Generasi Ke Enam: Messiah dari Berbagai Peradaban (Bagian Pertama)

Ramalan-ramalan dan prediksi tentang masa depan hampir ditemui dalam setiap peradaban. Dari cara pandang messianis hingga futuristis. Dan itu telah terjadi sejak jaman dahulu, seperti air bah yang tidak pernah mengalami surut, terus mengalir hingga menerjang dari satu peradaban ke peradaban berikutnya, dari generasi ke kegenari.

Alurnya begitu jelas, perubahan mengalir dari satu jaman ke jaman, diisi oleh tokoh sentral dan peristiwa penting yang menyertainya. Dengan menggunakan bahasa dan cara apa pun, ramalan atau prediksi tentang masa depan selalu terukur ketika kita merasakan dengan langsung apa yang pernah diramalkan oleh orang-orang di masa lalu. Mayoritas, ramalan-ramalan itu selalu hadir saat kondisi sebuah masyarakat berada di lembah keterpurukan, saat segala potensi kejahatan atau meminjam istilah Augustinus, “potensi iblis” begitu akrab dalam kehidupan.

Musa

Tidak akan lahir Musa dan eksodus besar-besaran bangsa Yahudi dari Mesir ke Kanaan jika prediksi atau ramalan tidak dibahasakan oleh Nun, seorang tokoh penting Yahudi di kamp konsentrasi perbudakan orang-orang Yahudi oleh Ramses II. Nun,orangtua itulah yang menyematkan harapan kepada orang-orang yang diperbudak oleh arogansi penguasa Mesir, kelak dalam waktu dekat akan lahir seorang messiah, sang pembebas yang diutus oleh Yahweh untuk memerdekakan bangsa Yahudi dari perbudakan Ramses II. Orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi perbudakan semakin percaya ketika dua tentara Ramses II dibunuh oleh anak angkat Sethi. Barangkali, dialah messiah itu, Moses sang pembebas.

Sementara, kita di jaman ini sama sekali tidak tahu, peristiwa dan desain kejadian sebenarnya yang berlangsung waktu itu. Literatur-literatur dan folkor-folklor dalam tradisi Ibrani begitu sedikit bisa mengungkap fakta yang benar-benar terjadi,bagaimana kronologi peristiwa pembebasan bangsa Yahudi oleh Musa dari perbudakan Ramses II. Mungkin saja, Nun tidak mau tahu, apakah ramalannya itu benar atau tidak, tujuannya satu, memberikan harapan baru, kemerdekaan atas penindasan yang dilakukan oleh Ramses II atas bangsa Yahudi.

Tidak terlalu penting mengupas fakta-fakta sejarah yang sebenarnya, yang jelas peristiwa pembebasan bangsa Yahudi oleh Musa seolah memang benar-benar terjadi pada abad ke-15  Sebelum Masehi. Dan keputusan untuk meyakini Musa sebagai messiah ini telah menghasilkan keyakinan mutlak bangsa Yahudi, putusnya kenabian sampai pada Musa, setelah itu tidak akan pernah lahir kembali messiah lain, jika pun ada, mereka adalah nabi-nabi atau messiah-messiah palsu.

Yesus

Kekejaman kekaisaran Romawi di bawah Raja Herodes terhadap orang-orang dari Babel hingga Jerussalem kembali melahirkan pandangan baru, akan lahir seorang messiah yang lebih memilih untuk mengajarkan kasih dan saying untuk melawan kekejaman. Orang-orang Parsi dan Aramia meyakini hal ini, karena dampak langsung kekejaman imperium Romawi ini dirasakan oleh mereka. Orang-orang Yahudi yang merasa telah menjadi bangsa merdeka mencibir terhadap pandangan akan lahir kembali Sang messiah.

Dalam tradisi bangsa Yahudi, messiah telah berakhir di masa eksodus nenek moyang mereka dari Mesir ke Kanaan. Pemikiran baru tentang akan lahir kembali messiah melanggar semangat Talmud dan Torah, dua kitab tersebut tidak memberitakan persoalan jika bangsa lain akan memiliki messiah juga. Tetap saja, seorang bayi dari perawan suci pun lahir, para penggembala dari Persia melihat bintang terang menghasilkan bias sinar berbentuk salib. Itulah pertanda, seorang messiah telah lahir.

Dua puluh lima tahun kemudian, klandestin baru lahir, Yesus bersama dua belas orang muridnya mengajarkan bagaimana manusia diharuskan menjaga kasih dan sayang kepada sesama agar kehidupan berjalan harmoni. Pada sisi lain, imperium Romawi pun telah menyepakati, messiah itu telah berakhir pada masa Remus dan Romulus! Setelah itu akan muncul messiah-messiah palsu yang harus dibunuh. Tetapi, tekanan dari Herodes sama sekali tidak mengubah panggung cerita, messiah itu lahir dalam diri Yesus (Isa). Para pengikutnya mengurapi Yesus pada perjamuan terakhir.

Muhammad

Orang-orang di gurun pasir, hidup di lingkungan yang memiliki cuaca panas di siang hari dan dingin menggigit di malam hari. Adanya sumber mata air menjadi harapan sekaligus bisa menjadi rebutan setiap kabilah yang telah sekian ribu tahun hidup sebagai orang-orang nomaden di sana. Kondisi alam ini, telah mencetak orang-orang gurun menjadi mahluk memiliki dua sikap, antara kedermawanan yang berlebihan dan kebengisan yang dilandasi oleh rasa bangga diri terhadap suku dan golongan. Tribalisme mengakar.

