Generasi Keenam: Messiah Dari Berbagai Peradaban (Bagian 2)

Bakkah, sebuah kota baru tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai kabilah, tempat bersemayamnya tuhan-tuhan yang diyakini oleh setiap kabilah. Iklim kosmopolis tradisional terbentuk, tradisi-tradisi berasimilasi, budaya dan folklore berakulturasi. Bani Hasyim telah terlebih dahulu memberikan tanda persis di dekat sumur suci, sebuah tanda berupa kotak persegi dari susunan batu menyerupai kubus (Ka’bah= Cube). Sebagian orang meyakini, bangunan atau kuil itu didirikan sebagai bentuk penghargaan kepada Ibrahim dan sebagian lagi meyakini pembangunan kuil itu atas usulan dari Vikramandtya, kuil sebagai tempat pemujaan bagi dewa air.

Tidak heran, seluruh kabilah menempatkan berhala-berhala di dalam bangunan yang dijaga baik oleh anak-cucu Hasyim dari generasi ke generasi. Kota kosmopolis tradisional yang dipenuhi oleh keberbagaian telah menghasilkan patologi-patologi sosial yang belum pernah ditemui sebelumnya. Kehormatan manusia diukur oleh berlimpahnya harta dan kekuasaan menjadi barometer kesuksesan di Bakkah. Bukan menjadi lebih baik, manusia semakin tenggelam ke dalam samudera gelap, perdamaian yang telah tiga abad dibangun oleh mereka hancur atas nama kehormatan dan harga diri.

Sekelompok orang yang tetap teguh pada pendirian harus ditegakkannya kebaikan dalam hidup lebih banyak berdiam diri, mengungsi ke tempat-tempat sepi, namun sesekali mereka datang kembali ke kota. Mereka mengaku sebagai pengikut ajaran dan jejak Ibrahim sebagai kelompok manusia lurus. Mereka telah menerima kabar dan membaca informasi dari berbagai kitab/buku suci, kelak di sebuah kota yang telah diselimuti oleh kultur kosmopolis akan lahir seorang messiah, manusia yang akan membawa manusia lain pada kebaikan. Tidak disebutkan secara pasti, siapa nama orang tersebut, namun mereka sangat meyakini akan munculnya messiah baru paska Yesus.

Di Bakkah, di antara kecamuk politik, di lingkungan masyarakat hedonis pemuja kemashuran, dan di lingkungan masyarakat politheis ini seorang messiah dilahirkan. Semua orang mengaku sebagai suku Quraisy, namun kekuasaan politis dikuasai oleh kelompok yang berasal dari suku Het, salah satunya Abu Sufyan. Kelompok inilah yang menguasai Bakkah di berbagai bidang, terutama politis.

Daarunnadwah, sebagai lembaga perwakilan rakyat Bakkah dikuasai sepenuhnya oleh mereka. Kebijakan-kebijakan kota ada di tangan mereka. Ketika Sang Nabi mengumumkan revolusi terhadap keyakinan-keyakinan tradisional tanpa merusak tradisi yang dianut oleh masyarakat Bakkah dan ini dipandang sebagai ancaman besar bagi eksistensi kelompok Abu Sufyan, Abu Al-Hakam, dan Suhail ibnu Amr, tiga pilar kehidupan ini: konglomerat, politisi, dan agamawan tampil sebagai penentang utama ajaran yang dibawa oleh Sang Nabi. Konflik antara Sang Messiah dan para sahabat dengan ‘kaum tirani’ Bakkah jika ditelaah memiliki kemiripan dengan apa yang telah terjadi pada Musa dan Yesus. Kedua belah pihak berusaha mempertahakan keyakinan mereka terhadap Yang Maha Tungga dan refleksi dalam mewujudkan bagaimana manusia mewujudkan tuhan yang disembah dalam kehidupan. Namun tetap saja, kelompok yang keluar sebagai pemenang adalah mereka yang berpihak kepada ‘nilai kemanusiaan’, dari era Musa hingga Muhammad, isu-isu strategis revolusi dan pembebasan adalah perlawanan kaum tertindas terhadap para penindas yang mengatasnamakan; kemashuran, kehormatan, perbudakan manusia atas manusia lain, dan kerakusan terhadap keyakinan.

Jauh sebelumnya, pada tahun 4.000 sebelum zaman ini, di sebelah utara Sungai Gangga, sebuah kota kuno bernama Ayodhya berdiri. Secara harfiah, kota ini bermakna, ‘ daerah yang selalu memenangi pertempuran’. Daerah ini merupakan wilayah periperial yang sangat subur. Sangat wajar, jika tidak ditemui peperangan antar kelompok di daerah ini. Tradisi-tradisi berjalan dengan baik, manusia berada pada posisinya masing-masing. Dalam tradisi Hindu, di masa ini tidak ditemui Natyam (Ketidakberesan) dalam kehidupan. Tidak ada seorang pun tahu dengan persis, siapa pemimpin komunitas Ayodhya, kecuali dalam mitologi Hindu disebutkan, kota ini dipimpin oleh Waiwaswata Manu, julukan terhadap seseorang manusia keturunan langsung dari Surya (Dewa Matahari).

Pergolakan terjadi, ketika manusia tidak mampu men-sistesiskan tradisi-tradisi yang ada dalam kehidupan. Kelompok-kelompok yang menguasai wilayah kota tua Ayodhya ini saling ‘mengumbar’ hak mereka untuk menguasai daerah subur di sepanjang Sungai Gangga. Ajaran Brahmanan, secara letterlerk kata ini merujuk kepada Bram, Abram, atau Abraham, yaitu ajaran yang menitikberatkan dalam menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, terkuras oleh pertikaian kelompok. Ajaran tentang totalitas ketika bersentuhan dengan keberagaman keinginan telah membentuk empat pilar kehidupan, hingga manusia dimasukkan ke dalam kelas-kelas, pada tahun 500-200 SM sistesis tradisi-tradisi di daerah aliran Sungai Gangga lahir empat kelompok manusia; Brahma, Ksatria, Wisya, dan Sudra.

Para penganut ‘Brahmanisme Murni’ tidak terjerembab ke dalam pola kehidupan seperti ini. Mereka tetap merindukan kehidupan manusia kembali berjalan normal, Satya Yuga, sebuah keadaan ketika kehidupan manusia lebih dekat dengan Tuhan, zaman keemasan saat kebenaran ditemui dimana-mana dan kejahatan merupakan menjadi hal yang tidak biasa dilakukan. Mereka benar-benar membutuhkan messiah baru. Di masa pergolakan inilah, Gautama lahir. Kapilavastu diterangi oleh pancaran cahaya dari langit. Orang-orang disana meyakini, Gautama inilah yang akan meleburkan pandangan-pandangan ketidakadilan dengan nilai kemanusiaan tentang kasih dan sayang. Bersambung ….

Posting Komentar untuk "Generasi Keenam: Messiah Dari Berbagai Peradaban (Bagian 2)"