Oleh: Kang Warsa dan Caca Danuwijaya Guru MTs Riyadlul Jannah dan Sekretaris II PGRI Kota Sukabumi
Pernah membaca cerpen Klandestin karya Seno Gumira Adjidarma? Sebuah cerpen satir tentang hiruk pikuk dunia pemikiran. Arus bolak-balik yang keluar dari asumsi-asumsi dalam panggung kehidupan ketika babak sejarah diperankan oleh dua kekuatan: Si Kuat dan Si Lemah, Si Penguasa dan Si Terkuasai. Arus bolak-balik pemikiran tersebut telah membentuk diskursus baru tentang cara hidup, lebih tepatnya: cara untuk saling menindas dan membalas.
Dalam pandangan Thomas Hobbes, kondisi tersebut semakin menegaskan teori Homo Homini Lupus yang tercantum dalam Leviathan merupakan sebuah keniscayaan jauh beberapa abad sebelum Cerpen Klandestin Seno Gumira Adjidarma tersebut dimuat oleh Harian Kompas.
Klandestin, gerakan bawah tanah tidak melulu diartikan secara lugas, di era gelombang ketiga ini kata tersebut lebih tepat dimaknai secara kontekstual: arus pemikiran yang lahir karena semakin kuatnya pengaruh pemikiran kelompok lain yang mendominasi bahkan mengintervensi wacana, berita, dan opini publik.
Pikiran yang lahir dari labirin Klandestin pada akhirnya adalah upaya perlawanan dengan membentuk klan-klan di ruang bawah tanah seperti seorang Penguin dalam Film Batman Returns (1992), membangun istana di bawah tanah, melakukan rekruitmen para barisan sakit hati, kemudian melahirkan terror kejahatan menyerang dunia yang berada di atas mereka. Klandestin bermula dari ketidakberdayaan, kekurangan fisik, dan sikap anti sosial.
Tentu saja, klandestin berbeda dengan kelompok "minoritas kreatif" sebab semangat yang didengungkan oleh Klandestin adalah perubahan destruktif, merusak. Pada sisi lain, gerakan-gerakaan kaum "minoritas kreatif" bukan ingin meniadakan apa yang telah ada, namun mendekonstruksi kemudian merekonstruksi ulang apa yang telah ada yang masih dipenuhi oleh kebobrokan disana-sini.
Panggung sejarah kehidupan manusia pada dasarnya tidak hanya diisi oleh dua kekuatan: benar dan salah, namun diisi oleh tiga komposisi kelompok besar; hitam, putih, dan abu-abu. Di Madinah, beberapa bulan pasca hijrah, masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok besar: Muhajirin-Anshor, Munafik, dan Yahudi.
Melalui Piagam Madinah, Rosululloh mampu melebur perbedaan tersebut. Namun, para barisan sakit hati seperti Abdullah Ibn Ubay membentuk klandestin yang menaburkan benih-benih destruktif, menegaskan perbedaan, dan melakukan manuver jahat mengolah informasi agar dua komponen besar Kaum Muslimin dan Yahudi terpecah belah, padahal secara historis, Arab dan Yahudi memiliki ikatan "nasab" sama dari garis keturunan Ibrahim.
Klandestin yang dibentuk oleh Abdullah Ibn Ubay inilah pemantik percik perpecahan masyarakat di Madinah diawali dengan pelanggaran oleh tiga suku Yahudi (Nadhir, Quraidzah, dan Qainuqa) terhadap konsensus kebersamaan dan "kebinekhaan" yang tertuang dalam Piagam Madinah. Sikap licik para klandestiner adalah melakukan agitasi profetik, menebar issue téologis seperti: membesarkan semangat hetnoteisme di kalangan Yahudi sebagai hamba pilihan Tuhan dan mengenalkan semangat chauvisnisme di kalangan kaum Muhajirin dan Anshor.
Ranah politis dipaksa dan digusur memasuki wilayah keyakinan. Padahal, sebelumnya terjadi kompromi bahkan asimilasi tradisi antara kaum Muslimin dengan Yahudi, seperti tradisi Puasa Sunat di bulan Muharram sebagai penghormatan terhadap peristiwa eksodus Musa dari Mesir ke Kanaan. Peritiwa ini dimanipulasi oleh Klandestin Abdullah Ibn Ubay sebagai bentuk imitasi dan penjiplakan tradisi Yudaisme oleh Rosululloh, tujuannya jelas melahirkan rasa bangga untuk Yahudi dan melahirkan semangat pembelaan dari kaum Muslimin.
