Dalam dua opini terdahulu disebutkan bagaimana etika ajaran dari Timur lebih cenderung menitikberatkan pada kebahagiaan bathin. Logos sebagai manusia tidak lebih penting dari nilai dan etika kemanusiaan, itulah alasan kenapa agama dan ajaran dari Timur masih tetap hidup sampai sekarang dengan berbagai varian, sekte, aliran, dan golongannya.
Ajaran tentang kelahiran ‘Sang Messiah’ sebagai juruselamat dalam bingkai ‘paralogis’ menjadi antithesis terhadap ajaran dan keyakinan ‘logos’ yang dimiliki oleh manusia. Rasionalisme lebih menitikberatkan pada hal-hal real, pencapaian kemashuran dan kehormatan manusia pada saat ini. Tidak bersifat totalitas melainkan partikular. Semangat dan etika ini telah disimpulkan oleh Webber dalam ‘Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme’, dimana kelahiran Protestan lebih disemangati oleh hal-hal rasional dan bernilai ekonomis. Etika ini menggambarkan, sama sekali tidak ditemui penolakan terhadap urusan duniawi. Negara-negara Eropa penganut Protestan lebih mengedepankan pemenuhan ‘gold and glory’ daripada ‘gospel’ di era merkantilisme abad ke-17.
Ketika terjadi paradoks, ajaran dan agama yang sebenarnya lebih menekankan pencarian ataraxia (kebahagiaan bathin) kemudian harus sinergi dengan dua kekuatan lain; sumber daya alam dan kemashuran, hal tersebut disebabkan oleh beberapa kemungkinan; politisasi terhadap agama, agama yang dikuasai dan dikendalikan oleh para politisi, politik yang masih bersifat abu-abu dipaksa digiring masuk ke dalam ranah keyakinan, atau sebagai sebuah keniscayaan begitu progresnya kehidupan ini menjadi hal yang tidak bisa ditolak. Di awal perkembangannya, para messiah sama sekali tidak –dan menghindari – penyebaran agama melalui jalur kekuasaan. Namun catatan-catatan sejarah menginformasikan kepada kita, penyebaran agama melalui jalur politis dan kekuasaan terjadi paska para messiah meninggal dunia. Ajaran Yahudi telah dikolaborasikan dengan semangat anti diaspora melahirkan Zionisme, Konstantin sebagai penguasa imperium Romawi mewakafkan diri mengelaborasi ajaran Saul (Paulus) menjadi Kristen, Bani Umayah sebagai keturunan langsung Abu Sufyan mengembalikan kembali semangat kosmopolitan Mekkah era pra-kenabian dengan cara menebar kebencian kepada kelompok Bani Hasyim (Misalkan Ali Ibn Abi Tholib).
Penyebaran agama melalui jalur kekuasaan ini menjadi patologi dan penyakit tersendiri. Darmasiksa, pada abad ke 15 telah memprediksi dan memberikan peringatan kepada rakyat di Tatar Sunda yang telah menganut ajaran totalitas, kehidupan harmoni antara manusia dengan alam. Dalam naskah Amanat Galunggung, Raja Sunda tersebut menuliskan, harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut tanah kabuyutan (tanah yang disakralkan). Dalam Amanat Galunggung ini, Darmasiksa merindukan agar di masa depan, siapapun yang tinggal di Tatar Sunda bisa melahirkan Sang Messiah yang akan tetap melestarikan ajaran dan keyakinan yang telah dianut oleh ‘manusia’ di Tatar Sunda. Hal ini juga mengisyaratkan ‘taneuh kabuyutan’ pada saatnya tetap bisa direbut oleh orang asing.
