MEMAKNAI NAMA-NAMA AGAMA OLEH: KANG WARSA GURU MTS RIYADLUL JANNAH – ANGGOTA PGRI KOTA SUKABUMI
Pada satu kesempatan, Tenzin Gyatso diberikan sebuah pertanyaan: “ Apakah agama terbaik menurut Anda?” Jawaban dari seorang peraih Nobel Perdamaian tahun 1989 itu sungguh padat: “Agama apa pun yang bisa membuat manusia lebih welas asih, lebih berpikiran sehat, lebih objektif dan adil, lebih menyayangi, lebih manusiawi, lebih punya rasa tanggungjawab, lebih beretika, agama yang punya kualitas seperti yang saya sebut adalah agama terbaik.”
Pada pengajaran Pendidikan Agama di setiap sekolah pun demikian, setiap pengajar –dalam mengulas agama – akan memberikan definisi terlebih dahulu, baik secara etimologis atau terminologis, apa itu agama? Anti kekacauan, tidak gerasak-gerusuk, bisa dijabarkan lebih jauh, yaitu lembaga atau salah satu pranata sosial yang memiliki ajaran, tuntunan, dan pedoman-pedoman agar kehidupan menjadi lebih tertib.
Tentang penjabaran kebaikan-kebaikan tersebut tertuang dalam ajaran masing-masing agama. Namun secara keseluruhan, agama sebagai salah satu norma yang ada di dalam kehidupan merupakan panduan moralitas, bagaimana seharusnya manusia bertindak dan berprilaku. Keimanan saja belum cukup, dia harus diimbangi oleh prilaku , dalam Islam disebut amal shaleh.
Salah satu software atau sistem yang telah disematkan oleh Alloh ke dalam diri manusia adalah adanya golden rule atau basis aturan kehidupan universal. Misalkan, dalam tradisi Sunda dikenal adanya sikap “rasa dan rumasa”, teraplikasikan dalam kehidupan sikap: pinter rumasa, ulah rumasa pinter. Kejujuran, saling tolong, dan kebaikan lainnya tidak hanya diakui oleh satu kelompok atau satu bangsa saja, namun telah diterima secara utuh dan universal. Demikian juga dengan kejelekan, seperti dengki, bohong, angkuh, dan serakah telah diakui sebagai sikap-sikap tidak terpuji secara universal.
Apalagi jika kita –sebagai penganut sebuah keyakinan atau orang beragama – mendalami makna nama-nama agama di dunia ini akan menemukan lebih banyak persamaannya baik nilai ajaran maupun beberapa ritual yang terdapat dalam setiap agama.
Islam, secara etimologis memiliki arti damai, selamat dan menyelamatkan. Implikasi mendasar dari makna Islam adalah setiap pemeluk agama ini harus bisa mengaplikasikan kedamaian, ketenteraman, keselamatan, dan sikap-sikap semakna dengannya dalam kehidupan ini. Tentu saja agar Islam ini lebih memiliki makna. Ketika makna Islam bertolakbelakang dengan sikap kita maka sudah bisa dipastikan Islam akan mewujud menjadi agama kering, keruh, bahkan kotor. Bukan agamanya yang demikian, kecuali pemeluknya telah menodai dan menistakan agamanya sendiri.
Tidak sedikit ayat di dalam al-Quran secara qoth’I dan lugas mengajak manusia agar berlaku baik kepada sesama, ditafsirkan oleh beberapa hadits tentang ajaran moral kebaikan. Islam pada masa formatif (masa permulaan)nya telah mengajarkan bagaimana sikap seorang muslim ketika berhadapan dengan arogansi kekuatan para pembenci. Bagaimana sikap Rosulullah ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh golongan penentang? Kebaikan individu inilah yang lebih diutamakan di dalam Islam daripada mendahulukan bagaimana cara merebut kekuasaan dari kelompok lain.
Kristen memiliki arti diurapi, dalam tradisi Yudaisme, diurapi adalah dituangi minyak di kepala, symbol bagi seseorang yang telah dipilih oleh Tuhan untuk membawa ajaran kasih-sayang. Islam mendefinitifkan pengikut Isa anak Maryam di samping ahlul-kitab juga dengan sebutan Nashrani atau para penolong. Penyematan ini dilatarbelakangi oleh sikap Negus saat menerima para penganut Islam yang dikejar-kejar oleh kaum pagan Mekah.
Implikasi ajaran dalam agama ini adalah setiap penganut Kristen dan Katholik harus menyebarkan sikap kasih dengan tidak memaksakan nilai-nilai teologisnya. Bahkan setiap penganut agama harus demikian, menebar kasih sayang tanpa menyudutkan pandangan teologi manusia lain.