Kisah di atas, memiliki kemiripan dengan cerita Musa-Harun pasca eksodus dari Mesir ketika Samiri membangun klandestin teologis sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakberesan Yahweh yang menelantarkan kaum Yahudi selama hampir 40 tahun di Padang Tandus. Samiri berpendapat, Yahweh yang diagungkan Musa dan dua belas klan Yahudi sedang tertidur pulas, maka harus dibangunkan dengan mengalihkan penyembahan terhadap patung sapi, agar Yahweh bangun dan merasa iri kepada kelompok Klandestin Samiri.
Sikap Musa dan Muhammad SAW ketika ranah politis digusur memasuki wilayah téologis adalah sama: bersikap tegas, Musa membentak dan mengusir klandestin yang dibangun oleh Samiri, dan Muhammad SAW mengusir tiga suku Yahudi pembangkang serta membiarkan kaum Yahudi yang tetap memegang teguh kesepakatan. Di kemudian, kelompok Klandestin Yahudi yang dibangun oleh Samiri ini mengalami diaspora ke berbagai pelosok dunia, membangun getto-getto, membuat emblem-emblem politis berbalut téologis. Sama halnya dengan klandestin bentukan Abdullah Ibn Ubay, sering mengatasnamakan Agama dan Tuhan untuk membungkus tujuan dan kepentingan politis mereka, membunuh sesama manusia pun tidak canggung dilakukan.
Dua klandestin : Samiri dan Abdullah Ibn Ubay ini sepintas tampak saling berparadoks antara benar dan salah. Antara polisi dunia dan terorist, padahal keduanya merupakan monster-monster jahat yang terbangun atas ideologi radikal dalam bingkai teologis. Percaturan panggung kehidupan dunia saat ini sedang didominasi oleh mereka, tetapi, kita kadang sering terlena apalagi ketika ranah politis telah digusur memasuki wilayah keagamaan. Semakin menegaskan perbedaan. Kami Yang Selalu Maha Benar dan Mereka Si Penjahat. Pikiran kita bukan pikiran "minoritas kreatif" melainkan pikiran aksen para klandestin Samiri dan Abdullah Ibn Ubay.
Pernah membaca cerpen Klandestin karya Seno Gumira Adjidarma? Sebuah cerpen satir tentang hiruk pikuk dunia pemikiran. Arus bolak-balik yang keluar dari asumsi-asumsi dalam panggung kehidupan ketika babak sejarah diperankan oleh dua kekuatan: Si Kuat dan Si Lemah, Si Penguasa dan Si Terkuasai. Arus bolak-balik pemikiran tersebut telah membentuk diskursus baru tentang cara hidup, lebih tepatnya: cara untuk saling menindas dan membalas.
Dalam pandangan Thomas Hobbes, kondisi tersebut semakin menegaskan teori Homo Homini Lupus yang tercantum dalam Leviathan merupakan sebuah keniscayaan jauh beberapa abad sebelum Cerpen Klandestin Seno Gumira Adjidarma tersebut dimuat oleh Harian Kompas.
Klandestin, gerakan bawah tanah tidak melulu diartikan secara lugas, di era gelombang ketiga ini kata tersebut lebih tepat dimaknai secara kontekstual: arus pemikiran yang lahir karena semakin kuatnya pengaruh pemikiran kelompok lain yang mendominasi bahkan mengintervensi wacana, berita, dan opini publik.
Pikiran yang lahir dari labirin Klandestin pada akhirnya adalah upaya perlawanan dengan membentuk klan-klan di ruang bawah tanah seperti seorang Penguin dalam Film Batman Returns (1992), membangun istana di bawah tanah, melakukan rekruitmen para barisan sakit hati, kemudian melahirkan terror kejahatan menyerang dunia yang berada di atas mereka. Klandestin bermula dari ketidakberdayaan, kekurangan fisik, dan sikap anti sosial.
Tentu saja, klandestin berbeda dengan kelompok "minoritas kreatif" sebab semangat yang didengungkan oleh Klandestin adalah perubahan destruktif, merusak. Pada sisi lain, gerakan-gerakaan kaum "minoritas kreatif" bukan ingin meniadakan apa yang telah ada, namun mendekonstruksi kemudian merekonstruksi ulang apa yang telah ada yang masih dipenuhi oleh kebobrokan disana-sini.
