Sampai hari ini, ungkapan Sagaranten – daerah berbukit dan berlembah di Selatan Sukabumi – sebagai "Sagara Inten" (Samudera Intan) memang belum diteliti secara serius. Apakah hal ini hanya merupakan ungkapan atau memang benar penyebutan demikian merupakan hal lugas, jika di daerah tersebut tersebar intan.
Kalau hanya sebatas metafora, Sagaranten disebut "Sagara Inten", siapa pun tidak perlu berpikir dua kali bagaimana indah dan asri daerah ini. Kecuali itu, berbagai sumber daya alam baik perkebunan maupun sumber daya mineral jika dikelola dengan baik akan mampu mencukupi kebutuhan seluruh warga Sukabumi selama tujuh generasi ke depan. Dan ini tidak berlebihan.
Saya sering mengernyitkan kening ketika di dalam kitab-kitab suci yang – pada awalnya - diturunkan bagi bangsa Semit (Torah dan Injil) di dalamnya sering membahas keberadaan Sorga atau Jannaatu Adnin.
Ilustrasi sederhana dari tempat sebagai hadiah bagi kaum beriman ini adalah sebuah tempat tak berbatas, dipenuhi oleh aliran air, dan rimbun pepohonan. Kenapa bangsa-bangsa Semit merindukan kondisi yang berbeda dengan limgkungan mereka saat ini? Tanah tandus dan gersang. Kenapa kognisi mereka begitu mengikat erat pada kondisi alam yang saat ini begitu dekat dengan diri kita?
Kita hanya akan bermain-main melalui pendekatan metafora saja, karena sampai saat ini tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui dan telah merasakan bagaimana kenikmatan Surga tersebut. Dengan kata lain baru "katanya".
Metafora pertama dikeluarkan oleh Plato, dia menyebutkan sebuah tempat terindah di bumi ini , berada di sebelah Timur, dia menyebutnya: The East of Eden. Pandangan Plato harus direnungkan meskipun secara filosofis, pandangan tersebut lahir sebagai jawaban terhadap konsep ideal sebuah Negara dilukiskan ibarat kehidupan di Eden (Sorga).
Critias and Timaeus karya Plato tanpa dibubuhi oleh catatan-catatan kaki, ini merupakan karya orisinil seorang pemikir yang mampu menembus dimensi-dimensi lain dalam kehidupan. Bagi para pengagumnya, Plato sendiri disebut seorang nabi.
Pandangan Plato dalam Critias and Timaeus ini salah satu jawaban jika keberadaan daerah di sebelah Timur Jauh dari Athena merupakan tempat yang selalu dirindukan oleh siapapun.
Cara berpikir kita memang sering terjebak ke dalam sikap linear, lurus begitu saja,padahal jika sebentar saja kita berpikir secara planar dan berdimensi, atau dalam ungkapan yang sering disematkan kepada Mangunwijaya sebagai pikiran bersayap, maka apa yang diungkapkan oleh Plato bisa saja merupakan hal yang benar.
Sebab, perubahan yang terjadi di lapisan bumi paling luar ini membutuhkan waktu berjuta-juta tahun, jika tidak disebabkan oleh bencana alam kemungkinan dirusak oleh manusia (nature and human disaster). Sebuah gunung yang rimbun dengan pepohonan bisa menjadi tandus dan berubah mewujud menjadi gunung berbatu memerlukan waktu berpuluh hingga beratus tahun.
Apa artinya? Pandangan Plato dalam Critias and Timaeus merupakan reflektif terhadap kehidupan yang telah terjadi ribuan hingga bermilyar tahun di sebelah Timur Athena.
Sama halnya ketika di dalam kitab-kitab suci menceritakan kisah Adam dan Hawa (Eve) yang mendiami sebuah tempat subur, makmur, gemah ripah, sebelum mereka berdua diturunkan oleh Tuhan ke bumi. Dua pandangan berbeda, Plato lebih membumi sementara kitab-kitab suci mengabarkan hal-hal dari langit.
Metafora kedua dikeluarkan oleh Ptolemeus, Agryre disebutkan sebagai sebuah tempat berbukit, bergunung, berlembah, udara hangat, sejuk, beribu jenis satwa dan tumbuhan hidup dengan baik di tempat itu.
Ada pandangan menarik, Agryre merupakan satu tempat yang merujuk kepada kerajaan Salakanagara. Ptolemeus menyebutkan, Agryre dihuni oleh manusia-manusia bersahaja, berbusana tipis-tipis yang terbuat dari kapas, sistem kehidupan mereka tidak dipengaruhi oleh pranata sosial yang ada namun lebih mendahulukan tata-tertib dalam kehidupan dengan saling menghargai satu sama lain.
Daerahnya memanjang dari gunung besar menuju ke pantai di sebelah selatannya. Entah berapa ratus gunung dan bukit, hutan, perkebunan, hingga ladang-ladang ada di dalamnya. Siapapun ingin memiliki tempat ini, tentunya. Begitu pujian Ptolemeus terhadap keadaan dan kondisi Agryre.
Merujuk pada dua metafora di atas, penulis memandang, penyebutan The East of Eden dan Agryre ini bukan tanpa alasan, dan ini menunjuk ke arah dimana saat ini kita sedang berpijak.
Seperti metafora Sagara Inten untuk Sagaranten bukan anggapan main-main. Orang-orang Semit dan mayoritas manusia memercayai kisah Raja Sulaiman (Solomon) sebagai penguasa bumi, dia takjub ketika melihat kerajaan Saba, di sana terdapat sebuah fenomena alam, pelataran dipenuhi oleh intan berlian.
Indra J Piliang, dalam Novel Pinangan Dari Selatan pernah membahasakan kepada saya: " Bumi selatan adalah Istana Ratu Bilqis yang dirusak oleh keserakahan manusia."
Bahkan, sampai saat ini, sage dan mythe Ratu Selatan masih sering diceritakan oleh masyarakat. Cerita rakyat ini berkembang dari mulut ke mulut, bukan hal mustahil, jika pada masa ribuan hingga masa jutaan tahun lalu, wilayah selatan memang pernah dipimpin oleh seorang ratu.
Siapa saja akan menyebut aneh terhadap pandangan saya, tidak jauh berbeda dengan kaum atheis yang menyebutkan absurd terhadap cerita-cerita di dalam kitab suci.
Fakta yang terlihat sekarang adalah bumi selatan seperti Sagaranten dan Cidadap masih tetap lestari, ribuan spesies binatang, ribuan kerajaan tumbuhan terdapat di sana.
Beberapa waktu lalu ditemukan sumber gas alam, tidak jauh dari kantor Kecamatan Cidadap.
Terus terang, Swarga Maniloka yang berada di Selatan Sukabumi ini akan menjadi rebutan bagi manusia-manusia serakah.
Posting Komentar untuk "Sagaranten-Cidadap: "Swarga Maniloka" di Selatan Sukabumi"