Membaca novel ini sama artinya dengan membongkar kehidupan yang dipenuhi oleh kompleksitas namun memiliki koneksi antara satu unsur dengan unsur lain. Kehidupan dihadirkan tidak selalu menampilkan fenomena melodramatik, namun sering diliputi oleh penyatuan masa lalu, masa kini, dan harapan di masa depan.
Muatan-muatan yang terkandung di dalamnya sering mengingatkan saya pada beberapa naskah Sunda Kuno seperti Amanat Galunggung dan beberapa folklor yang berkembang dengan baik di masyarakat Sunda. Amanat Galunggung, sebuah naskah yang ditulis oleh seorang Resi Sunda dari daerah selatan mewanti-wanti kepada generasi setelahnya terhadap pentingnya menjaga warisan masa lalu: Hana Nguni Hana Mangke, Tan Hana Nguni Tan Hana Mangke Aya Ma Beuheula Aya Nu Ayeuna, Hanteu Ma Beuheula Hanteu Tu Ayeuna Hana Tunggak Hana Watang, Tan Hana Tunggak Tan Hana Watang Hana Ma Tunggulna Aya Tu Catangna*) . Adanya masa kini tidak terlepas dari masa lalu, ada sebab dan ada akibat.
Membongkar ingatan dan menghadirkan masa lalu di masa kini merupakan sebuah paradoks namun begitu jelas disampaikan oleh Indra J Piliang dalam novel ini. Mau tidak mau, kita dipaksa untuk memasuki sebuah ruang dan waktu mundur dua puluh tahun ke belakang. Satu masa ketika Indonesia memasuki fase kehidupan transisi , perpindahan dari keterkungkungan sebuah rezim yang diwarnai oleh keterpurukan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kita sering menyebutnya: krisis multi dimensi.
Paradoks lain yang dihadirkan dalam novel ini adalah kehidupan sederhana di perdesaan dengan kemajuan alam perkotaan. Alam perdesaan memukau karena memiliki anasir-anasir peradaban awal, semesta hijau ranau yang telah melahirkan manusia-manusia alam, mereka telah melahirkan peradaban awal dalam kehidupan, seperti halnya Tentra yang hidup dan kehidupannya benar-benar tidak bisa lepas dari pengaruh alam meskipun dia dalam masa kehidupannya berinteraksi dengan kehidupan yang lebih kompleks, mesin dan teknologi sebagai penggerak kehidupan modern.
Ketika dua kebudayaan bertemu seperti dipaparkan dalam Tritangtu Kasundaan akan melahirkan sebuah kepastian hokum: kausalitas, sebab dan akibat. Indra Piliang berhasil menepatkan tokoh-tokoh dalam novel ini bukan pada bentuk penghakiman terhadap jahat atau tidaknya, kecuali membiarkan para pembaca agar larut dan mampu menilai perwatakan mereka satu persatu meskipun ada kesan acak dalam menyajikan alurnya.
Adanya polesan acak dalam muatan sebuah karya fiksi bukan hal aneh, apalagi seorang Indra Piliang memiliki latar belakang sebagai seorang pengamat dan intelektual dimana dalam menyajikan apapun tidak pernah lepas dari data-data. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa data-data apalagi data dalam kehidupan dan semesta ini tersusun sangat acak namun memiliki hubungan satu sama lain ibarat sebuah konstelasi!
Penghakiman dan penilaian yang bisa saya tulis terhadap tokoh-tokoh di dalam novel ini adalah: seorang Tentra yang tenang namun beriak ketika dihadapkan pada sebuah persoalan kemanusiaan, lahir dalam dirinya sebuah sikap keharusan membela yang tersakiti, teraniaya, melalui pergerakan seperti yang telah dilakukan oleh para aktivis yang telah menghadirkan gerakan-gerakan nyata dalam menumbangkan arogansi yang dilakukan oleh Si Kuat.
Uleta, seorang wanita dengan perwatakan tenang namun dipaksa hidup dalam gemuruh dan keserba tidakmengertian. lalu-lalang pikiran, cumbuan, cinta semu, dan ingar-bingar kosmopolitas membawa wanita ini pada ombang-ambing pikiran. Namun di dalam kedalaman jiwa dan hati wanita ini tetap tumbuh sebuah taman yang diwarnai oleh harapan akan hadirnya cinta suci, sebuah cinta tanpa alasan namun sulit disentuh. Seperti kesulitan dirinya menggapai tangan Hendaru, lelaki yang dianggapnya bersih tidak akan mampu tersentuk oleh dirinya yang dipenuhi oleh lumpur pekat.
Secara umum, pada dasarnya, novel ini memaparkan salah satu perjalanan kehidupan Indra J Piliang sendiri. Tidak bisa dipungkiri!
KANG WARSA
Posting Komentar untuk "Pinangan dari Selatan: Sisi Kehidupan Sang Gerilya "