Teeuw menilai novel Kuntowijoyo, Khotbah di atas Bukit merupakan novel ekstrim dan provokatif. Sementara itu, Y.B Mangunwijaya menyebutnya sebagai novel "magistral". Melalui novel ini, kita diajak untuk merenungkan makna kehidupan, kebahagiaan, dan kebebasan.
Bagi penganut kristen yang taat dan rajin membaca kitabnya (Kristen Saleh), mereka dapat menemui cerita Khotbah di Bukit yang dilakukan oleh Yesus. Dalam Injil Matius pencerahan Yesus kepada orang-orang Israel dibahasakan dengan lugas. Pesan kenabian ini didominasi oleh bagaimana sikap manusia terhadap gemerlap dunia?
Ada benang merah antara isi ajaran Yesus saat melakukan Khotbah di Bukit dengan novel Khotbah di atas Bukit , yaitu monastisisme, cara manusia hidup sendiri dan melepaskan belenggu dunia untuk meraih kebahagiaan lahir serta batin. Sejak Konsili Nicea pada abad ketiga, ajaran monastisisme dipegang teguh oleh para rahib dan pendeta-pendeta aliran ortodoks. Mereka hidup di dalam biara, lebih banyak menghabiskan waktu bersama Tuhan. Memperkecil interaksi dengan dunia, bagi mereka kebahagiaan itu lahir dan memancar saat proses efifani terjadi.
Barman, seorang lelaki tua - dalam novel Khotbah di atas Bukit - yang telah merasa penat dengan kehidupan di kota, kota sebagai sarang penyakit, memutuskan pergi ke gunung. Dia berpikir udara di pegunungan akan mampu mengobati penyakit-penyakit yang diderita oleh orang-orang kota seperti dirinya. Bagian dalam novel ini merupakan awal bagaimana seorang manusia berusaha untuk mengkoneksikan dirinya dengan alam dan masa lalunya sebagai makhluk yang berasal dari alam.
Koneksi kehendak Barman tersambung dengan dimensi lain, saat telah sampai di pegunungan dia bertemu dengan Humam, lelaki tua bersahaja, hidup menyendiri, merdeka, dan tanpa kepentingan-kepentingan apapun apalagi persoalan dunia. Dunia ditinggalkannya begitu saja.
Sudah tentu, setiap orang mencari kebahagiaan dalam hidup ini. Wejangan Humam kepada Barman tidak jauh berbeda dengan apa yang dikotbakan oleh Yesus kepada orang-orang di Yerussalem, kebahagiaan diraih dengan meninggalkan pengaruh - pengaruh duniawi, penyebab manusia menjadi orang rakus, dan sumber segala penyakit.
Orang dengan mudah terserang sakit baik gangguan fisik atau psikis salah satunya karena mereka terlalu intens berhubungan dengan persoalan dunia melulu. Padahal kemilau dunia tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan kebahagiaan itu sendiri.
Barman bisa melihat langsung hidup seorang Humam. Orang tua ini tidak tersangkut problematika kehidupan, tidak memikirkan bagaimana cara berebut posisi dan jabatan, bahkan tidak pernah terbersit satu pun ucapan dari Humam tentang kecantikan paras perempuan. Dan hidup Human ini dipandang oleh Barman sebagai bentuk format ideal di dunia ini. Humam meninggal dengan sangat memukau, terpancar ketenangan bukan ketenaran dalam dirinya.
Provokasi keadaan ini telah melabilkan diri Barman meskipun pada akhirnya dia memilih lebih condong ke arah monistisme. Humam dan Khotbah di atas Bukit-nya merupakan ajaran yang harus diikuti demi kebahagiaan lahir maupun batin. Dia memang tidak sepenuhnya menjadi seorang monistis yang diam di gunung, paling tidak dengan begitu Barman telah berani berpikir melepaskan istrinya, Popi.
Dalam monastisisme, manusia benar-benar dipandang sebagai sebuah berlian, semakin mendekati kutub spiritual maka dia semakin bersinar, tidak terlihat secara kasat mata oleh manusia pada umumnya karena penglihatan mereka tertutup oleh kabut tebal material. Maka, sebenarnya, kehidupan dunia ini sama sekali tidak penting, kehidupan sebenarnya lahir saat manusia menjumpai ajal atau kematian. Barman berpikir demikian, di pegunungan saat kabut turun semakin menebal, dia terus berjalan menembus kabut, hingga pada akhirnya dia terjerumus masuk ke dalam jurang.
Kematian Barman tentu begitu jauh berbeda dengan Humam, antara yang diharapkan dengan keikhlasan. Antara demi meninggalkan dunia dengan tidak membutuhkannya secara berlebihan. Barman meninggalkan sesuatu, persoalan dunia yang belum terselesaikan, sementara Humam sama sekali meninggal dengan tidak meninggalkan persoalan apapun.
Sebelum kematiannya, kebebasan yang dilakukan oleh Barman sepenuhnya direstui oleh Popi, dia tidak mengharapkan kebahagiaan bathin Barman justru menjadi pangkal masalah ketidakbahagiaan dirinya. Ada pembatas yang begitu samar antara kebahagiaan bathin dengan lahir. Antara monistisme dengan liberalisme, toh pada akhirnya kedua konsep ini berujung pada kebebasan. Takarannya saja yang berbeda, spiritual dan material.
Popi menjelma menjadi perempuan dahaga, sejak Barman mengikuti jejak Humam, selama itu juga dirinya tidak pernah merasakan apa sebenarnya kebaagiaan yang dialami oleh mendiang suaminya ketika dirinya sendiri sama sekali tidak bisa menyentuh berlian monistis, dalam hal ini adalah Barman. Maka Popi, setelah kematian suaminya dia turun gunung memburu, lantas melampiaskan hasrat tertingginya dengan seorang lelaki, entah siapa.