Masuknya ajaran dan keyakinan ‘orang asing’ ke Nusantara (Tatar Sunda, Paparan Sunda Besar dan Sunda Kecil) ini telah membawa tonggak baru, berakhirnya kerajaan Sunda di Tatar Sunda. Etika totalitas dalam kehidupan berangsur berubah menjadi partikularisme. Dalam kondisi ini, dengan sangat mudah ‘orang asing’ menularkan pertikaian di Tatar Sunda yang sebelumnya dilakukan oleh nenek moyang mereka di tanah kelahirannya. Ajaran Timur sebagai bentuk totalitas hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan hubungan manusia dengan alam berevolusi mengikuti harusnya ajaran dan keyakinan memenuhi hasrat kehidupan.
Lambat dan pasti keyakinan ini diterima juga sebagai hal yang normal padahal dipenuhi oleh ketimpangan. Para menak Sunda dijadikan bemper terdepan dalam menguras sumber daya alam di tanah Parahyangan di masa ‘Preangeer Stelseel’. Catatan sejarah menuliskan betapara rakus dan liar Bupati Lebak dalam menguras hasil perkebunan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keluarganya saja. Diramalkan oleh Rangga Warsita, zaman edan ini akan terus berlangsung dan mengalir dari waktu ke waktu, silih berganti kepemimpinan di Nusantara ini sebagai proses perbaikan dari zaman edan hingga lahir kembali Sang Messiah, manusia pembebas, juruselamat yang akan kembali membawa negeri pada kemakuran. Luapan emosional Rangga Warsita sebagai bentuk kekesalannya terhadap pemerintah waktu itu yang lebih memilih mengikuti kehendak ‘orang asing’ daripada harus melayani rakyat. Dia menuliskan beberapa bait kondisi zaman edan sebagai berikut : “ amenangi zaman édan. éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada.” Lahir kegamangan dan paradoks dalam diri manusia, menjadi orang gila akan tidak tahan dan menjadi tidak gila tidak akan mendapat bagian.
Masa berakhirnya kekuasaan zaman keemasan kerajaan Sunda ini berbanding lurus dengan berakhirnya etika totalitas manusia terhadap alam. Salah satu peristiwa yang mengikuti berakhirnya kerajaan Sunda dan semangat totalitas ini yaitu sebuah gempa bumi dahsyat terjadi di Sukabumi pada tahun 1699 sebagai akibat pergeseran sesar Cimandiri (Opini Penulis di Radar Sukabumi, Pusaka Bumi Pajajaran, 3 Pebruari 2013). Pergeseran sesar atau patahan Cimandiri ini bukan hanya mengakibatkan perubahan struktur bumi, misalkan terbentuknya Sungai Cimandiri, juga telah merubah struktur kehidupan masyarakat. Peristiwa ini diyakini oleh masyarakat Sunda sebagai bentuk ketidakharmonian antara manusia dengan alam. “rahayat kabadi ku pulahna sorangan, anu rakus ku kayakinan batur bari mopohokeun titinggal karuhun”
Pada masa generasi ke-enam ini, romantisme lahir kembali di dalam kehidupan orang Sunda, mereka merindukan sosok messiah baru, raja atau pemimpin yang memiliki citra seperti Sri Baduga Maharaja, seorang raja yang telah membawa alam Parahyangan kepada semangat totalitas, telah membawa manusia pada ‘silih seungitan’ Siliwangi di masa kejayaan Pajajaran. Kerinduan terhadap sosok ini tertuang dalam sebuah prosa (ditulis entah oleh siapa) “Uga Wangsit Siliwangi”. Beberapa lembar naskah menceritakan manusia Sunda pasca Siliwangi ngahyang (Moksa) terbagi menjadi empat golongan. Kejayaan akan diraih kembali jika manusia Sunda membangun ‘Pajajaran Anyar’ di bawah kepemimpinan seorang ‘budak angon’, sang penggembala. Dalam tradisi Ibrani, beberapa nabi memang menjalani profesi sebagai penggembala. Melihat hal ini, naskah Uga Wangsit Siliwangi hanya berupa wiracarita atau folklor yang memiliki kemiripan dengan semangat ramalan profetik akan lahirnya Sang Messiah di Tatar Sunda. (Selesai)
Ajaran tentang kelahiran ‘Sang Messiah’ sebagai juruselamat dalam bingkai ‘paralogis’ menjadi antithesis terhadap ajaran dan keyakinan ‘logos’ yang dimiliki oleh manusia. Rasionalisme lebih menitikberatkan pada hal-hal real, pencapaian kemashuran dan kehormatan manusia pada saat ini. Tidak bersifat totalitas melainkan partikular. Semangat dan etika ini telah disimpulkan oleh Webber dalam ‘Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme’, dimana kelahiran Protestan lebih disemangati oleh hal-hal rasional dan bernilai ekonomis. Etika ini menggambarkan, sama sekali tidak ditemui penolakan terhadap urusan duniawi. Negara-negara Eropa penganut Protestan lebih mengedepankan pemenuhan ‘gold and glory’ daripada ‘gospel’ di era merkantilisme abad ke-17.