Perlahan, tahun ke tahun dan jaman ke jaman bangsa-bangsa di pelataran yang kemudian dinamai Jazirah Arab hidup dalam pertikain antara satu kabilah dengan kabilah lain. Kehormatan akan diraih oleh satu kabilah ketika mereka telah mampu menguasai sumber mata air. Kesepakatan dan konsensus kapan kabilah-kabilah tersebut dibolehkan dan dilarang melakukan peperangan terbentuk. Ras Semit dan Het menguasai potensi sumber daya alam selama hampir 500 tahun paska sang messiah dari Jerussalem dinyatakan hilang; meninggah atau bisa jadi dalam pandangan tradisional diangkat ke langit oleh Sang Maha Kuasa.

Meskipun demikian, bukan tidak ada sekelompok manusia baik dalam lingkungan barbar seperti itu. Tiga  abad pasca hilangnya sang messiah dari Jerussalem, berita baik dihembuskan oleh sekelompok orang yang menguasai dan mendiami sumber mata air di lembah pegunungan Haran. Mereka merupakan suku nomaden namun berhati lembut, tidak menyukai perang, lebih memilih menghindari pertumbahan darah. Mereka membentuk koloni baru yang jauh dari ingar-bingar ringkik kuda perang.

Kabilah ini beranak pinak, semakin besar kemudian menisbatkan nama bagi suku mereka kepada leluhur mereka sebagai penjaga sumur  suci bernama: Hasyim. Pada mulanya, mereka mengajarkan satu keyakinan, Dewa tertinggi yang harus mereka sembah adalah dewa air. Kabar telah terbentuknya sebuah kota baru didengar oleh hampir setiap kabilah yang ada di sana, perlahan, kota kecil itu mewujud menjadi kota yang ramai dikunjungi oleh setiap kabilah, karena kebutuhan mereka terhadap air begitu tinggi. Namun, mereka menghormati anak-cucu Hasyim dan tetap menjadikannya sebagai penjaga sumur suci yang kemudian hari dinami sumur Zamzam.

Bakkah, sebuah kota baru tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai kabilah, tempat bersemayamnya tuhan-tuhan yang diyakini oleh setiap kabilah. Iklim kosmopolis tradisional terbentuk, tradisi-tradisi berasimilasi, budaya dan folklore berakulturasi. Bani Hasyim telah terlebih dahulu memberikan tanda persis di dekat sumur suci, sebuah tanda berupa kotak persegi dari susunan batu menyerupai kubus (Ka’bah=Cube). Sebagian orang meyakini, bangunan atau kuil itu didirikan sebagai bentuk penghargaan kepada Ibrahim dan sebagian lagi meyakini pembangunan kuil itu atas usulan dari Vikramandtya, kuil sebagai tempat pemujaan bagi dewa air. Tidak beran, seluruh kabilah menyimpat berhala-berhala di dalam bangunan yang dijaga baik oleh anak-cucu Hasyim dari generasi ke generasi.

Kota kosmopolis tradisional yang dipenuhi oleh keberbagaian telah menghasilkan patologi-patologi social yang belum pernah ditemui sebelumnya. Kehormatan manusia diukur oleh berlimpahnya harta dan kekuasaan menjadi barometer kesuksesan di Bakkah. Bukan menjadi lebih baik, manusia semakin tenggelam ke dalam samudera gelap, perdamaian yang telah tiga abad dibangun oleh mereka hancur atas nama kehormatan dan harga diri.

Sekelompok orang yang tetap teguh pada pendirian harus ditegakkannya kebaikan dalam hidup lebih banyak berdiam diri, mengungsi ke tempat-tempat sepi, namun sesekali mereka datang kembali ke kota. Mereka mengaku sebagai pengikut ajaran dan jejak Ibrahim sebagai kelompok manusia lurus. Mereka telah menerima kabar dan membaca informasi dari berbagai kitab/buku suci, kelak di sebuah kota yang telah diselimuti oleh kultur kosmopolis akan lahir seorang messiah, manusia yang akan membawa manusia lain pada kebaikan. Tidak disebutkan secara pasti, siapa nama orang tersebut, namun mereka sangat meyakini akan munculnya messiah baru paska Yesus.

Di Bakkah, di antara kecamuk politik, di lingkungan masyarakat hedonis pemuja kemashuran, dan di lingkungan masyarakat politheis ini seorang messiah dilahirkan. Semua orang mengaku sebagai suku Quraisy, namun kekuasaan politis dikuasai oleh kelompok yang berasal dari suku Het, salah satunya Abu Sufyan. Kelompok inilah yang menguasai Bakkah di berbagai bidang, terutama politis.

Daarunnadwah, sebagai lembaga perwakilan rakyat Bakkah dikuasai sepenuhnya oleh mereka. Kebijakan-kebijakan kota ada di tangan mereka. Ketika Sang Nabi mengumumkan revolusi terhadap keyakinan-keyakinan tradisional yang dianut oleh masyarakat Bakkah dan ini merupakan ancaman besar bagi eksistensi kelompok Abu Sufyan, Abu Al-Hakam, dan Suhail ibnu Amr, tiga pilar kehidupan ini: konglimerat, politisi, dan agamawan tampil sebagai penentang utama ajaran yang dibawa oleh Sang Nabi.

Bersambung ….



Posting Komentar untuk "Generasi Ke Enam: Messiah dari Berbagai Peradaban (Bagian Pertama)"