JALAN ASMARANDANA: KETUA RT BERTITEL MAGISTER NAMUN GAGAL
(Telaah Terhadap Cerpen Kuntowijoyo)
Orang memperebutkan jabatan itu telah berlangsung sejak manusia memerankan lakon dalam panggung sejarah kehidupan ini. Berbicara soal jabatan, tentu ada yang dipinta atau ada yang direbut, namun pada sisi lain ada yang mendapatkannya sebagai hasil pemberian dari atasan. Apapun dan bagaimanapun cara jabatan diperoleh tetap saja hal tersebut merupakan amanah, amanah itu bisa jadi sebagai anugerah atau juga bisa menjadi bencana. Arti amanah sendiri berarti hal yang bisa membuat orang lain menjadi nyaman karena memberikan kepercayaan secara penuh kepada yang diberi amanat.
Dulu, pemegang kunci kekuasaan di kampung biasanya para tokoh masyarakat. Sejak era reformasi telah terjadi pergeseran dalam memberi label kepada seseorang yang akan mendapatkan gelar tokoh masyarakat. Bisa jadi di zaman ini banyak tipe tokoh masyarakat, ada yang benar-benar tokoh, ditokohkan, bahkan tidak sedikit orang yang menokoh-nokohkan diri. Era reformasi sebagai bentuk nyata dari wujud demokrasi modern ditandai oleh perubahan besar dalam memilih pimpinan negara, imbasnya begitu kuat memengaruhi hingga ke daerah hingga kekuasaan terkecil, RT.
Dalam cerpen Jalan Asmarandana, Kuntowijoyo memaparkan bagaimana peran penting ketua RT dalam hidup bermasyarakat. Jadi tokoh masyarakat ternyata tidak sekadar mengandalkan apakah seseorang harus keluaran sekolah tinggi baik dari perguruan tinggi dalam negeri apalagi luar negeri. Faktanya, tidak bisa dipungkuri, lebih banyak tokoh masyarakat mulai dari tokoh agama, ketua RT dan RW, mereka merupakan kaluaran sekolah rakyat atau sekolah dasar tapi mampu menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Tentang kelompok manusia yang biasa menokoh-nokohkan diri, ini fenomena biasa. Imbas dari rebutan kekuasaan di tingkat yang lebih tinggi, tidak jarang di kampung-kampung, seorang ketua RT sekalipun berusaha mati-matian mencalonkan kembali di pemilihan ketua RT periode berikutnya. Kuntowijoyo tidak menjelaskan hal demikian dalam cerpen Jalan Asmarandana, tidak ada suksesi kepemimpinan, justru jabatan itu diterima oleh tokoh utama cerpen tersebut dari ketua RT lama. Diberikan karena pindah rumah. Jabatan ketua RT awalnya ditolak dengan berbagi macam alasan, hanya saja, dalam pikiran seorang akademisi lulusan dari sebuah perguruan tinggi luar negeri ditafsirkan lah, menjadi ketua RT bagaimanapun juga merupakan panggilan besar bahwa masyarakat menaruh kepercayaan kepadanya. Terdengar konyol, seorang lulusan magister jebolan sekolah luar negeri menjabat menjadi Ketua RT.
Pak Kunto mengawali setting cerpen ini di sebuah kompleks perumahan. Bisa diterka, kompleks adalah sebuah lingkungan dimana keheterogenan terpampang, multidimensi persoalan sudah siap dihadapi oleh Ketua RT baru. Kompleks perumahan merupakan perpaduan beragam jenis warga dari beragam latar belakang juga. Kohesi sosial rendah, sering menjadi penyebab lahirnya persoalan yang disebabkan oleh permasalahan atau hal kecil. Di kompleks tersebut Sang Ketua RT menjumpai ragam pemikiran dari warganya, maka untuk menghadapinya dibutuhkan berbagai pendekatan, bila perlu se-ilmiah mungkin.
Ada warga memiliki pandangan, hidup ini sekadar canda tawa saja. Dia sebagai seorang pemborong mengklaim dirinya sebagai pembohong. Setiap tahun sudah pasti berbohong, jalan baik disebut rusak dan butuh perbaikan. Itulah tugas seorang pemborong, memperbaiki jalan, gang, MCK, dan jembatan-jembatan. Bagi seorang pemborong, tentu saja, ada berita jalan atau sekolah rusak itu merupakan kabar gembira. Bahkan, yang ikut berbahagia itu tidak dirinya saja, mulai dari pejabat teras atas sampai lurah pun turut bersukacita. Masyarakat pun demikian, sebab mereka tahu betul, jalan atau apapun yang rusak-rusak itu sudah pasti akan diperbaiki lagi oleh pemerintah.