Ketika terjadi paradoks, ajaran dan agama yang sebenarnya lebih menekankan pencarian ataraxia (kebahagiaan bathin) kemudian harus sinergi dengan dua kekuatan lain; sumber daya alam dan kemashuran, hal tersebut disebabkan oleh beberapa kemungkinan; politisasi terhadap agama, agama yang dikuasai dan dikendalikan oleh para politisi, politik yang masih bersifat abu-abu dipaksa digiring masuk ke dalam ranah keyakinan, atau sebagai sebuah keniscayaan begitu progresnya kehidupan ini menjadi hal yang tidak bisa ditolak. Di awal perkembangannya, para messiah sama sekali tidak –dan menghindari – penyebaran agama melalui jalur kekuasaan. Namun catatan-catatan sejarah menginformasikan kepada kita, penyebaran agama melalui jalur politis dan kekuasaan terjadi paska para messiah meninggal dunia. Ajaran Yahudi telah dikolaborasikan dengan semangat anti diaspora melahirkan Zionisme, Konstantin sebagai penguasa imperium Romawi mewakafkan diri mengelaborasi ajaran Saul (Paulus) menjadi Kristen, Bani Umayah sebagai keturunan langsung Abu Sufyan mengembalikan kembali semangat kosmopolitan Mekkah era pra-kenabian dengan cara menebar kebencian kepada kelompok Bani Hasyim (Misalkan Ali Ibn Abi Tholib).
Penyebaran agama melalui jalur kekuasaan ini menjadi patologi dan penyakit tersendiri. Darmasiksa, pada abad ke 15 telah memprediksi dan memberikan peringatan kepada rakyat di Tatar Sunda yang telah menganut ajaran totalitas, kehidupan harmoni antara manusia dengan alam. Dalam naskah Amanat Galunggung, Raja Sunda tersebut menuliskan, harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut tanah kabuyutan (tanah yang disakralkan). Dalam Amanat Galunggung ini, Darmasiksa merindukan agar di masa depan, siapapun yang tinggal di Tatar Sunda bisa melahirkan Sang Messiah yang akan tetap melestarikan ajaran dan keyakinan yang telah dianut oleh ‘manusia’ di Tatar Sunda. Hal ini juga mengisyaratkan ‘taneuh kabuyutan’ pada saatnya tetap bisa direbut oleh orang asing.
Masuknya ajaran dan keyakinan ‘orang asing’ ke Nusantara (Tatar Sunda, Paparan Sunda Besar dan Sunda Kecil) ini telah membawa tonggak baru, berakhirnya kerajaan Sunda di Tatar Sunda. Etika totalitas dalam kehidupan berangsur berubah menjadi partikularisme. Dalam kondisi ini, dengan sangat mudah ‘orang asing’ menularkan pertikaian di Tatar Sunda yang sebelumnya dilakukan oleh nenek moyang mereka di tanah kelahirannya. Ajaran Timur sebagai bentuk totalitas hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan hubungan manusia dengan alam berevolusi mengikuti harusnya ajaran dan keyakinan memenuhi hasrat kehidupan.
