Program penanaman tiga komoditas utama pertanian yaitu; padi, jagung dan kedelai (Pajale), merupakan salah satu tekad pemerintah dalam menyukseskanketercapaian swasembada pangan pada tahun 2017. Sejak satu setengah dekadeterakhir, gaung swasembada pangan di negara ini masih gencar disuarakan namun masih jauh dari realisasi dan keberhasilan. Hambatan utama semakin menurunnya swasembada pangan selama satu setengah dekade jika dibandingkan dengan swasembada pangan di era orde baru dipengaruhi oleh banyak faktor dan variabel.
Salah satu faktor penyebab belum maksimalnya capaian swasembada pangan di negara ini antara lain; program-program yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, baik yang menggunakan anggaran atau pun tidak, belum menyentuh ranah emosi petani sebagai pelaku langsung pertanian. Kementerian Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil di era pemerintahan Habibie dibawah menteri Adi Sasono pernah mengeluarkan kebijakan pinjaman ringan untuk para petani. Kredit Usaha Tani (KUT) harus diakui sebagai usaha atau ikhtiar dari pemerintah dalam mendongkrak bahkan mengembalikan citra atau kebangkitan pertanian di negara ini.
Sayang sekali, kondisi negara pasca reformasi masih digambarkan sebagai sebuah rupa/tubuh negara tanpa kerangka, penyaluran KUT menemui permasalahan pelik, dari mulai penyaluran yang tidak tepat sasaran , adanya rembesan-rembesan anggaran yang diterima oleh koperasi, hinggal pengelolaan yang tidak tetap oleh koperasi atau lembaga penerima bantuan (kredit). Walhasil, para petani pun tetap saja tidak bisa menikmati program tersebut secara utuh. Petani hanya dijadikan alasan kuat bahwa program tersebut memang dibutuhkan oleh masyarakat.
Memang terlalu naif, jika kegagalan-kegagalan program dari pemerintah sebagai upaya untuk memaksimalkan atau mengembalikan kembali swasembada pangan hanya ditudingkan sebagai bentuk gagalnya pemerintahan. Jika dianalisa secara fair, kegagalan-kegagalan tersebut bukan terletak pada program unggulannya, kecuali pada proses pengimplementasian program ketika sudah menyentuh ranah birokrasi. Birokrasi masih bersifat ketat kepada para petani namun ketika sudah menyentuh persoalan klasik: anggaran, tetap saja kelonggaran birokrasi kepada petani baru sebatas pada formalitas.
Pertanyaan sederhana yang sering muncul adalah: kenapa Soeharto -di era Orde Baru- telah mampu membawa Indonesiasebagai negara swasembada pangan di awal tahun 1980-an? Padahal, program-program yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru pada waktu itu sangat sederhana, pemerintah hanya cukup mensosialisasikan atau mempropagandakan penanaman bibit unggul, penggunaan pupuk urea, pemanfaatan pupuk kandang dan kompos, distribusi alat-alat pertanian atau bantuan permodalan kepada petani hampir tidak dilakukan. Akan tetapi, tetap saja, swasembada pangan sebagai salah satu tujuan dariRepelita (Rencanan Pembangunan Lima Tahun) Orde Baru bisa tercapai.
Hal penting tercapainya swasembada pangan di era Soeharto adalah kestabilan politik di Indonesia mampu dikendalikan oleh pemerintah. Tidak heran jika romantisme: “Masih Enak Hidup di Jaman Soeharto” sering keluar dari ucapan sebagian besar masyarakat kita. Sebab fakta yang terjadi memang demikian. Seperti halnya, di jaman Kolonial/Belanda, sebagian masyarakat di negara ini bisa menyebutnya dengan jaman normal. Ketika memasuki masa revolusi dan pembangunan di era Orde Lama, masyarakat memang menikmati kepuasaan kebebasan dan kemerdekaan namun ketidakstabilan politik tetap membawa negara ini pada jurang krisis ekonomi berkepanjangan. Tidak jauh berbeda dengan era reformasi saat ini.
Ikhtiar baru telah diprogramkan oleh pemerintah Jokowi untuk menggoalkan kembali swasembada pangan di negara ini melalui program penanaman tiga komoditas utama ; padi, jagung, dan kedelai di tahun 2015. Target utama program ini adalah tercapainya swasembada pangan pada tahun 2017. Ikhtiar baru ini memang cukup logis dilaksanakan di Kota dan Kabupaten Sukabumi mengingat dua daerah ini masih memiliki struktur dan kondisi lahan pertanian yang cocok ditanami oleh pajale. Kelogisan tersebut didukung oleh mekanisme pendistribusian bantuan pertanian dengan menyentuh langsung para petani yang dikoordinir oleh ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).
Beberapa hari lalu, penulis melakukan kunjungan ke Desa Sirnasari Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi. Desa ini memiliki lahan pertanian mencapai 300 ha, sebagian besar ditanami oleh padi yang mengandalkan pengairan tadah hujan. Ketua Gapoktan Satia Wargi di desa tersebut menyebutkan, program penanaman pajale oleh petani di daerah tersebut merupakan program yang sangat relevan jika dibandingkan dengan beberapa program sebelumnya.
Diakui oleh beberapa kelompok tani, program-program pemerintah beberapa tahun lalu memang telah banyak diberikan kepada para petani, namun mekanisme pendistribusian bantuan kepada para kelompok tani tersebut cenderung belum bersifat langsung dan masih terjebak oleh birokr asi yang kurang berpihak kepada para petani. Program Pendanaan Kompetitif (PPK-IPM) Provinsi Jawa Barat pada tahun 2006 yang diterima oleh Sukabumi sebagai upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia pada bidang pendidikan, kesehatan, dan daya beli, hanya berlangsung selama dua tahun saja. Sama sekali kurang menghasilkan capaian yang signifikan.
Maraknya program-program di negara ini yang melibatkan partisipasi petani selalu diwacanakan sangat berpihak kepada kelompok petani kecil. Meskipun demikian, pemerintah jugaharus memikirkan faktor pendukung lain seperti; perbaikan akses jalan dari tiap desa ke jalan utama. Di Desa Sirnasari saja, akses jalan sepanjang 5 km dari wilayah /daerah pertanian ke jalan utama (BojongHaur) sudah tidak layak dilalui oleh kendaraan karena kondisi rusak berat. hKetersediaan akses jalan ini menjadi faktor penting pendukung lancarnya arus distribusi baik bantuan berupa bibit pajale atau proses pendistribusian hasil pertanian dari petani melalui Gapoktan ke pasar.
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Satia Wargi, Desa Sirnasari, pada tahun panen ini mulai menanam jagung hibrida dengan luas hampir 200 ha. Program Pajale dari pemerintah dimana setiap Gapoktan menerima bantuan anggaran sebesar Rp. 100 juta difokuskan pada penanaman dua komoditas unggulan; padi dan jagung. Pengelolaan hasil panen baik padi atau jagung dimaksudkan untuk memutus mata rantai pembelian hasil panen oleh para tengkulak yang merugikan petani. Pertanyaan sederhana yang muncul adalah, sudah seberapa siap pemerintah di negara ini menyediakan informasi dan tempat penerimaan hasil pertanian komoditas utama para petani agar para petani mendapatkan kejelasan kemana mereka harus memasarkan hasil panennya? Sebab, diakui atau tidak, para petani akan lebih memilih menjual hasil panen kepada tengkulak karena alasan rasionalitas pasar, ada uang ada barang!
Posting Komentar untuk "Program Pajale, Harapan Baru Para Petani"