Dwiyatmo, seorang warga, misterius, istrinya telah meninggal, di Jalan Asmarandana ini telah menjadi pangkal utama keresahan para tetangga dan petugas ronda. Dari dalam rumah Dwiyatmo - setiap malam - sering terdengar bunyi tok tok tok, kayu dipaku menggunakan palu. Bukan tukang kayu kok bertingkah seperti tukang kayu?. Tetangga dekat Dwiyatmo, Said dan istrinya, pengantin baru merasa benar-benar terganggu oleh suara tok tok tok tersebut. Sebagai pengantin baru sudah tentu membutuhkan ketenangan dan suasana sepI di malam hari.
Begitulah hidup bertetangga, kita sering banyak menerka apa yang dilakukan dan dimiliki oleh tetangga. Informasi dikorek, lantas dikoreksi dengan ukuran penilaian versi masing-masing, hasilnya terkaan, menjurus fitnah bagi tetangga yang terlampau antipati. Namun kita juga sebaiknya jangan melakukan perbuatan-perbuatan ganjil di masarakat, sebab keganjilan itu akan lebih dikenali daripada yang genap dan biasa dilakukan di masyarakat. Contoh, berjamaah dan menunaikan jumaatan itu biasa dilakukan oleh mayoritas masyarakat, baik orang saleh sampai tukang berkelahi. Jika kita dengan sengaja malah diam di warung sambil merokok saat orang-orang menunaikan solat Jum'at, kita akan dicap ganjil oleh masyarakat sekitar.
Bukan apa-apa, Dwiyatmo ternyata hanya membuat sebuah keranda. Mungkin sebagai barang semacam kenang-kenangan untuk mengingat bahwa istrinya telah merasakan diusung di dalam keranda. Tentu saja itu menjadi masalah besar,sebab di dalam tradisi kita keranda merupakan barang yang sangat ditakuti. Sebagai seorang Ketua RT lulusan sekolah luar negeri, dia tentu saja memiliki tanggungjawab moral. Atas sarannya, Dwiyatmo menghentikan kelakuan konyolnya. Namun para tetangga tetap saja bertanya-tanya, kenapa tidak terdengar lagi suara tok tok tok dari rumah Dwiyatmo di malam hari. Kangen!!!
Ada rasa bangga. Ketua RT baru ternyata tidak sia-sia menggantikan Ketua RT lama. Dia memang pandai menyelesaikan persoalan padahal cukup misterius. Dan itu tidak pernah berhasil diselesaikan oleh Ketua RT lama.
Dwiyatmo berubah drastis dari misterius menjadi warga yang lebih terbuka. Dia selalu membersihkan halaman rumahnya setiap pagi, sontak saja inipun menjadi perhatian warga lainnya. Termasuk seorang perempuan setengah baya. Di bawah ini salah satu kutipan cerpen Jalan Asmarandana ;
Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.
“Kok menyapu sendiri, Pak?”
“He-eh, tidak ada yang disuruh.”
Lain hari perempuan itu lewat lagi.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.”
“He-eh, habis bagaimana lagi.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?”
“Ya tidak ada.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?”
“Mau saja.”
Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.
Begitu sederhana seorang Dwiyatmo dalam bertutur namun telah bisa menikam perempuan itu. Sebentar dulu, setelah menikah, warga ramai lagi sebab di malam hari mendengar suara gesekan gergaji memotong kayu dari rumah Dwiyatmo. Ketua RT menerima pengaduan lagi, pagi-pagi dia mendatangi rumah Dwiyatmo sekadar untuk memastikan apa yang diperbuat oleh pengantin baru itu. Diketahui lah, keranda yang dulu dibuat oleh Dwiyatmo, kini telah diubah menjadi kursi kayu. Siangnya sudah bisa ditebak, warga kembali diam.
Tetap saja lahir kembali pengaduan baru terutama dari tetangga Dwiyatmo sendiri, Said Tuasikal.
Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!
Tanpa penyelesaian konflik warga antara satu tetangga dengan tetangga lainnya telah membuat warga lain pada akhirnya harus keluar dari kompleks perumahan, Jalan Asmarandana. Said pindah rumah entah kemana.
Harus diakui, ternyata tidak mudah menjadi pemimpin itu, meskipun hanya sebagai seorang Ketua RT. Apalagi menjadi presiden, apalagi juga menjadi pemimpin agama.