Kang Warsa
Bagi penganut kristen yang taat dan rajin membaca kitabnya (Kristen Saleh), mereka dapat menemui cerita Khotbah di Bukit yang dilakukan oleh Yesus. Dalam Injil Matius pencerahan Yesus kepada orang-orang Israel dibahasakan dengan lugas. Pesan kenabian ini didominasi oleh bagaimana sikap manusia terhadap gemerlap dunia?
Ada benang merah antara isi ajaran Yesus saat melakukan Khotbah di Bukit dengan novel Khotbah di atas Bukit , yaitu monastisisme, cara manusia hidup sendiri dan melepaskan belenggu dunia untuk meraih kebahagiaan lahir serta batin. Sejak Konsili Nicea pada abad ketiga, ajaran monastisisme dipegang teguh oleh para rahib dan pendeta-pendeta aliran ortodoks. Mereka hidup di dalam biara, lebih banyak menghabiskan waktu bersama Tuhan. Memperkecil interaksi dengan dunia, bagi mereka kebahagiaan itu lahir dan memancar saat proses efifani terjadi.
Barman, seorang lelaki tua - dalam novel Khotbah di atas Bukit - yang telah merasa penat dengan kehidupan di kota, kota sebagai sarang penyakit, memutuskan pergi ke gunung. Dia berpikir udara di pegunungan akan mampu mengobati penyakit-penyakit yang diderita oleh orang-orang kota seperti dirinya. Bagian dalam novel ini merupakan awal bagaimana seorang manusia berusaha untuk mengkoneksikan dirinya dengan alam dan masa lalunya sebagai makhluk yang berasal dari alam.
Koneksi kehendak Barman tersambung dengan dimensi lain, saat telah sampai di pegunungan dia bertemu dengan Humam, lelaki tua bersahaja, hidup menyendiri, merdeka, dan tanpa kepentingan-kepentingan apapun apalagi persoalan dunia. Dunia ditinggalkannya begitu saja.
Sudah tentu, setiap orang mencari kebahagiaan dalam hidup ini. Wejangan Humam kepada Barman tidak jauh berbeda dengan apa yang dikotbakan oleh Yesus kepada orang-orang di Yerussalem, kebahagiaan diraih dengan meninggalkan pengaruh - pengaruh duniawi, penyebab manusia menjadi orang rakus, dan sumber segala penyakit.
Orang dengan mudah terserang sakit baik gangguan fisik atau psikis salah satunya karena mereka terlalu intens berhubungan dengan persoalan dunia melulu. Padahal kemilau dunia tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan kebahagiaan itu sendiri.
Barman bisa melihat langsung hidup seorang Humam. Orang tua ini tidak tersangkut problematika kehidupan, tidak memikirkan bagaimana cara berebut posisi dan jabatan, bahkan tidak pernah terbersit satu pun ucapan dari Humam tentang kecantikan paras perempuan. Dan hidup Human ini dipandang oleh Barman sebagai bentuk format ideal di dunia ini. Humam meninggal dengan sangat memukau, terpancar ketenangan bukan ketenaran dalam dirinya.
Provokasi keadaan ini telah melabilkan diri Barman meskipun pada akhirnya dia memilih lebih condong ke arah monistisme. Humam dan Khotbah di atas Bukit-nya merupakan ajaran yang harus diikuti demi kebahagiaan lahir maupun batin. Dia memang tidak sepenuhnya menjadi seorang monistis yang diam di gunung, paling tidak dengan begitu Barman telah berani berpikir melepaskan istrinya, Popi.
Dalam monastisisme, manusia benar-benar dipandang sebagai sebuah berlian, semakin mendekati kutub spiritual maka dia semakin bersinar, tidak terlihat secara kasat mata oleh manusia pada umumnya karena penglihatan mereka tertutup oleh kabut tebal material. Maka, sebenarnya, kehidupan dunia ini sama sekali tidak penting, kehidupan sebenarnya lahir saat manusia menjumpai ajal atau kematian. Barman berpikir demikian, di pegunungan saat kabut turun semakin menebal, dia terus berjalan menembus kabut, hingga pada akhirnya dia terjerumus masuk ke dalam jurang.
Kematian Barman tentu begitu jauh berbeda dengan Humam, antara yang diharapkan dengan keikhlasan. Antara demi meninggalkan dunia dengan tidak membutuhkannya secara berlebihan. Barman meninggalkan sesuatu, persoalan dunia yang belum terselesaikan, sementara Humam sama sekali meninggal dengan tidak meninggalkan persoalan apapun.
Sebelum kematiannya, kebebasan yang dilakukan oleh Barman sepenuhnya direstui oleh Popi, dia tidak mengharapkan kebahagiaan bathin Barman justru menjadi pangkal masalah ketidakbahagiaan dirinya. Ada pembatas yang begitu samar antara kebahagiaan bathin dengan lahir. Antara monistisme dengan liberalisme, toh pada akhirnya kedua konsep ini berujung pada kebebasan. Takarannya saja yang berbeda, spiritual dan material.
Popi menjelma menjadi perempuan dahaga, sejak Barman mengikuti jejak Humam, selama itu juga dirinya tidak pernah merasakan apa sebenarnya kebaagiaan yang dialami oleh mendiang suaminya ketika dirinya sendiri sama sekali tidak bisa menyentuh berlian monistis, dalam hal ini adalah Barman. Maka Popi, setelah kematian suaminya dia turun gunung memburu, lantas melampiaskan hasrat tertingginya dengan seorang lelaki, entah siapa.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Monastisisme Liberal Khotbah di atas Bukit"