Ranahnya telah masuk ke dalam kajian sejarah dan peradaban.
Polemik muncul di berbagai media sosial, masing-masing memiliki klaim, ini lho budaya asli Sunda! Padahal hanya baru pada salah satu unsur budaya saja. Kadang tanpa mempertimbangkan time line, waktu sejarah, bahwa budaya yang berkembang di masyarakat ini bersifat cair, di sana-sini telah mengalami akulturasi, asimilasi, infiltrasi, bahkan invasi dari pemegang kekuasaan. Diskusi panjang dalam bentuk perdebatan dipengaruhi oleh belum ditemukannya ukuran yang jelas, apa yang harus kita bahas, dalam pribasa Sunda disebutkan, henteu puguh mana hulu mana buntut, akhirnya marebutkeun paisan kosong.
Pada sesi dialog, Saya memberikan pandangan kepada pemateri ke-dua tentang cagar budaya, permasalahan yang muncul dalam mengkaji budaya di media sosial lebih dipengaruhi oleh "semangat" manusia Sunda dalam upaya menemukan kembali jati dirinya. Fajar Laksana, sebagai pemateri ke-dua telah menerbitkan buku: Sasakala Sejarah Islamisasi Prabu Siliwangi, ini dipandang sebagai sebuah kontroversi, di berbagai media muncul mulai dari tanggapan biasa, kritik hingga hujatan, sayangnya, bukan pada konten dan materi buku tersebut, lebih mengarah kepada hal-hal di luar obyektifitas.
Harus diakui, buku yang telah diterbitkan tersebut memiliki nilai paradoksal pada pemberian judul, Sasakala dan Sejarah. Dongeng atau wiracarita sebagai bagian dari sastra (adab), sejarah sebagai bagian dari kajian sejarah. Jika, buku tersebut tidak disertai dengan pengantar dan pendahuluan sudah bisa dipastikan akan melahirkan perdebatan panjang, harus diklasifikasikan terlebih dahulu, apakah masuk ke dalam genre Sastra atau Ilmu sosial (sejarah)? Jika membaca dan menelaah konten dalam buku tersebut, maka Saya bisa memberikan sebuah simpulan, buku tersebut harus dikategorikan sebagai buku sastra, bukan sejarah. Jika benar, buku tersebut telah didistribusikan ke beberapa sekolah, maka harus diperkuat dengan penjelasan bahwa buku ini bergenre sastra, masuk ke dalam sasakala atau dongeng.
Bagi masyarakat Timur, dongeng merupakan media ampuh untuk membentuk karakter dan kepribadian, bahkan, di berbagai belahan dunia manapun, tidak sedikit dongeng yang dikategorikan ke dalam sage dan mitologi menjadi atau dianggap sebagai sebuah kebenaran tanpa perlu adanya fakta-fakta historis namun telah menjadi semacam pemantik semangat hidup masyarakat di tempat tersebut. Revitalisasi budaya lokal merupakan salah satu upaya untuk sampai kepada hal tersebut, memilah dan memilih mana budaya orosinil dan mana budaya hasil akulturasi, asimilasi, infiltrasi, hingga invasi.
Sudah tentu, manusia telah ditetapkan sebagai pemeran dalam hidup ini, ulah ngarawu ku siku, masing-masing telah memiliki peran dalam mengaktualisasikan unsur-unsur universal budaya lokal. Ini akan mewujud menjadi sebuah pohon besar, berakar, berbatang, bercabang, dan berbuah. Itulah peradaban dan kebudayaan yang sebenarnya.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Dialog Sejarah Budaya Lokal"