Kang Warsa
(Telaah Terhadap Cerpen Kuntowijoyo)
Orang memperebutkan jabatan itu telah berlangsung sejak manusia memerankan lakon dalam panggung sejarah kehidupan ini. Berbicara soal jabatan, tentu ada yang dipinta atau ada yang direbut, namun pada sisi lain ada yang mendapatkannya sebagai hasil pemberian dari atasan. Apapun dan bagaimanapun cara jabatan diperoleh tetap saja hal tersebut merupakan amanah, amanah itu bisa jadi sebagai anugerah atau juga bisa menjadi bencana. Arti amanah sendiri berarti hal yang bisa membuat orang lain menjadi nyaman karena memberikan kepercayaan secara penuh kepada yang diberi amanat.
Dulu, pemegang kunci kekuasaan di kampung biasanya para tokoh masyarakat. Sejak era reformasi telah terjadi pergeseran dalam memberi label kepada seseorang yang akan mendapatkan gelar tokoh masyarakat. Bisa jadi di zaman ini banyak tipe tokoh masyarakat, ada yang benar-benar tokoh, ditokohkan, bahkan tidak sedikit orang yang menokoh-nokohkan diri. Era reformasi sebagai bentuk nyata dari wujud demokrasi modern ditandai oleh perubahan besar dalam memilih pimpinan negara, imbasnya begitu kuat memengaruhi hingga ke daerah hingga kekuasaan terkecil, RT.
Dalam cerpen Jalan Asmarandana, Kuntowijoyo memaparkan bagaimana peran penting ketua RT dalam hidup bermasyarakat. Jadi tokoh masyarakat ternyata tidak sekadar mengandalkan apakah seseorang harus keluaran sekolah tinggi baik dari perguruan tinggi dalam negeri apalagi luar negeri. Faktanya, tidak bisa dipungkuri, lebih banyak tokoh masyarakat mulai dari tokoh agama, ketua RT dan RW, mereka merupakan kaluaran sekolah rakyat atau sekolah dasar tapi mampu menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Tentang kelompok manusia yang biasa menokoh-nokohkan diri, ini fenomena biasa. Imbas dari rebutan kekuasaan di tingkat yang lebih tinggi, tidak jarang di kampung-kampung, seorang ketua RT sekalipun berusaha mati-matian mencalonkan kembali di pemilihan ketua RT periode berikutnya. Kuntowijoyo tidak menjelaskan hal demikian dalam cerpen Jalan Asmarandana, tidak ada suksesi kepemimpinan, justru jabatan itu diterima oleh tokoh utama cerpen tersebut dari ketua RT lama. Diberikan karena pindah rumah. Jabatan ketua RT awalnya ditolak dengan berbagi macam alasan, hanya saja, dalam pikiran seorang akademisi lulusan dari sebuah perguruan tinggi luar negeri ditafsirkan lah, menjadi ketua RT bagaimanapun juga merupakan panggilan besar bahwa masyarakat menaruh kepercayaan kepadanya. Terdengar konyol, seorang lulusan magister jebolan sekolah luar negeri menjabat menjadi Ketua RT.
Pak Kunto mengawali setting cerpen ini di sebuah kompleks perumahan. Bisa diterka, kompleks adalah sebuah lingkungan dimana keheterogenan terpampang, multidimensi persoalan sudah siap dihadapi oleh Ketua RT baru. Kompleks perumahan merupakan perpaduan beragam jenis warga dari beragam latar belakang juga. Kohesi sosial rendah, sering menjadi penyebab lahirnya persoalan yang disebabkan oleh permasalahan atau hal kecil. Di kompleks tersebut Sang Ketua RT menjumpai ragam pemikiran dari warganya, maka untuk menghadapinya dibutuhkan berbagai pendekatan, bila perlu se-ilmiah mungkin.
Ada warga memiliki pandangan, hidup ini sekadar canda tawa saja. Dia sebagai seorang pemborong mengklaim dirinya sebagai pembohong. Setiap tahun sudah pasti berbohong, jalan baik disebut rusak dan butuh perbaikan. Itulah tugas seorang pemborong, memperbaiki jalan, gang, MCK, dan jembatan-jembatan. Bagi seorang pemborong, tentu saja, ada berita jalan atau sekolah rusak itu merupakan kabar gembira. Bahkan, yang ikut berbahagia itu tidak dirinya saja, mulai dari pejabat teras atas sampai lurah pun turut bersukacita. Masyarakat pun demikian, sebab mereka tahu betul, jalan atau apapun yang rusak-rusak itu sudah pasti akan diperbaiki lagi oleh pemerintah.