Panggung sejarah kehidupan manusia pada dasarnya tidak hanya diisi oleh dua kekuatan: benar dan salah, namun diisi oleh tiga komposisi kelompok besar; hitam, putih, dan abu-abu. Di Madinah, beberapa bulan pasca hijrah, masyarakat terbagi menjadi tiga kelompok besar: Muhajirin-Anshor, Munafik, dan Yahudi.
Melalui Piagam Madinah, Rosululloh mampu melebur perbedaan tersebut. Namun, para barisan sakit hati seperti Abdullah Ibn Ubay membentuk klandestin yang menaburkan benih-benih destruktif, menegaskan perbedaan, dan melakukan manuver jahat mengolah informasi agar dua komponen besar Kaum Muslimin dan Yahudi terpecah belah, padahal secara historis, Arab dan Yahudi memiliki ikatan "nasab" sama dari garis keturunan Ibrahim.
Klandestin yang dibentuk oleh Abdullah Ibn Ubay inilah pemantik percik perpecahan masyarakat di Madinah diawali dengan pelanggaran oleh tiga suku Yahudi (Nadhir, Quraidzah, dan Qainuqa) terhadap konsensus kebersamaan dan "kebinekhaan" yang tertuang dalam Piagam Madinah. Sikap licik para klandestiner adalah melakukan agitasi profetik, menebar issue téologis seperti: membesarkan semangat hetnoteisme di kalangan Yahudi sebagai hamba pilihan Tuhan dan mengenalkan semangat chauvisnisme di kalangan kaum Muhajirin dan Anshor.
Ranah politis dipaksa dan digusur memasuki wilayah keyakinan. Padahal, sebelumnya terjadi kompromi bahkan asimilasi tradisi antara kaum Muslimin dengan Yahudi, seperti tradisi Puasa Sunat di bulan Muharram sebagai penghormatan terhadap peristiwa eksodus Musa dari Mesir ke Kanaan. Peritiwa ini dimanipulasi oleh Klandestin Abdullah Ibn Ubay sebagai bentuk imitasi dan penjiplakan tradisi Yudaisme oleh Rosululloh, tujuannya jelas melahirkan rasa bangga untuk Yahudi dan melahirkan semangat pembelaan dari kaum Muslimin.
Kisah di atas, memiliki kemiripan dengan cerita Musa-Harun pasca eksodus dari Mesir ketika Samiri membangun klandestin teologis sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakberesan Yahweh yang menelantarkan kaum Yahudi selama hampir 40 tahun di Padang Tandus. Samiri berpendapat, Yahweh yang diagungkan Musa dan dua belas klan Yahudi sedang tertidur pulas, maka harus dibangunkan dengan mengalihkan penyembahan terhadap patung sapi, agar Yahweh bangun dan merasa iri kepada kelompok Klandestin Samiri.
Sikap Musa dan Muhammad SAW ketika ranah politis digusur memasuki wilayah téologis adalah sama: bersikap tegas, Musa membentak dan mengusir klandestin yang dibangun oleh Samiri, dan Muhammad SAW mengusir tiga suku Yahudi pembangkang serta membiarkan kaum Yahudi yang tetap memegang teguh kesepakatan. Di kemudian, kelompok Klandestin Yahudi yang dibangun oleh Samiri ini mengalami diaspora ke berbagai pelosok dunia, membangun getto-getto, membuat emblem-emblem politis berbalut téologis. Sama halnya dengan klandestin bentukan Abdullah Ibn Ubay, sering mengatasnamakan Agama dan Tuhan untuk membungkus tujuan dan kepentingan politis mereka, membunuh sesama manusia pun tidak canggung dilakukan.
Dua klandestin : Samiri dan Abdullah Ibn Ubay ini sepintas tampak saling berparadoks antara benar dan salah. Antara polisi dunia dan terorist, padahal keduanya merupakan monster-monster jahat yang terbangun atas ideologi radikal dalam bingkai teologis. Percaturan panggung kehidupan dunia saat ini sedang didominasi oleh mereka, tetapi, kita kadang sering terlena apalagi ketika ranah politis telah digusur memasuki wilayah keagamaan. Semakin menegaskan perbedaan. Kami Yang Selalu Maha Benar dan Mereka Si Penjahat. Pikiran kita bukan pikiran "minoritas kreatif" melainkan pikiran aksen para klandestin Samiri dan Abdullah Ibn Ubay.
Posting Komentar untuk "Paradoks Dunia Klandestin"