Budha berbeda dengan Govinda, Govinda hanya mengikuti apa yang telah ada, sementara Gautama telah menemukan jalan baru untuk mencapai kebahagiaan dan ketentraman dalam kehidupan. Setiap penganut ajaran Budha tentu tidak bisa melepaskan diri dengan pengalaman baik realitas maupun spiritual seorang Gautama. Islam telah menempatkan Gautama sebagai seorang nabi dan rosul. Patut diduga, Gautama ini terkonekasi dengan seorang Rosul yang wajib diketahui oleh umat Islam, Nabi Dzulkifli, seseorang yang tinggal di Kapilawastu.
Ajaran-ajaran yang dicetuskan oleh Kong Fu Tze, Lao Tze, dan Meng Tze tentang kebaikan juga patut direnungi oleh para penganut Konghuchu. Para filsuf beraliran moralis tersebut telah meletakkan dasar-dasar utama kebaikan. Berbuat baik dan menghormati orangtua, berkata jujur kepada sesama tanpa memaksa. Monarki absolut yang dikendalikan oleh kaum legalis telah menempatkan sejarah pada kedudukan yang timpang, keyakinan diadopsi untuk menidurkan manusia sementara para penguasa sendiri menjadi lebih sangar bahkan brutal dalam mengokohkan kekuasaannya. Agama dan keyakinan digunakan sebagai alat untuk memuluskan kepentingan sesaat, demi kekuasaan.
Hal krusial yang harus disikap dalam ranah teologis yaitu: setiap agama mengakui hal Maha Transendental, adanya pencipta, Alloh SWT. Adakalanya kita terjebak ke dalam henoteisme, seolah Tuhan kami berbeda dengan Tuhan mereka. Jika dicerna dengan nalar sehat, sikap seperti ini telah bertolak belakang dengan wahyu dalam kitab suci setiap agama. “Ilahinnaas” dalam Quran, “ Aku adalah Tuhan Yang Satu, Tuhan Seluruh Umat Manusia” dalam perjanjian lama.
Henoteisme lahir dari rahim paganismee ketika para penganut keyakinan ini berkata: “ Apakah Tuhanmu bisa dilihat dan tampak, wahai Musa.” Juga saat para penganut paganisme Mekah bertanya kepada Rosulullah: “ Berada dimana saat ini Tuhanmu, wahai Muhammad?”. Sayang sekali, semangat henoteis tersebut telah terpatri dengan kokoh dalam diri kita. Dalam kondisi seperti ini, apapun akan dilakukan dengan alasan demi membela Tuhan!
Pada satu kesempatan, Tenzin Gyatso diberikan sebuah pertanyaan: “ Apakah agama terbaik menurut Anda?” Jawaban dari seorang peraih Nobel Perdamaian tahun 1989 itu sungguh padat: “Agama apa pun yang bisa membuat manusia lebih welas asih, lebih berpikiran sehat, lebih objektif dan adil, lebih menyayangi, lebih manusiawi, lebih punya rasa tanggungjawab, lebih beretika, agama yang punya kualitas seperti yang saya sebut adalah agama terbaik.”
Pada pengajaran Pendidikan Agama di setiap sekolah pun demikian, setiap pengajar –dalam mengulas agama – akan memberikan definisi terlebih dahulu, baik secara etimologis atau terminologis, apa itu agama? Anti kekacauan, tidak gerasak-gerusuk, bisa dijabarkan lebih jauh, yaitu lembaga atau salah satu pranata sosial yang memiliki ajaran, tuntunan, dan pedoman-pedoman agar kehidupan menjadi lebih tertib.
Tentang penjabaran kebaikan-kebaikan tersebut tertuang dalam ajaran masing-masing agama. Namun secara keseluruhan, agama sebagai salah satu norma yang ada di dalam kehidupan merupakan panduan moralitas, bagaimana seharusnya manusia bertindak dan berprilaku. Keimanan saja belum cukup, dia harus diimbangi oleh prilaku , dalam Islam disebut amal shaleh.
Salah satu software atau sistem yang telah disematkan oleh Alloh ke dalam diri manusia adalah adanya golden rule atau basis aturan kehidupan universal. Misalkan, dalam tradisi Sunda dikenal adanya sikap “rasa dan rumasa”, teraplikasikan dalam kehidupan sikap: pinter rumasa, ulah rumasa pinter. Kejujuran, saling tolong, dan kebaikan lainnya tidak hanya diakui oleh satu kelompok atau satu bangsa saja, namun telah diterima secara utuh dan universal. Demikian juga dengan kejelekan, seperti dengki, bohong, angkuh, dan serakah telah diakui sebagai sikap-sikap tidak terpuji secara universal.
Apalagi jika kita –sebagai penganut sebuah keyakinan atau orang beragama – mendalami makna nama-nama agama di dunia ini akan menemukan lebih banyak persamaannya baik nilai ajaran maupun beberapa ritual yang terdapat dalam setiap agama.