Dwiyatmo, seorang warga, misterius, istrinya telah meninggal, di Jalan Asmarandana ini telah menjadi pangkal utama keresahan para tetangga dan petugas ronda. Dari dalam rumah Dwiyatmo - setiap malam - sering terdengar bunyi tok tok tok, kayu dipaku menggunakan palu. Bukan tukang kayu kok bertingkah seperti tukang kayu?. Tetangga dekat Dwiyatmo, Said dan istrinya, pengantin baru merasa benar-benar terganggu oleh suara tok tok tok tersebut. Sebagai pengantin baru sudah tentu membutuhkan ketenangan dan suasana sepI di malam hari.
Begitulah hidup bertetangga, kita sering banyak menerka apa yang dilakukan dan dimiliki oleh tetangga. Informasi dikorek, lantas dikoreksi dengan ukuran penilaian versi masing-masing, hasilnya terkaan, menjurus fitnah bagi tetangga yang terlampau antipati. Namun kita juga sebaiknya jangan melakukan perbuatan-perbuatan ganjil di masarakat, sebab keganjilan itu akan lebih dikenali daripada yang genap dan biasa dilakukan di masyarakat. Contoh, berjamaah dan menunaikan jumaatan itu biasa dilakukan oleh mayoritas masyarakat, baik orang saleh sampai tukang berkelahi. Jika kita dengan sengaja malah diam di warung sambil merokok saat orang-orang menunaikan solat Jum'at, kita akan dicap ganjil oleh masyarakat sekitar.
Bukan apa-apa, Dwiyatmo ternyata hanya membuat sebuah keranda. Mungkin sebagai barang semacam kenang-kenangan untuk mengingat bahwa istrinya telah merasakan diusung di dalam keranda. Tentu saja itu menjadi masalah besar,sebab di dalam tradisi kita keranda merupakan barang yang sangat ditakuti. Sebagai seorang Ketua RT lulusan sekolah luar negeri, dia tentu saja memiliki tanggungjawab moral. Atas sarannya, Dwiyatmo menghentikan kelakuan konyolnya. Namun para tetangga tetap saja bertanya-tanya, kenapa tidak terdengar lagi suara tok tok tok dari rumah Dwiyatmo di malam hari. Kangen!!!
Ada rasa bangga. Ketua RT baru ternyata tidak sia-sia menggantikan Ketua RT lama. Dia memang pandai menyelesaikan persoalan padahal cukup misterius. Dan itu tidak pernah berhasil diselesaikan oleh Ketua RT lama.
Dwiyatmo berubah drastis dari misterius menjadi warga yang lebih terbuka. Dia selalu membersihkan halaman rumahnya setiap pagi, sontak saja inipun menjadi perhatian warga lainnya. Termasuk seorang perempuan setengah baya. Di bawah ini salah satu kutipan cerpen Jalan Asmarandana ;
Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.
“Kok menyapu sendiri, Pak?”
“He-eh, tidak ada yang disuruh.”
Lain hari perempuan itu lewat lagi.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.”
“He-eh, habis bagaimana lagi.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?”
“Ya tidak ada.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?”
“Mau saja.”
Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.
Begitu sederhana seorang Dwiyatmo dalam bertutur namun telah bisa menikam perempuan itu. Sebentar dulu, setelah menikah, warga ramai lagi sebab di malam hari mendengar suara gesekan gergaji memotong kayu dari rumah Dwiyatmo. Ketua RT menerima pengaduan lagi, pagi-pagi dia mendatangi rumah Dwiyatmo sekadar untuk memastikan apa yang diperbuat oleh pengantin baru itu. Diketahui lah, keranda yang dulu dibuat oleh Dwiyatmo, kini telah diubah menjadi kursi kayu. Siangnya sudah bisa ditebak, warga kembali diam.
Tetap saja lahir kembali pengaduan baru terutama dari tetangga Dwiyatmo sendiri, Said Tuasikal.
Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!
Tanpa penyelesaian konflik warga antara satu tetangga dengan tetangga lainnya telah membuat warga lain pada akhirnya harus keluar dari kompleks perumahan, Jalan Asmarandana. Said pindah rumah entah kemana.
Harus diakui, ternyata tidak mudah menjadi pemimpin itu, meskipun hanya sebagai seorang Ketua RT. Apalagi menjadi presiden, apalagi juga menjadi pemimpin agama.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Telaah Cerpen Jl. Asmarandana"