Lambat dan pasti keyakinan ini diterima juga sebagai hal yang normal padahal dipenuhi oleh ketimpangan. Para menak Sunda dijadikan bemper terdepan dalam menguras sumber daya alam di tanah Parahyangan di masa ‘Preangeer Stelseel’. Catatan sejarah menuliskan betapara rakus dan liar Bupati Lebak dalam menguras hasil perkebunan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keluarganya saja. Diramalkan oleh Rangga Warsita, zaman edan ini akan terus berlangsung dan mengalir dari waktu ke waktu, silih berganti kepemimpinan di Nusantara ini sebagai proses perbaikan dari zaman edan hingga lahir kembali Sang Messiah, manusia pembebas, juruselamat yang akan kembali membawa negeri pada kemakuran. Luapan emosional Rangga Warsita sebagai bentuk kekesalannya terhadap pemerintah waktu itu yang lebih memilih mengikuti kehendak ‘orang asing’ daripada harus melayani rakyat. Dia menuliskan beberapa bait kondisi zaman edan sebagai berikut : “ amenangi zaman édan. éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada.” Lahir kegamangan dan paradoks dalam diri manusia, menjadi orang gila akan tidak tahan dan menjadi tidak gila tidak akan mendapat bagian.
Masa berakhirnya kekuasaan zaman keemasan kerajaan Sunda ini berbanding lurus dengan berakhirnya etika totalitas manusia terhadap alam. Salah satu peristiwa yang mengikuti berakhirnya kerajaan Sunda dan semangat totalitas ini yaitu sebuah gempa bumi dahsyat terjadi di Sukabumi pada tahun 1699 sebagai akibat pergeseran sesar Cimandiri (Opini Penulis di Radar Sukabumi, Pusaka Bumi Pajajaran, 3 Pebruari 2013). Pergeseran sesar atau patahan Cimandiri ini bukan hanya mengakibatkan perubahan struktur bumi, misalkan terbentuknya Sungai Cimandiri, juga telah merubah struktur kehidupan masyarakat. Peristiwa ini diyakini oleh masyarakat Sunda sebagai bentuk ketidakharmonian antara manusia dengan alam. “rahayat kabadi ku pulahna sorangan, anu rakus ku kayakinan batur bari mopohokeun titinggal karuhun”
Pada masa generasi ke-enam ini, romantisme lahir kembali di dalam kehidupan orang Sunda, mereka merindukan sosok messiah baru, raja atau pemimpin yang memiliki citra seperti Sri Baduga Maharaja, seorang raja yang telah membawa alam Parahyangan kepada semangat totalitas, telah membawa manusia pada ‘silih seungitan’ Siliwangi di masa kejayaan Pajajaran. Kerinduan terhadap sosok ini tertuang dalam sebuah prosa (ditulis entah oleh siapa) “Uga Wangsit Siliwangi”. Beberapa lembar naskah menceritakan manusia Sunda pasca Siliwangi ngahyang (Moksa) terbagi menjadi empat golongan. Kejayaan akan diraih kembali jika manusia Sunda membangun ‘Pajajaran Anyar’ di bawah kepemimpinan seorang ‘budak angon’, sang penggembala. Dalam tradisi Ibrani, beberapa nabi memang menjalani profesi sebagai penggembala. Melihat hal ini, naskah Uga Wangsit Siliwangi hanya berupa wiracarita atau folklor yang memiliki kemiripan dengan semangat ramalan profetik akan lahirnya Sang Messiah di Tatar Sunda. (Selesai)
Posting Komentar untuk "Generasi Ke-Enam: Messiah dari Berbagai Peradaban (Selesai)"