Pertanyaan mendasar yang muncul ketika - siapa pun - membicarakan 'budaya sebuah daerah' adalah, apa budaya asli daerah tersebut? Jelas sekali pertanyaan ini harus dijawab. Sejak satu dekade ini, secara sporadic , kita – sebagai orang Sunda – dibahagiakan oleh betapa bersemangatnya sebagian besar dari kita menampilkan ; apa yang telah ditekadkan, diucapkan, dan dilakukan oleh 'karuhun kita'. 'Kasundaan' yang – telah sekina lama - jarang muncul di dalam kehidupan , sejak masuknya berbagai keyakinan yang disebarluaskan oleh bangsa-bangsa lain, tiba-tiba menjadi lebih ngetrend di masa sekarang. Seolah ada panggilan, siapa pun kita yang memiliki rasa dan rumasa sebagai orang Sunda harus menampilkan 'Kasundaan' yang telah lama hilang.
Berbagai corak dan bentuk budaya; baik ide, gagasan, hingga kebiasaan yang dianggap sebagai warisan para leluhur ditampilkan kembali dalam setiap perhelatan. Pangsi dan kebaya –saat ini – menjadi lebih dikenal dari sepuluh tahun lalu. Di Kota Sukabumi saja, setiap hari Rabu, para PNS diajak untuk mengenakan pangsi dan kebaya. Di sekolah-sekolah, seni dan budaya Sunda dijadikan kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Ini bukan merupakan euphoria atau gempita budaya melainkan sebuah apresiasi betapa bersemangatnya kita sebagai orang Sunda ketika bersentuhan langsung dengan budaya milik sendiri. Harus diakui, ini merupakan hal baik ketika serbuan budaya asing benar-benar telah memukul generasi sekarang dari berbagai sudut.
Berbagai komunitas lahir, mereka bergerak serta menitikberatkan kegiatan pada peng-eksplorasian budaya Sunda . Bukan hanya meng-eksplorasi, komunitas dan paguyuban tersebut memang telah menampilkan dan mengenalkan kembali berbagai varian model kesenian Sunda kepada masyarakat. Lokatmala ada dibarisan depan yang mengenalkan batik tulis pewarna alam khas Sukabumi. Satu tahun terakhir ini dalam setiap perhelatan dan acara yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, Paguyuban Karinding Karasukan Sukabumi sering tampil memainkan karinding, suling, dan celempung (alat-alat musik tradisional Sunda). Bola Seuneu (Boles) dan Lisung Ngamuk sebagai hiburan atraktif Paguron Maung Bodas telah mendapat apresiasi dari masyarakat Jawa Barat sebagai kesenian khas dari Sukabumi. Beberapa bulan lalu, Wayang Sukuraga telah mengembangkan konsep 'kampung Sukuraga' di Kelurahan Sukakarya. Harapan ke depan, sudah tentu Kota Sukabumi tidak hanya dikenal sebagai kota Mochi saja.
Jika kita merunut time-line sejarah perkembangan seni dan budaya Sunda di Sukabumi tidak hanya berlangsung pada beberapa tahun terakhir ini. Di tahun 70-80an sanggar Sri Asih tampil sebagai pioneer seni pertunjukan di Sukabumi. Sri Asih dikenal sebagai sanggar yang biasa menampilkan 'pentas kesenian rakyat' dalam pementasan drama Sunda. Tema pokok yang disuguhkan selalu tidak terlepas dari carita, sasakala, dan babad yang telah dikenal baik oleh masyarakat. Memang - sejak tahun 1970 hingga 1980 - jarang sekali sanggar seni dan teater di Sukabumi yang menampilkan muatan drama berisi 'satire-satire ' politik, hal ini disebabkan oleh pengaruh kekuasaan Orde Baru terhadap setiap lini kehidupan begitu kuat. Pada tahun 1988, gedung teater tempat pementasan drama Sunda sanggar Sri Asih yang digagas oleh Cuk Yan terbakar. Hal ini berbanding lurus dengan awal padamnya pentas seni pertunjukan dan drama Sunda di Sukabumi.
Pada periode ini, pentas seni pertunjukan tidak hanya dimeriahkan oleh sanggar Sri Asih, paguyuban reog "Supados" memainkan peran penting dalam perkembangan seni dan budaya Sunda di Sukabumi. Sebagai sarana dan media hiburan rakyat, reog ini memiliki fungsi penyampai isu-isu kehidupan. Pesan yang disampaikan dibingkai dalam dialog bergenre 'guyonan' namun segar. Paguyuban reog "Supados" ini dikenal secara luas oleh masyarakat Sukabumi. Salah seorang personil paguyuban tersebut, Mang Dedi Mulyadinata merupakan pembawa acara dongeng Sunda di beberapa radio di Sukabumi. Dongeng Sunda ini pun telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masa perkembangan seni dan budaya Sunda di Sukabumi.
