Tradisional Modern Dalam Pistol Perdamaian

‎Alam empiris biasa dituangkan ke dalam karya sastra, meskipun sastra sendiri tidak bisa lepas dari pengaruh berbagai ide dan gagasan cerdas. Saling  memengaruhi. Kuntowijoyo, kecuali sebagai seorang ahli sejarah, guru besar, beliau pun semasa hidupnya telah melahirkan karya-karya sastra dengan formula penyatuan antara tradisi yang masih berkembang dalam masyarakat dengan unsur modern. Tidak mengherankan, perpaduan antara nilai-nilai tradisional dengan modern tersebut disebabkan oleh latar belakang beliau sebagai akademisi dan Orang Jawa.

Gaya penyampaian dalam beberapa karya sastranya sangat sederhana, mudah dicerna, menggunakan ungkapan dan gaya bahasa "basajan"*), dan tentu saja sering diselingi oleh jebakan sastra. Contoh jebakan sastra yang biasa ditemui dalam karya sastranya yaitu Pak Kunto biasa menempatkan subyek sentral dalam beberapa cerita seolah terbaca oleh pembaca adalah diri Pak Kunto sendiri. 

Dalam Pistol Perdamaian, salah satu cerpen pilihan Kompas tahun 1996 tersebut termaktub beberapa kalimat yang bisa menjebak pembaca seperti  penggunaan idiom "ahli sejarah" kepada tokoh utama. Hal terpenting dalam cerpen tersebut, nilai tradisional ketika dipadukan dengan nilai modern telah melahirkan satu alur cerita menggelitik , renyah untuk ditelaah, dan pada dasarnya dua kutub berbeda ini bukan hal yang harus dipertentangkan.

Pistol Perdamaian, sebuah kontradiksi atau paradoks kata, bagaimana bisa sebuah pistol membawa kehidupan pada sebuah perdamaian? Pistol merupakan produk modern, meskipun benda mati namun ketika ada di tangan para penjahat, dia akan menjadi senjata mematikan. Tentu  saja kata 'mematikan yang melahirkan kematian' ini berlawanan dengan perdamamaian. Tetapi, maksud Kuntowijoyo dalam "Pistol Perdamaian" –bisa jadi- bahwa segala sesuatu itu pada awalnya dibuat oleh manusia demi kebaikan, pistol dibuat oleh manusia, digunakan untuk mengeliminasi para pelaku kejahatan yang sudah tidak takut lagi hanya dengan bentakan dan kata-kata. Tidak setiap orang bisa memilikinya.

Dalam tradisi dan etika Jawa - Sunda, memuliakan sesuatu tidak sebatas kepada mahluk hidup seperti manusia dan binatang saja. Terhadap alam, benda-benda, dan hal metafisik pun biasa dilakukan. Maksud dari totalitas kerukunan tersebut adalah untuk melahirkan sebuah kehidupan yang jauh dari merasa diri paling bisa menguasai terhadap apapun. Di masyarakat kita sering ditemui benda-benda pusaka ditempel pada dinding-dinding rumah, bisa berupa pedang, golok, tulisan-tulisan berupa wafak, hingga benda-benda lain yang biasa digantung di depan rumah. 

Bagi masyarakat modern tentu saja hal ini disebut klenik dan khurafat. Dinamisme yang diwariskan oleh generasi pendahulu. Tetapi ada penolakan dari masyarakat - tradisional-  terhadap tudingan itu, dengan alasan sederhana namun masuk akal. "Itu bukan klenik atau khurafat, kecuali bentuk penghormatan masyarakat terhadap sejarah benda-benda pusaka". Tidak ada sikap penuhahan terhadap benda-benda tersebut.  

Tokoh istri sang ahli sejarah dalam cerpen Pistol Perdamaian memiliki sudut pandang lain terhadap dipasangnya barang-barang pusaka pada dinding. Misalnya pedang, golok, dan pistol tetap dipandang olehnya sebagai internalisasi kekerasan kepada penghuni rumah terutama anak-anak. Barang-barang tersebut dipandang berbahaya dan mematikan. Bukan malah harus ditempel pada dinding, ada baiknya benda-benda pusaka disimpan saja pada laci, kotak, atau dibungkus dengan kain dan ditempatkan di gudang. 

Di masyarakat kita, hal itu sebetulnya sudah biasa dilakukan. Barang pusaka disimpan rapi, dibungkus, diberi minyak wangi, dan pada tanggal 12 Mulud dibersihkan, keris, golok, hingga cawan dicuci pada jambangan berisi air dan bunga-bunga. Istri ahli sejarah itu menginginkan demikian, barang pusaka 'mematikan' tidak perlu dipasang apalagi dipajang agar terlihat oleh siapapun pada dinding. 

Pistol dalam cerpen "Pistol Perdamaian" merupakan benda warisan. Di jaman penjajahan, pistol tersebut telah berjasa, membunuh penjajah, demi alasan itulah, barang tersebut diwariskan kepada sang ahli sejarah. Mewariskan sesuatu memiliki maksud barang tersebut harus dirawat. Namun karena pistol itu telah menjadi penyebab konflik pemikiran dalam rumah tangga, maka sang ahli sejarah memutuskan untuk membuangnya saja. 

Dibuang beberapa kali tetap saja si pistol kembali lagi ke tangan pemiliknya. Ada cerpen lain yang memiliki kemiripan dengan alur cerpen Pistol Perdamaian , Kary Seni yang ditulis oleh Anton Chekhov dan Jékét cerita mini bahasa Sunda karya Godi Suwarna. Sudah tentu cerpen Chekhov telah dikenal luas jauh sebelum kedua cerpen karya Kuntowijoyo dan Godi Suwarna ditulis. Artinya, manusia sebaiknya tidak membuang haknya, hak harus dipertahankan dengan cara baik dan ditempatkan secara proporsional. 

Masukan dari istri sang ahli sejarah pun diterima, barang pusaka tidak seharusnya dipasang pada dinding, ia cukup dibungkus saja dengan kain kemudian simpan di tempat aman. Itu sudah cukup sebagai bentuk penghormatan kita kepada benda mati. Seperti halnya pada manusia sendiri, ketika telah meninggal, tidak perlu jasadnya diawetkan kemudian ditempatkan di rumah, mayat harus dibungkus lalu disimpan pada tempatnya, kuburan. 

Keluarga dalam cerpen Pistol Perdamaian merupakan sebuah keluarga yang hidup di era modern dengan pikiran-pikiran modern juga namun tetap setiap dalam mempertahankan tradisi yang telah diwariskan oleh generasi pendahulunya. Tidak ada persoalan apapun antara tradisi dan modern ketika ditempatkan dengan tepat. (Kang Warsa)


*) Basajan = sederhana

Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.

Posting Komentar untuk "Tradisional Modern Dalam Pistol Perdamaian"