Islam, secara etimologis memiliki arti damai, selamat dan menyelamatkan. Implikasi mendasar dari makna Islam adalah setiap pemeluk agama ini harus bisa mengaplikasikan kedamaian, ketenteraman, keselamatan, dan sikap-sikap semakna dengannya dalam kehidupan ini. Tentu saja agar Islam ini lebih memiliki makna. Ketika makna Islam bertolakbelakang dengan sikap kita maka sudah bisa dipastikan Islam akan mewujud menjadi agama kering, keruh, bahkan kotor. Bukan agamanya yang demikian, kecuali pemeluknya telah menodai dan menistakan agamanya sendiri.
Tidak sedikit ayat di dalam al-Quran secara qoth’I dan lugas mengajak manusia agar berlaku baik kepada sesama, ditafsirkan oleh beberapa hadits tentang ajaran moral kebaikan. Islam pada masa formatif (masa permulaan)nya telah mengajarkan bagaimana sikap seorang muslim ketika berhadapan dengan arogansi kekuatan para pembenci. Bagaimana sikap Rosulullah ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh golongan penentang? Kebaikan individu inilah yang lebih diutamakan di dalam Islam daripada mendahulukan bagaimana cara merebut kekuasaan dari kelompok lain.
Kristen memiliki arti diurapi, dalam tradisi Yudaisme, diurapi adalah dituangi minyak di kepala, symbol bagi seseorang yang telah dipilih oleh Tuhan untuk membawa ajaran kasih-sayang. Islam mendefinitifkan pengikut Isa anak Maryam di samping ahlul-kitab juga dengan sebutan Nashrani atau para penolong. Penyematan ini dilatarbelakangi oleh sikap Negus saat menerima para penganut Islam yang dikejar-kejar oleh kaum pagan Mekah.
Implikasi ajaran dalam agama ini adalah setiap penganut Kristen dan Katholik harus menyebarkan sikap kasih dengan tidak memaksakan nilai-nilai teologisnya. Bahkan setiap penganut agama harus demikian, menebar kasih sayang tanpa menyudutkan pandangan teologi manusia lain.
Budha berbeda dengan Govinda, Govinda hanya mengikuti apa yang telah ada, sementara Gautama telah menemukan jalan baru untuk mencapai kebahagiaan dan ketentraman dalam kehidupan. Setiap penganut ajaran Budha tentu tidak bisa melepaskan diri dengan pengalaman baik realitas maupun spiritual seorang Gautama. Islam telah menempatkan Gautama sebagai seorang nabi dan rosul. Patut diduga, Gautama ini terkonekasi dengan seorang Rosul yang wajib diketahui oleh umat Islam, Nabi Dzulkifli, seseorang yang tinggal di Kapilawastu.
Ajaran-ajaran yang dicetuskan oleh Kong Fu Tze, Lao Tze, dan Meng Tze tentang kebaikan juga patut direnungi oleh para penganut Konghuchu. Para filsuf beraliran moralis tersebut telah meletakkan dasar-dasar utama kebaikan. Berbuat baik dan menghormati orangtua, berkata jujur kepada sesama tanpa memaksa. Monarki absolut yang dikendalikan oleh kaum legalis telah menempatkan sejarah pada kedudukan yang timpang, keyakinan diadopsi untuk menidurkan manusia sementara para penguasa sendiri menjadi lebih sangar bahkan brutal dalam mengokohkan kekuasaannya. Agama dan keyakinan digunakan sebagai alat untuk memuluskan kepentingan sesaat, demi kekuasaan.
Hal krusial yang harus disikap dalam ranah teologis yaitu: setiap agama mengakui hal Maha Transendental, adanya pencipta, Alloh SWT. Adakalanya kita terjebak ke dalam henoteisme, seolah Tuhan kami berbeda dengan Tuhan mereka. Jika dicerna dengan nalar sehat, sikap seperti ini telah bertolak belakang dengan wahyu dalam kitab suci setiap agama. “Ilahinnaas” dalam Quran, “ Aku adalah Tuhan Yang Satu, Tuhan Seluruh Umat Manusia” dalam perjanjian lama.
Henoteisme lahir dari rahim paganismee ketika para penganut keyakinan ini berkata: “ Apakah Tuhanmu bisa dilihat dan tampak, wahai Musa.” Juga saat para penganut paganisme Mekah bertanya kepada Rosulullah: “ Berada dimana saat ini Tuhanmu, wahai Muhammad?”. Sayang sekali, semangat henoteis tersebut telah terpatri dengan kokoh dalam diri kita. Dalam kondisi seperti ini, apapun akan dilakukan dengan alasan demi membela Tuhan!
Posting Komentar untuk "Memaknai Nama-Nama Agama"