Perkembangan seni pertunjukan di Sukabumi tidak terlepas dari pengaruh seni dan budaya Sunda secara menyeluruh yang berlangsung di Tatar Sunda. Sukabumi, di masa perkembangannya merupakan sebuah wilayah diaspora, populasi penduduk berasal dari berbagai daerah memiliki pola pemukiman terpusat, dari pemukiman pusat menyebar ke pelosok-pelosok hingga unit terkecil atau lembur-lembur baru. Pola pemukiman penduduk seperti ini mengakibatkan segala bentuk kegiatan - salah satunya seni dan budaya Sunda - terpusat di wilayah Cikole Tengah Sukabumi. Seni dan budaya Sunda yang popular di Sukabumi merupakan sintesis berbagai model kesenian dan budaya dari wilayah Priangan, Betawi, Belanda, Arab, Hindu,dan Melayu yang dibawa oleh para pendatang. Sanggar dan paguyuban didirikan mengikuti ritme perkembangan seni dan budaya di tatar Sunda. Sintesis dan percampuran budaya ini menjadi alasan, dari tahun 50-80an, para seniman tidak pernah mengalami kekeringan ide kreatif dan rekreatif bagaimana mereka mendesain kesenian agar tetap disenangi oleh masyarakat. Di masa ini, Sukabumi pernah menjelma sebagai kota seni dan budaya.
Di daerah-daerah kampung adat, seperti Sirnaresmi, berbagai model kesenian seperti; Dogdog Lojor, Jipeng, Parebut Sééng telah menjadi seni pergaulan di masyarakat hingga sekarang. Tiga model kesenian tersebut pada awalnya dipengaruhi oleh seni yang biasa ditampilkan pada upacara-upacara adat dan keyakinan, lambat laun bisa diperankan secara luas oleh masyarakat.
Fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah betapa beragam dan kompleksnya seni dan budaya yang berkembang di Sukabumi ini, maka –sudah seharusnya –tidak ada alasan apapun untuk mengeliminasi berbagai model kesenian tersebut. Semua akan bermuara pada satu pandangan, betapa keberbagaian model dan bentuk ini harus tetap dijaga sebagai 'budaya asli' Sukabumi. Terlalu jauh jika pemerintah dan masyarakat di Sukabumi mencari-cari budaya asli ke masa lalu yang tidak pernah dialami ketika fakta-fakta yang terlihat jelas di depan mata seolah dianggap sebagai hal-hal baru. Artinya, budaya asli Sukabumi adalah apa yang terdapat di dalam unsur-unsur kebudayaan itu sendiri; "Basa, pakakas jeung pakarang, pakasaban, paguyuban, pangaweruh jeung pangarti, seni, dan kayakinan. Semua bermula dari benih dan akar yang tumbuh di tatar Sunda ini.
Penemuan bentuk dan model baru kebudayaan hanya merupakan inovasi dan invensi dari tujuh unsur kebudayaan tersebut, sama sekali tidak menghilangkan peran 'budaya asli'-nya. Berbagai varian model kesenian dan paguyuban-paguyuban baru bersifat derivative, penjabaran dari 'budaya asli' orang Sunda. Tidak jauh berbeda dalam mengkaji sejarah Sukabumi. Untuk menemukan jejak sejarah Sukabumi tidak terlalu penting mengulas persoalan-persoalan di masa lalu yang bersumber dari wiracarita tanpa bukti dan data primer yang kuat. Pembahasan seperti ini cukup menyentuh ranah wawacan dan harus dikategorikan sebagai bagian dari kesusanteraan. Kurang pantas jika kita menerbitkan sebuah buku tanpa sumber sejarah kemudian disebut-sebut sebagai buku sejarah.
Pembahasan terhadap masa lalu yang begitu kompleks justru akan memudarkan sejarah dan budaya asli Sukabumi, yang lahir adalah pengakuan-pengakuan bahwa diri kita merupakan para ponggawa budaya asli Sukabumi, para prajurit dan pengawal budaya Sunda. "Nepi ka biwir jebléh ogé, urang nyarita kudu ngamumulé budaya sorangan, can tangtu ngawujud ari henteu jeung prakna mah!"
Dan tentu saja, saat ini, pemerintah dan masyarakat Sukabumi harus berlapang dada. Sebab, para inohong, paguyuban-paguyuban, sanggar-sanggar seni, dan berbagai komunitas masih tetap mengupayakan bagaimana seni dan budaya Sunda ini tidak dianggap asing di negerinya sendiri. Meskipun, hingga saat ini, sejak gedung pementasan drama Sunda Sri Asih terbakar, Sukabumi sama sekali belum memiliki kembali gedung kesenian yang representatif bagi insan seni Sukabumi.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Budaya Asli Sukabumi"